Produksi Benih Beberapa Lanras Kacang Bambara (Vigna subterranea L. Verdcourt) pada Jarak Tanam Berbeda
Abstract
Rendahnya minat petani untuk membudidayakan kacang Bambara salah satunya disebabkan terbatasnya ketersediaan benih. Salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan ketersediaan benih adalah dengan menentukan teknik budidaya yang tepat agar memperoleh hasil yang maksimal. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lanras dan jarak tanam terhadap produksi dan mutu benih kacang bambara. Percobaan disusun dalam rancangan kelompok lengkap teracak faktorial dengan dua faktor yaitu lanras (Sumedang, Sukabumi, Bogor, dan Gresik) dan jarak tanam (60 cm x 25 cm dan 50 cm x 25 cm). Pertumbuhan vegetatif tertinggi ditunjukkan oleh lanras Sumedang (tinggi tanaman dan lebar kanopi) dan Gresik (jumlah tangkai daun dan jumlah daun). Jarak tanam 60 cm x 25 cm meningkatkan tinggi tanaman dan lebar kanopi pada seluruh lanras. Pertanaman dengan jarak tanam 60 cm x 25 cm mengalami laju fotosintesis yang lebih tinggi dan meningkatkan jumlah polong per tanaman pada seluruh lanras dibandingkan 50 cm x 25 cm. Bobot kering polong per tanaman lanras Sumedang, Sukabumi dan Bogor tidak menunjukkan perbedaan nyata pada kedua jarak tanam. Lanras Gresik pada jarak tanam 60 cm x 25 cm menghasilkan bobot kering polong nyata lebih tinggi (79,32 g) dibandingkan ketiga lanras lainnya, dan dibandingkan pada jarak tanam 50 cm x 25 cm (36,65 g). Keempat lanras menghasilkan bobot kering benih per tanaman yang nyata lebih tinggi pada jarak tanam 60 cm x 25 cm dibandingkan 50 cm x 25 cm. Lanras Sumedang menghasilkan bobot kering benih per tanaman terendah (39,10 g) dan berbeda nyata dengan ketiga lanras lainnya (42,15 – 43,68 g) pada jarak tanam 60 cm x 25 cm. Lanras Bogor pada jarak tanam 50 cm x 25 cm menghasilkan bobot benih per tanaman tertinggi (37,75 g) yang berbeda nyata dari ketiga lanras lainnya, sedangkan lanras Gresik terendah (23,70 g). Lanras Sumedang, Sukabumi, dan Bogor menghasilkan bobot kering benih per petak yang lebih tinggi (0,96; 0,94; 0,91 kg) dibandingkan Gresik (0,53 kg). Lanras Sumedang menghasilkan bobot kering 100 butir benih tertinggi (72,61 g), sedangkan lanras Gresik terendah (59,58 g). Jarak tanam tidak berpengaruh pada mutu benih yang dihasilkan. The low interest of farmers to cultivate Bambara groundnut is partly due to the lack of seed availability. One of the efforts to increase the availability of seeds is to determine the proper cultivation techniques to produce maximum yields. This study aimed to evaluate the effect of landraces and plant spacing on the production and quality of Bambara groundnut seeds. The experiment was arranged in a factorial randomized complete block design with two factors: landraces (Sumedang, Sukabumi, and Bogor) and spacing (60 cm x 25 cm and 50 cm x 25 cm). The best vegetative growth was shown by the Sumedang landrace (plant height and canopy width) and Gresik (number of petioles and leaves). The 60 cm x 25 cm spacing increased plant height and canopy width in all landraces. The spacing of 60 cm x 25 cm resulted in a higher rate of photosynthesis and increased the number of pods per plant in all landraces than 50 cm x 25 cm. The dry weight of pods per plant from Sumedang, Sukabumi, and Bogor landraces did not show significant differences at both spacings. Gresik landrace at 60 cm x 25 cm showed higher dry weight of pods (79.32 g) than the other three landraces as well as compared to 50 cm x 25 cm (36.65 g). All landraces produced higher dry seed weight per plant at 60 cm x 25 cm compared to 50 cm x 25 cm. Sumedang landrace yielded the lowest seed weight per plant (39.10 g) compared to the other three landraces (42.15 – 43.68 g) at 60 cm x 25 cm. At a spacing of 50 cm x 25 cm, the Bogor landrace produced the highest seed weight per plant (37.75 g) which was significantly different from the other three landraces, while the Gresik landrace was the lowest (23.70 g). Sumedang, Sukabumi, and Bogor landraces produced higher seed weights per plot (0.96; 0.94; 0.91 kg) than Gresik (0.53 kg). Sumedang landrace produced the highest dry weight of 100 seeds (72.61 g), while the Gresik landrace was the lowest (59.58 g). The spacing did not affect the quality of the seeds produced.