Faktor Risiko Stunting Pada Anak Usia 6-24 Bulan di Wilayah Pesisir Kabupaten Nabire
Abstract
Stunting merupakan salah satu masalah gizi di Indonesia yang belum
terselesaikan. Bila masalah ini bersifat kronis, maka akan memengaruhi fungsi
kognitif yakni tingkat kecerdasan yang rendah dan berdampak pada kualitas sumber
daya manusia. Prevalensi balita stunting di Indonesia masih cukup tinggi serta
distribusinya tidak merata antara desa, kabupaten/kota maupun antar provinsi.
Indonesia bagian timur memiliki prevalensi stunting yang lebih tinggi jika
dibandingkan secara nasional, salah satunya adalah provinsi Papua. Penurunan
panjang badan menurut umur terbesar terjadi pada periode MP-ASI dari usia 6-24
bulan. Berdasarkan Hasil Survei Status Gizi Indonesia Tahun 2022 prevalensi
stunting di Papua sebesar 34,6%. Kabupaten Nabire sendiri memiliki prevalensi
stunting 17,1% pada tahun 2022 yang mengalami penurunan dari tahun sebelumnya
yaitu 20,6% (SSGI 2021). Walaupun mengalami penurunan, hal ini masih
merupakan masalah dikarenakan penurunan terjadi bukan akibat perbaikan namun
akibat kematian pada balita stunting tersebut. Wilayah pesisir Kabupaten Nabire
memilki prevalensi stunting cukup tinggi yaitu lebih dari 20%. Kabupaten Nabire
dengan keanekaragaman kehidupan sosial budaya, dan kondisi geografi yang unik,
tentu memiliki permasalahan dan determinan stunting yang berbeda dari wilayah
Indonesia lainnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
lebih jauh faktor risiko stunting pada anak usia 6-24 bulan di wilayah Kabupaten
Nabire agar dapat dijadikan acuan dalam penanganan stunting ke depannya.
Desain penelitian yang digunakan adalah case-control study dengan matching
usia, jenis kelamin, sosial ekonomi wilayah, dan monografi desa. Penelitian ini
dilakukan di wilayah pesisir Kabupaten Nabire pada bulan Agustus 2022-Juni 2023
dengan jumlah sampel 112 (stunting=56, normal =56). Jenis data yang akan
dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
dengan cara wawancara yang dilakukan pada ibu balita dan pengukuran tinggi
badan secara langsung menggunakan infantometer atau microtoise serta
pengukuran berat badan dengan baby scale. Data primer yang dikumpulkan
meliputi karakteristik keluarga, karakteristik balita, karakteristik ibu, riwayat
penyakit infeksi, kesehatan lingkungan, akses pelayanan kesehatan, praktik PMBA
(Pemberian Makan Bayi dan Anak), asupan zat gizi balita, keanekaragaman pangan
rumah tangga, kebiasaan makan rumah tangga, alokasi pangan dan norma pangan
sosial dalam rumah tangga, pengambilan keputusan pangan dalam rumah tangga,
dan Food culture.
Data tinggi badan dan berat badan subjek yang dihasilkan diinput
menggunakan Aplikasi Sigizi Terpadu (ePPGBM) untuk mengetahui z-score. Data
lainnya diolah serta dianalisis menggunakan Microsoft Excel 2013 dan Statistical
Package for Social Science (SPSS) versi 16.0 for Windows. Pengolahan data
dilakukan melalui tahapan entry, coding, cleaning, dan analyze. Analisis data
menggunakan aplikasi SPSS versi 16.0. Uji yang digunakan untuk mengetahui
seberapa besar risiko dari variabel dianalisis dengan uji regresi logistik.
Sebagian besar subjek berjenis kelamin perempuan (55,4%), dan berada pada
rentan usia 12-24 bulan (91,1%). Pada penelitian ini variabel yang memiliki
hubungan signifikan dengan stunting adalah karakteristik balita (panjang badan
lahir, berat badan lahir, berat badan saat ini), karakteristik ibu (riwayat anemia saat
hamil, riwayat KEK saat hamil, riwayat ANC saat hamil), penyakit infeksi
(frekuensi Ispa, frekuensi diare), praktik PMBA (Pemberian Makan Anak dan Bayi)
(inisiasi menyusui dini (IMD), ASI eksklusif, ASI 6-24 bulan, praktik MP-ASI
(Makanan Pendamping ASI)), dan asupan zat gizi (tingkat kecukupan protein,
tingkat kecukupan zat besi, tingkat kecukupan kalsium, dan tingkat kecukupan
zink) (p<0,05). Selanjutnya hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa subjek
yang memiliki panjang badan kurang dari 48 cm berisiko mengalami stunting 6,38
kali lebih besar dibandingkan yang panjang badannya lebih atau sama dengan 48
cm (OR=6,38; 95%CI:1,83-22,24), berat badan lahir rendah berisiko 6,73 kali
mengalami stunting (OR=6,73; 95%CI: 1,28-35,27), dan berat badan saat ini
tergolong kurang (underweight) lebih berisiko mengalami stunting 15,59 kali lebih
besar dibandingkan yang normal (OR: 15,59; 95%CI: 1,67-145,29).
Pada karakteristik ibu dimana balita yang memiliki ibu dengan riwayat
anemia selama kehamilan berisiko 19,6 kali mengalami stunting (OR=19,60; 95%
CI: 4,52-85,02), dan balita yang memiliki ibu dengan riwayat ANC kurang dari 6
kali selama kehamilan berisiko 41,88 kali mengalami stunting (OR=41,88; 95% CI:
8,23-212,92). Penyakit infeksi juga merupakan salah satu faktor penyebab stunting
dimana balita dengan frekuensi ISPA yang tergolong sering berisiko 39 kali
mengalami stunting (OR=39; 95%CI:11,945-127,334), serta balita dengan
frekuensi diare sering berisiko 2,4 kali mengalami stunting (OR=2,373; 95%CI:
1,031-5,461). Sealin itu, anak yang diberikan inisiasi menyusui dini dapat
mencegah 67% lebih tinggi terjadinya stunting (OR=0,33; 95%CI: 0,14-0,75), anak
yang mendapatkan ASI eksklusif dapat mencegah 59% lebih tinggi terjadinya
stunting (OR=0,41; 95%CI:0,18-0,94), dan anak yang mendapatkan pemberian ASI
6-24 bulan dapat mencegah 61% lebih tinggi terjadinya stunting (OR=0,39; 95%CI:
0,17-0,86). Praktik pemberian makanan pendamping ASI yang tidak baik 2,60 kali
berisiko menyebabkan stunting (OR=2,60; 95%CI: 1,17-5,79), asupan protein yang
rendah berisiko 6,75 kali menyebabkan stunting (OR=6,75; 95%CI: 3,518-12,938)
serta konsumsi pangan sumber protein hewani ≤12% total kalori 11,9 kali berisiko
menyebabkan stunting (OR=11,957; 95%CI:1,475-96,919).
Berdasarkan fungsi regresi logistik yang diperoleh pada hasil analisis,
probabilitas kejadian stunting jika panjang badan lahir kurang dari 48 cm, berat
badan lahir kurang dari 2500 gram dan berat badan saat ini kurang adalah 61%.
Probabilitas kejadian stunting jika ibu memiliki riwayat anemia saat hamil dan
riwayat ANC saat hamil kurang dari 6 kali adalah 70,3%. Probabilitas kejadian
stunting jika balita sering mengalami Ispa dan sering mengalami diare adalah
63,9%. Probabilitas kejadian stunting jika balita tidak diberikan IMD dan ASI
eksklusif adalah 77,6%. Kemudian probabilitas kejadian stunting jika balita tidak
mendapatkan ASI pada usia 6-24 adalah 64,9%, dan probabilitas kejadian stunting
jika balita tidak diberika MP-ASI yang baik adalah 65%. Serta probabilitas
kejadian stunting jika balita mengalami defisit asupan protein adalah 44,5% dan
probabilitas kejadian stunting jika konsumsi pangan sumber protein hewani ≤ 12%
total energi adalah 90,9%.
Collections
- MT - Human Ecology [2255]