Evaluasi Allotriploid Ikan Patin Siam Pangasianodon hypophthalmus x Ikan Patin Jambal Pangasius djambal
Abstract
Ikan patin merupakan salah satu komoditas budidaya air tawar yang bernilai ekonomis tinggi dan memiliki prospek untuk dikembangkan. Meskipun teknologi produksi telah dikuasai, budidaya ikan patin mengalami masalah masa pemeliharaan yang relatif panjang. Beberapa cara bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut mulai dari perbaikan mutu pakan, perbaikan lingkungan budidaya, hingga perbaikan mutu genetik. Salah satu teknologi rekayasa genetik yang dapat diterapkan untuk memperbaiki kualitas dari ikan patin adalah dengan rekayasa set kromosom, salah satu teknologi rekayasa set kromosom yang dapat diaplikasikan adalah poliploidisasi. Teknologi poliploidisasi yang dapat digunakan untuk menghasilkan ikan yang memiliki pertumbuhan cepat adalah triploidisasi, Selain triploidisasi peningkatan kualitas genetik dapat dihasilkan dengan cara hibridisasi. Teknologi yang lebih baik dibandingkan triploidisasi dan hibridisasi adalah triploid hibrid (allotriploid) yang terbentuk dari kombinasi hibridisasi dan poliploidisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek triploidisasi dan hibridisasi pada allotriploid ikan patin siam Pangasianodon hypophthalmus 4n x patin jambal Pangasius djambal 2n selama 6 bulan pemeliharaan.
Untuk mencetak allotriploid digunakan induk patin siam (Pangasianodon hypophthalmus) tetraploid ♀ dan patin jambal (Pangasius djambal) diploid ♂ dengan bobot rata-rata jantan 3 kg dan betina 4 kg. Pemijahan dilakukan dengan metode perangsangan pemijahan (induced breeding). Perlakuan persilangan dan pemijahan ikan patin dibagi menjadi 4 yaitu allotriploid, autotriploid, diploid hibrid dan diploid. Pada pengujian fase pembenihan ikan yang digunakan berumur 7 hari dengan berat berkisar 0,009 – 0,011 g dan panjang 0,35 – 0,39 inci. Ikan dipelihara menggunakan akuarium dengan kepadatan 7 ekor/L selama 45 hari, pada hari ke 30 dilakukan penjarangan menjadi 2 ekor/L. Pada pengujian fase pembesaran ikan yang digunakan berumur 52 hari dengan bobot awal ikan pada perlakuan allotriploid adalah 4,68±0,12 g, autotriploid 2,48±0,20 g, diploid hibrid 3,70±0,29 g, diploid 2,16±0,08 g dengan panjang allotriploid 2,79±0,17 inci, autotriploid 2,14±0,12 inci, diploid hibrid 2,55±0,16 inci dan diploid 2,09±0,01 inci. Ikan dipelihara selama 135 hari dalam keramba jaring berukuran 120x100x60 cm yang ditempatkan pada bak beton dengan kepadatan 100 ekor per jaring. Parameter pada kedua fase pengujian ini meliputi laju pertumbuhan harian, laju pertumbuhan mutlak, rasio konversi pakan dan tingkat kelangsungan hidup ikan. Verifikasi tingkat ploidi menggunakan metode preparasi nukleolus dan dikonfirmasi dengan menghitung jumlah kromosom pada preparat kromosom menggunakan metode kultur darah. Histologi gonad dilakukan pada saat usia ikan 4 bulan, 5 bulan dan 6 bulan. Histologi gonad diperlukan untuk melihat perkembangan gonad secara mikroskopis dari masing-masing perlakuan
Hasil identifikasi level ploidi menunjukkan bahwa ikan allotriploid memiliki jumlah maksimal nukleolus 3 dan memiliki jumlah kromosom sebanyak 3n = 84. Pada fase pembenihan terlihat bahwa ikan allotriploid memiliki performa pertumbuhan lebih baik secara signifikan (P<0,05) dibandingkan dengan perlakuan diploid hibrid, autotriploid dan diploid. Ikan allotriploid memiliki bobot akhir 4,68±0,12 g, diikuti diploid hibrid 3,70±0,29 g, autotriploid 2,48±0,20 g dan terendah ikan diploid dengan bobot akhir 2,16±0,08 g. Hal yang sama terjadi pada panjang akhir ikan allotriploid tertinggi dengan 2,79±0,16 inci, diikuti diploid hibrid 2,55±0,16 inci, autotriploid 2,14±0,12 inci dan terendah pada ikan diploid 2,09±0,01 inci.
Pada fase pembesaran ikan allotriploid memiliki laju pertumbuhan bobot harian dan panjang harian lebih rendah secara signifikan dibandingkan dengan ikan autotriploid dan diploid (P<0,05). Namun pada pertumbuhan mutlak ikan allotriploid menunjukkan hasil yang lebih berat secara signifikan dibandingkan perlakuan kontrol diploid (P<0,05), sedangkan pada laju pertumbuhan panjang mutlak tidak ditemukan perbedaan antar perlakuan (P>0,05). Bobot akhir ikan allotriploid signifikan lebih berat dibandingkan ikan diploid (P<0,05), sedangkan panjang akhir tidak menunjukkan perbedaan pada masing-masing ikan (P>0,05). Bobot tertinggi pada ikan allotriploid dengan bobot akhir 195,65±8,76 g dan panjang akhir 9,46±0,31 inci, diikuti ikan autotriploid dengan bobot akhir 187,75±5,43 g dan panjang akhir 9,11±0,18 inci, kemudian ikan diploid hibrid dengan bobot akhir 180,87±12,91 g dan panjang akhir 9,09±0,24 inci, ikan diploid memiliki bobot akhir dan panjang akhir paling rendah, dengan bobot 169,01±5,55 g dan panjang 8,99±1,61 inci.
Perkembangan testis pada ikan allotriploid dan autotriploid mengalami gangguan ditandai dengan tidak adanya spermatosit mencapai spermatid yang disebabkan oleh gangguan pada saat proses meiosis II yaitu pada saat spermatosit sekunder akan berdiferensiasi menjadi spermatid. Perkembangan ovari pada semua perlakuan menunjukkan masih dalam fase awal, sehingga indikasi steril pada ikan triploid betina belum terlihat dengan jelas. Hasil pengamatan rasio konversi pakan dan tingkat kelangsungan hidup menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antar-perlakuan (P>0,05). Dari hasil penelitian ini terlihat efek kombinasi hibridisasi dan poliploidisasi pada ikan allotriploid tidak memberikan efek negatif terhadap rasio konversi pakan dan tingkat kelangsungan hidup ikan, namun memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ikan.
Collections
- MT - Fisheries [2934]