Perdagangan dan karakteristik populasi panenan ular asin (Cerberus schneiderii) dari Jawa Barat
Date
2023Author
Herlambang, Alamsyah Elang Nusa
Kusrini, Mirza Dikari
Hamidy, Amir
Metadata
Show full item recordAbstract
Salah satu ular dari famili homalopsidae yaitu ular asin (Cerberus schneiderii) banyak diperdagangkan dari Indonesia. Namun, ular tersebut hanya sedikit diteliti di seluruh wilayah sebarannya yang luas. Data perdagangan dan biologis dari ular asin di Indonesia tidak terdokumentasi dengan baik. Berdasarkan data perdagangan dan pembedahan 3.382 ular yang dibawa ke fasilitas pemrosesan di Cirebon, Jawa Barat, kami mendokumentasikan volume dan karakteristik perdagangan, juga aspek biologi dari ular air yang memiliki habitat di daerah pesisir ini.
Panen komersial dilakukan pada individu dewasa jantan dan betina. 43 Negara diketahui mengimpor ular asin dalam berbagai bentuk (kulit dan turunannya, daging, hewan hidup, dan spesimen) dari 1984-2020. Singapura menjadi negara terbesar yang mengimpor jenis ini dari Indonesia (>60%) setara dengan 2.176.477 individu. Ular asin didapatkan dari alam (W>60%) di sebagian pesisir utara Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Ular asin diperoleh dari individu, dan kelompok pemburu ular. Ular asin dihargai 6000-12000 rupiah per kilogram. Ular asin yang diekspor sebagian besar berupa kulit dan daging.
Berdasarkan data perdagangan ular asin tersebut, pejantan menunjukkan pembesaran testis di akhir tahun (Agustus-November), akan tetapi betina yang produktif dan tidak produktif dijumpai di sepanjang tahun. Betina dapat memiliki 3-45 anakan dalam satu waktu, lebih banyak pada betina dengan ukuran lebih besar. Jenis ini diketahui memiliki kemampuan pematangan awal dalam fase reproduksinya, serta beranak (ovovivipar) sepanjang tahun.
Tekanan terhadap populasi ular asin akibat adanya panenan komersial dapat ditahan dengan membatasi panen di beberapa lokasi dan/atau beberapa waktu dalam setahun, sehingga dapat mengalihkan dampak panen dari kelompok kritis seperti betina dewasa. One of homalopsid snake, Asian bockadams (Cerberus schneiderii) is heavily traded from Indonesia. However, the snake has attracted relatively little study across their wide geographic range. Trade and biological data from Asian Bockadams in Indonesia are not well documented. Based on trade data and dissection of 3,382 snakes brought to a processing facility in Cirebon, West Java, we document the volume and characteristics of the trade, as well as the biology of the water snakes that have a habitat in the coastal area.
43 Countries are known to import asian bockadam in various forms (skins and derivatives, meat, live animals, and specimens) from 1984-2020. Singapore is the largest country that imports this species from Indonesia (> 60%), equivalent to 2,176,477 individuals. Asian bockadam are obtained mostly from nature (W> 60%), in parts of the north coast of West Java and Central Java. Asian bockadam are obtained from individuals and groups of snake hunters. Asian bockadam are valued at 6000-12000 rupiah per kilogram. Skin and meat are the most traded forms for asian bockadam.
Among all of the snake that harvested from West Java, males showed testicular enlargement late in the year (August-November), but both reproductive and non-reproductive females were found year-round. Litters were large (3 to 45 offspring), especially in larger females.
The commercial harvest falls mainly on adult snakes of both sexes. Life-history traits such as early maturation and frequent production of large litters render this species resilient to commercial harvesting. The data obtained can be used as a scientific basis in Asian Bockadams conservation management.
Collections
- MT - Forestry [1373]