Konflik, Artikulasi, Dan Hubungan Patron-Klien Pada Gerakan Sosial Petani Kontemporer
View/ Open
Date
2021Author
Setiawan, Tomi
Kinseng, Rilius A.
Buchori, Damayanti
Adiwibowo, Soeryo
Metadata
Show full item recordAbstract
Gerakan sosial sering kali dikategorikan sebagai perlawanan kolektif untuk menggugat suatu ketidakadilan atau untuk merebut kembali sumber-sumber yang diyakini sebagai miliknya.. Terdapat dua alasan utama mengapa saat ini topik tentang gerakan sosial yang berkaitan dengan konflik lahan sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas secara lebih mendalam. Yang pertama adalah tingginya eskalasi konflik agraria yang dibarengi dengan tindakan kolektif gerakan sosial petani, dan hal ini memerlukan penyelesaian secara legitimate. Yang kedua adalah situasi politik yang memberikan angin segar pada terciptanya perubahan sosial yang lebih berpihak pada petani.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dinamika gerakan sosial petani (prakondisi, pembentukan, kelembagaan, proses organisasi, strategi dan taktik serta bentuk tindakan kolektif, posisi dan peran aktor, morfogenesis gerakan dan artikulasi dalam arena politik. Secara lebih rinci dapat dirumuskan: (1) Menganalisis relasi agraria yang menjadi prakondisi munculnya gerakan sosial petani pedesaan yang kemudian memunculkan sebuah gerakan sosial petani. (2) Menganalisis struktur mobilisasi dan perlawanan petani dalam bingkai jaringan hubungan politik para aktor gerakan. (3) Menganalisis artikulasi gerakan sosial petani saat ini aras lokal, supra lokal dan nasional pada kesempatan politik yang ada. (4) Menganalisis hubungan-hubungan yang terjadi diantara organisasi gerakan dalam proses artikulasi kepentingan petani dan menggambarkan pola hubungan tersebut.
Berdasar pada rumusan masalah dan tujuan penelitian sebelumnya, maka paradigma yang digunakan tidak bersifat tunggal, tetapi multi-paradigma yakni paradigma kritis dan konstruktivisme, dengan pendekatan kualitatif. pengumpulan data, berupa wawancara mendalam, dokumentasi, observasi dan data sekunder. Pemilihan kasus yang paling relevan adalah organisasi gerakan sosial petani wilayah Jawa Barat yang menjadi representasi gerakan sosial petani. Gerakan sosial petani yang akan di analisis meliputi periode sebelum orde baru dan pasca orde baru (orde reformasi). Kasus perjuangan kolektif petani yang terjadi pada masa orde baru diposisikan sebagai bagian dari prakondisi yang mendorong munculnya gerakan sosial petani dan dalam penelitian ini diposisikan sebagai proses internal gerakan.
Hasil penelitian menunjukkan konflik disebabkan (a) Relasi agraria yang timpang karena eksploitasi kapitalisme di pedesaan, (b) Kemiskinan terjadi karena tiadanya akses dan penguasaan atas sumber daya oleh masyarakat lokal. Kemudian Struktur mobilisasi sumber daya terjadi pada individu-individu di level lokal yang langsung berhadapan dengan kuasa kapitalistik perkebunan, dan terjadi pada jaringan aktivis perkotaan yang berhadapan otoritas lokal, supra lokal maupun nasional. hadirnya kesempatan politik sejak terjadinya perubahan sistem rezim politik pasca orde baru dari kondisi tertutup yang kemudian mengalami keterbukaan. Artikulasi kepentingan petani terjadi secara bertingkat dengan memunculkan adanya “broker” atau “mediator” yang menjadi penghubung organisasi tani lokal ke otoritas lokal maupun supra lokal, dan nasional. Proses artikulasi tersebut kemudian memunculkan adanya hubungan patron-klien baru diantara masyarakat petani dengan aktivis perkotaan yang diwakili oleh Serikat Petani Pasundan. sebagai implikasi kebijakan kedepan penting kirnya untuk dilakukan Pertama, Pemerintah yang memiliki kewenangan atas tanah eks-perkebunan, harus segera melakukan langkah-langkah penyelesaian secara terstruktur. Kemudian, pemerintah seharusnya juga senantiasa bertindak secepatnya jika ada rakyat yang menempati atau menduduki tanah yang bukan hak mereka. Jika kesalahan itu dibiarkan berlarut-larut, apalagi sampai turun generasi ke generasi, maka persoalannya akan semakin menjadi akut dan sulit diselesaikan secara baik-baik. Kedepan harus ada agenda khusus untuk merumuskan kebijakan HGU berbasis rakyat melalui model Bumdes /Koperasi di tingkat lokal. Kedua, Berdasarkan pengalaman atas aksi-aksi reklaiming yang berhasil sampai pada mendapatkan pengakuan hak atas tanah (sertifikat), maka gerakan petani lokal dituntut untuk mengembangkan kembali organisasi, dan kapasitas serta kompetensi para anggotanya, selain itu perlu membangun jaringan komunikasinya secara efektif sehingga akan mendapatkan jaringan dukungan yang lebih baik dari organisasi-organisasi politik lebih luas. Dengan demikian petani akan memiliki bergaining position yang lebih baik dalam menyelesaikan masalah konflik lahan yang dihadapinya.
Collections
- DT - Human Ecology [566]