Model Pengembangan Industri Hilir Pertambangan Bauksit Berkelanjutan: Studi Kasus Pertambangan Bauksit Provinsi Kalimantan Barat
Date
2023Author
hendrik, Hendrik
Hendrik
Fauzi, Akhmad
Widiatmaka, Widiatmaka
Firdiyono, Florentinus
Suryaningtyas, Dyah Tjahyandari
Metadata
Show full item recordAbstract
Banyak negara termasuk Indonesia mendorong pertambangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan dalam menjaga sumber karbon terestrial dan mengurangi emisi karbon. Tantangan bagi negara termasuk Indonesia yang kaya akan sumber daya bauksit memiliki pertumbuhan industri bijih logam yang meningkat 25,78% secara tahunan pada tahun 2022. Hal tersebut mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan nilai tambah bijih logam aluminium melalui pengembangan industri pemurnian alumina dengan kebijakan larangan ekspor bijih bauksit. Namun, untuk mengekstraksi mineral dari tanah, perlu lahan yang benar-benar kosong untuk memudahkan buldoser dan ekskavator beroperasi. Selain itu, industri pertambangan juga menggunakan bahan-bahan berbahaya untuk memisahkan mineral dari bijihnya. Akibatnya, bahan berbahaya dalam lumpur merah memiliki alkalinitas tinggi (pH=10-12,5). Oleh karena itu, penerapan teknologi pemanfaatan lumpur merah menjadi penting agar dapat mengembangkan industri ekonomi sirkuler. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Republik Indonesia melaporkan potensi bauksit tersebar di Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah, dengan Izin Usaha Pertambangan masing-masing sebanyak 7, 83, dan 9 yang mana salah satu dari empat pemasok terbesar bauksit ke kilang Smelter Grade Alumina (SGA) adalah PT ANTAM di Kalimantan Barat. Risiko lingkungan dan sosial dalam pertambangan berkelanjutan di Kalimantan Barat akan dikelola lebih baik, jika dilakukan evaluasi potensi dampak dari aktivitas pertambangan melalui evaluasi efisiensi energi alternatif, kinerja industri kilang alumina, ekonomi sirkuler, faktor-faktor dan aktor-aktor, serta penyediaan dan permintaan aluminium. Berdasarkan latar belakang tersebut, tujuan penelitian ini adalah: (1) mengkaji dampak lingkungan dari alat galian dan muat serta kendaraan yang beroperasi di jalan angkut bertenaga biodiesel, serta strategi energi untuk memproduksi bauksit hasil cucian yang dapat dipasarkan di Provinsi Kalimantan Barat; (2) menganalis pengembangan dua belas pabrik pemurnian alumina terhadap indeks pengembangan kota di kota pertambangan Provinsi Kalimantan Barat;(3) menganalisis penentuan lokasi pilot plant pengolahan lumpur merah di Provinsi Kalimantan Barat; (4) menganalisis faktor-faktor dan aktor-aktor yang mempengaruhi kebijakan lingkungan pengelolaan industri hilir di Provinsi Kalimantan Barat; dan (5) merumuskan model pengembangan industri hilir berkelanjutan di Provinsi Kalimantan Barat.
Penelitian pertama dilakukan dengan pendekatan kuantitatif life cycle assessment (LCA) terhadap emisi CO2 dengan mengintegrasikan kriteria keberlanjutan ke dalam proses pengambilan keputusan alternatif teknologi energi dalam industri alumunium di Provinsi Kalimantan Barat. Metrik Malmquist digunakan untuk melihat progress atau regress terhadap keberlanjutan dalam kegiatan ekstraksi bauksit. Penelitian kedua dalam penelitian ini mengevaluasi industri alumina menggunakan analisis deskriptif dan metode kualitatif data envelopment analysis (DEA) dengan perangkat lunak Frontier Analyst Banxia untuk menghitung efisiensi kilang alumina. Faktor kuantitatif berasal dari database website https://geoportal.esdm.go.id/minerba/ dan https://kemenperin.go.id/. Indeks pengembangan kota (ITD) diperoleh dari https://idm.kemendesa.go.id/, faktor kualitatif diperoleh dari database https://momi.minerba.esdm.go.id/public/ untuk menghitung target penyelesaian lokasi pabrik alumina. Penelitian ketiga dalam penelitian ini menggunakan metode PROMETHEE untuk mengevaluasi lokasi pilot plant dengan pertimbangan faktor utama seperti kedekatan dengan bahan baku maupun pasar pig iron, wool, dan skandium, serta faktor sekunder lainnya. Penelitian keempat dilakukan melalui metode MICMAC ANP dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, pakar dan masyarakat dalam Forum Group Discussion. Penelitian kelima memodelkan pengembangan industri hilir manufaktur aluminium seperti ingot dan alloy, ekstrusi, kabel, plate, dan peralatan dapur di Indonesia. Model pengembangan industri hilir ini diharapkan memahami perkembangan penyediaan dan konsumsi aluminium serta peramalan hingga tahun 2045 untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa kendaraan yang membuka lahan untuk membangun fasilitas konstruksi serta fasilitas penyimpan tailing mempunyai dampak lingkungan terbesar pada operasi pertambangan dari sisi emisi CO2. Untuk mengurangi emisi CO2, teknologi energi alternatif terbaik adalah tenaga air, diikuti oleh biomassa dan sel surya, dan paling buruk adalah Batubara dan biosolar. Hasil penelitian ke dua menunjukkan keberlanjutan pembangunan kilang alumina sebagai boomtown di mana lokasi terbaik dapat diidentifikasi menggunakan dua skenario, yaitu indeks pembangunan kota tambang (DEA) dan target penyelesaian industri alumina (Qualitative-DEA). Lokasi terbaik pada skenario pertama adalah Kapuas, Kendawangan, dan Tayan Hilir, sedangkan pada skenario kedua adalah lokasi skenario pertama ditambah dengan Cempaga Hulu dan Sungai Kunyit. Hasil penelitian ke tiga menunjukkan lokasi pilot plant terbaik adalah Ketapang yang diikuti oleh Pulau Belitung, Mempawah, dan Teluk Batang. Kawasan Industri Ketapang merupakan lokasi terbaik untuk dikembangkan sebagai kawasan ekonomi sirkuler sehingga merupakan kawasan industri terintegrasi dan berkelanjutan. Hasil penelitian keempat mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam kebijakan pengelolaan industri hilir adalah tanggung jawab sosial perusahaan, tenaga kerja, pajak, program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat, dan transportasi. Aktor-aktornya adalah pengelola kawasan, perusahaan, dan Badan Usaha Milik Daerah. Hasil penelitian kelima menunjukkan model pengembangan industri hilir seperti manufaktur logam aluminium dalam ingot dan alloy, ekstrusi, kabel, plate, dan peralatan dapur di Provinsi Kalimantan Barat telah terbangun. Dalam model ini skenario yang disimulasikan adalah simulasi Business as Usual (BaU), yang menunjukkan pengembangan industri hilir dengan laju pertumbuhan saat ini kekurangan aluminium cukup besar, sedangkan jika kebutuhan berdasarkan pertumbuhan penduduk, maka kekurangan lebih kecil. Oleh karena itu, skenario dikembangkan untuk mengatasi kekurangan aluminium. Skenario yang terbaik adalah melarang ekspor aluminium, SGA dan peningkatan produksi SGA 10%. Many countries including Indonesia encourage responsible and sustainable mining in maintaining terrestrial carbon sources and reducing carbon emissions. The challenge for countries including Indonesia which is rich in bauxite resources is having the metal ore industry grow by 25.78% on an annual basis in 2022. This prompted the Indonesian government to increase the added value of aluminum metal ore through the development of the alumina refining industry with a ban on the export of bauxite ore. However, to extract minerals from the ground, it is necessary to completely clear the land to make it easier for bulldozers and excavators to operate. In addition, the mining industry also uses hazardous materials to separate minerals from the ore. As a result, the hazardous materials in red mud have high alkalinity (pH=10-12.5). Therefore, the application of red mud utilization technology is important to develop a circular economy industry. The Directorate General of Mineral and Coal of the Ministry of Energy and Mineral Resources of the Republic of Indonesia reported that bauxite potential is spread across the Riau Islands, West Kalimantan and Central Kalimantan, with Mining Business Permits of 7, 83 and 9 respectively. One of the four largest suppliers of bauxite to the Smelter Grade refinery Alumina (SGA) is PT ANTAM in West Kalimantan. Environmental and social risks in sustainable mining in West Kalimantan will be managed better, if an evaluation of the potential impacts of mining activities is carried out through evaluating the efficiency of alternative energy, the performance of the alumina refinery industry, circular economy, factors and actors, as well as supply and demand for aluminum. Based on this background, the objectives of this research are: (1) to assess the environmental impact of digging and loading equipment and vehicles operating on biodiesel-powered haul roads, as well as an energy strategy for producing marketable, washed bauxite in West Kalimantan Province; (2) to analyze the development of twelve alumina refining plants against the urban development index in mining cities in West Kalimantan Province (3) to analyze the location of a red mud processing pilot plant in West Kalimantan Province; (4) analyze the factors and actors that influence the environmental policy of downstream industrial management in the Province of West Kalimantan; and (5) formulate a sustainable downstream industry development model in the Province of West Kalimantan.
The first research was carried out using a quantitative life cycle assessment (LCA) approach to CO2 emissions by integrating sustainability criteria into the decision-making process for alternative energy technologies in the aluminum industry in West Kalimantan Province. The Malmquist metric is used to see progress or regression towards sustainability in bauxite extraction activities. The second research in this study evaluated the alumina industry using descriptive analysis and qualitative data envelopment analysis (DEA) methods with Frontier Analyst Banxia software to calculate the efficiency of alumina refineries. Quantitative factors come from the ministry website database which comes from the https://geoportal.esdm.go.id/minerba/ and https://kemenperin.go.id/ databases. The urban development index (ITD) was obtained from https://idm.kemendesa.go.id/, while the qualitative factors were obtained from the database https://momi.minerba.esdm.go.id/public/ to calculate the target for completion of the alumina factory location. The third study in this study used the PROMETHEE method to evaluate pilot plant locations by considering main factors such as proximity to raw materials and pig iron, wool, and scandium markets, as well as other secondary factors. The fourth research was carried out using the MICMAC ANP method by involving all stakeholders, experts, and the community in the Forum Group Discussion. The fifth study modeled the development of downstream aluminum manufacturing industries such as ingots and alloys, extrusions, cables, plates, and kitchen utensils in Indonesia. This model of downstream industry development is expected to understand developments in the supply and consumption of aluminum and forecasts up to 2045 to achieve sustainable economic growth.
The results of the first study showed that vehicles that cleared land to build construction facilities and tailings storage facilities have the greatest environmental impact on mining operations in terms of CO2 emissions. To reduce CO2 emissions, the best alternative energy technology was hydropower, followed by biomass and solar cells, and the worst is coal and biodiesel. The results of the second study showed the sustainability of the construction of an alumina refinery as a boomtown where the best location can be identified using two scenarios, namely the mining town development index (DEA) and the target for completion of the alumina industry (Qualitative-DEA). In the first scenario, the prime locations include Kapuas, Kendawangan, and Tayan Hilir. However, in the second scenario, two additional locations, Cempaga Hulu and Sungai Kunyit, are incorporated along with the previously mentioned spots from the first scenario. The results of the third study showed that the best pilot plant location was Ketapang followed by Belitung Island, Mempawah and Batang Bay. The Ketapang Industrial Area is the best location to be developed as a circular economic area so that it is an integrated and sustainable industrial area. The results of the fourth study identified influential factors in downstream industry management policies, namely corporate social responsibility, labor, taxes, community development and empowerment programs, and transportation. The actors were area managers, companies, and regionally owned enterprises. The results of the fifth study showed that a downstream industry development model such as manufacturing aluminum metal in ingots and alloys, extrusions, cables, plates, and kitchen utensils in the Province of West Kalimantan has been developed. This model examines the Business as Usual (BaU) simulation, which depicts downstream industry development under the current growth rate of aluminum shortage, revealing a significant scarcity. However, if the demand is tied to population growth, the shortage appears to be smaller. To address the aluminum shortage, a solution was formulated. The optimal scenario involves imposing a ban on aluminum exports, implementing Strategic Government Allocation (SGA), and augmenting SGA production by 10%.