Analisis ekonomi pasar tenaga kerja di Wilayah DKI Jakarta
View/ Open
Date
2003Author
Erisman
Anwar, Affendi
Sutomo, Slamet
Siregar, Hermanto
Metadata
Show full item recordAbstract
Tujuan penulisan tesis ini adalah (i) Mengetahui profil pasar tenaga kerja termasuk pengangguran di DKI Jakarta secara spatial, (ii) Mengetahui seberapa jumlah pengangguran yang terjadi di DKI Jakarta yang ditinjau dari berbagai aspek, (iii) Mengetahui factor-faktor yang mempengaruhi pasar kerja dan terjadinya pengangguran dari berbagai karakteristik atau variabel yang dominan di DKI Jakarta, (iv) Melihat hubungan berbagai aspek dan model yang berkaitan dengan ketenagakerjaan termasuk pengangguran dengan pembangunan sosial-ekonomi daerah di DKI Jakarta. Penulisan ini dari segi cakupan wilayah yang dianalisis, seperti yang sudah disebutkan dibatasi pada wilayah DKI Jakarta, karena berdasarkan data Sakernas. 1999, diperoleh gambaran bahwa wilayah atau proinsi DKI Jakarta memiliki pengangguran yang paling banyak dibandingkan dengan wilayah atau propinsi lainnya. Kondisi ini mungkin disebabkan berbagai factor termasuk di dalamnya pengaruh krisis ekonomi. Kemudian dari segi data, pada penulisan ini kebanyakan menggunakan data sekunder yang berasal dari Badan Pusat Statistik (BPS) didukung oleh data-data lain yang berasal dari berbagai sumber dan Instansi yang relevan. Selanjutnya dari segi analisis sesuai dengan tujuan penelitian ini menggunakan analisis sosial-ekonomi dan analisis statistik, misalnya analisis deskriptif dalam melihat profil dan keragaman atau penyebaran ; dan ekonometrik melalui penuangan berbagai model yaitu model simultan dan model empirik dalam melihat kaitan siginifikansinya serta prediksi masalah ketenagakerjaan. Beberapa landasan dasar teori mendukung pada penulisan ini baik dari proses yang terjadi pada mekanisme pasar tenaga kerja secara makro, hingga terjadinya pengangguran akibat dari ketidakseimbangan pasar. Selain itu juga tinjauan pustaka menggambarkan konsep-konsep dasar dan hasil-hasil penelitian ketenagakerjaan yang menjadikan masukan yang berharga dalam penetapan spesifikasi model yang dibangun. Begitu juga dengan gambaran umum wilayah studi yang menunjukkan informasi mengenai kondisi berbagai aspek termasuk aspek sosial dan ekonomi serta gambaran prasarana dan sarana yang tersedia yang menunjukkan potensi yang ada di wilayah DKI Jakarta. Kondisi awal ketenagakerjaan juga dijabarkan berdasarkan informasi dari berbagai data awal/referensi yang tersedia. Secara metodologi dalam penelitian ini yang digunakan kebanyakan adalah data sekunder. Sedangkan sebagai alat analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif, yaitu dengan menggunakan table dan gambar. Kemudian didukung oleh alat analisis special (LQ/Location Quetient) dan analisis ekonometrik dengan menggunakan simultaneous equation. Hasil penelitian yang dapat dijabarkan secara deskriptif bahwa kondisi demand tenaga kerja menunjukkan bahwa kondisi usaha yang ada di DKI Jakarta kebanyakan adalah sektor informal. Ketidakseimbangan terjadi pada pasar tenaga kerja, sehingga terjadi pengangguran sebesar 13,2 persen (tahun 1999). Daya serap yang paling tinggi adalah pekerja yang berumur 55 tahun ke atas, sedangkan daya serap usia muda (15-24) di bawah 75 persen (67,2 persen). Kemudian secara relatif dari segi pendidikan daya serap paling tinggi adalah pada kelompok SD dan tidak sekolah dilanjutkan dengan berpendidikan diploma dan perguruan tinggi, serta tamatan sekolah menengah. Dari segi wilayah nampak daya serap agak merata dari masing-masing wilayah, yaitu berkisar 85 persen. Untuk kondisi umum upah tenaga kerja nampak telah diatas upah minimum Regional. Walaupun pada setiap wilayah, sektor dan jenis kelamin terjadi variasi upah, dimana upah industri masih tergolong kelompok terkecil, begitu juga upah perempuan cenderung lebih kecil dibanding dengan upah laki-laki. Secara umum jika dilihat dari kondisi pada wilayah DKI Jakarta produktivitas tenaga kerja yang paling tinggi terletak pada sektor keuangan yaitu sebesar 195 juta rupiah per orang per tahun dilanjutkan dengan sektor listrik, gas, dan air yaitu sebesar 126,3 juta rupiah per orang per tahun. Kondisi ini sedikit berbeda dengan kondisi nasional dimana yang pertama adalah sektor pertambangan dan dilanjutkan dengan sektor keuangan. Sedangkan produktivitas tenaga kerja yang terendah pada sektor pertanian yaitu sebesar 12,6 juta rupiah per orang per tahun dilanjutkan dengan sektor jasa yaitu sebesar 13,2 juta rupiah per orang per tahun. Kondisi ini mempunyai pola yang sama dengan kondisi nasional. Kemudian jika dilihat dari besaran output yang paling besar pada sektor perdagangan (37,7 triliun rupiah/24,5 persen terhadap total output) dilanjutkan dengan sektor keuangan. Selanjutnya jika dilihat dari besaran tenaga kerja yang paling besar pada sektor perdagangan (1,3 juta orang/34,7 persen terhadap total tenaga kerja). Dari hasil analisis spasial menunjukkan pada sektor pertanian wilayah Jakarta Utara merupakan sektor basis baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output, mungkin kondisi ini menggambarkan penekanan pada sub sektor perikanan sesuai dengan kondisi wilayah Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut. Pada sektor industri menjadi sektor basis pada Wilayah Jakarta Utara terutama pada pendekatan output. Untuk sektor bangunan atau konstruksi dengan pendekatan tenaga kerja maupun output menjadi sektor basis pada Wilayah Jakarta Selatan. Sektor perdagangan baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output menjadi sektor basis pada Wilayah Jakarta Pusat. Kemudian pada sektor angkutan dengan pendekatan tenaga kerja maupun output menjadi sektor basis di wilayah Jakarta Utara. Sedangkan pada sektor keuangan dengan pendekatan tenaga kerja merupakan sektor basis pada wilayah Jakarta Selatan tetapi dengan pendekatan output lebih dominan pada wilayah Jakarta Pusat. Selanjutnya untuk sektor jasa baik dengan pendekatan tenaga kerja maupun output nampaknya memberikan hampir merata dominan pada setiap wilayah kecuali pada wilayah Jakarta Utara. Berdasarkan analisis ekonometrik persamaan simultan dapat diperoleh gambaran bahwa pengendalian penduduk merupakan prioritas terhadap tingkat pengangguran. Kemudian dilanjutkan dengan penetapan upah yang seimbang antara antara dua keinginan pekerja dan pengusaha menjadi penelaahan lebih lanjut untuk menekan tingkat penganguran. Selanjutnya investasi harus tetap ditingkatkan untuk menurunkan tingkat pengangguran. Inflasi yang terkendali juga dapat mempengaruhi tingkat pengangguran, walaupun kenaikan inflasi pada periode sebelumnya menurunkan pengangguran. Mungkin hal ini merupakan insentif untuk pengembangan usaha tetapi perlu dilihat purchasing power dari masyarakat, sehingga tidak membuat kondisi memburuk. Kenaikan suku bunga juga akan meningkatkan pengangguran walaupun secara relatif sangat kecil
Collections
- MT - Economic and Management [2970]