Respons Fisiologis dan Produktivitas Kerbau Lumpur pada Kondisi Agroklimat yang Berbeda
Date
2022Author
Reswati
Purwanto, Bagus Priyo
Priyanto, Rudy
Manalu, Wasmen
Arifiantini, R. Iis
Metadata
Show full item recordAbstract
Kerbau merupakan ternak yang potensial sebagai penghasil daging, akan tetapi populasinya terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Kerbau dikenal merupakan ternak yang rentan mengalami stres. Hal ini menyebabkan gangguan fisiologis yang berdampak pada gangguan metabolisme, gangguan sistem endokrin, dan penurunan produktivitas kerbau. Pemeliharaan kerbau selain itu, menyebar pada berbagai kondisi agroklimat menyebabkan variasi produktivitas antar-kondisi agroklimat. Kondisi agroklimat ditentukan oleh unsur iklim, seperti temperatur, kelembapan dan temperature-humidity index (THI) merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada tingkat kenyamanan ternak yang kondisinya berbeda-beda di setiap daerah. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis respons fisiologis dan produktivitas kerbau lumpur pada kondisi agroklimat yang berbeda.
Penelitian dilakukan dalam tiga tahapan. Penelitian tahap pertama dilakukan dengan metode survei dan mengumpulkan data melalui wawancara dengan peternak dan observasi ke kandang atau tempat penambatan kerbau. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi performa reproduksi kerbau betina yang dipelihara pada kondisi agroklimat berbeda di dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi. Parameter yang diidentifikasi adalah umur pertama kawin (age at first mating), umur pertama beranak (age at first calving), selang beranak (calving interval), body condition score (BCS), dan service per conception (S/C). Data dikumpulkan dari 235 ekor kerbau yang terdiri atas 91 ekor di dataran rendah, 66 ekor di dataran sedang, dan 78 ekor di dataran tinggi. Wawancara dilakukan kepada 227 peternak pemilik kerbau yang dijadikan sampel. Data performa reproduksi, data teknis pemeliharaan kerbau juga dikumpulkan dan diberi skor berdasarkan Pedoman Identifikasi Faktor Penentu Teknis Petenakan (DITJENNAK 1992).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa performa reproduksi kerbau di ketiga lokasi penelitian belum optimal dilihat dari umur beranak pertama yang masih lambat dan selang beranak yang panjang di ketiga lokasi. Nilai BCS di ketiga lokasi termasuk sedang yaitu 3,0 sampai dengan 3,20. Service per Conception di ketiga lokasi dan umur pertama kawin pada kerbau di dataran sedang dan dataran tinggi masih dalam rentang optimal. Performa reproduksi kerbau betina yang belum optimal di ketiga lokasi penelitian disebabkan oleh sistem pemeliharaan kerbau yang masih kurang baik. Hal ini terlihat dari skor penerapan aspek teknis pemeliharaan kerbau yang masih rendah di ketiga lokasi. Skor penerapan aspek teknis di dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi masing-masing 34,1; 39,9; dan 43,5% dari standar yang ditetapkan oleh DITJENNAK (1992). Rata-rata skor penerapan aspek teknis di dataran tinggi lebih baik dibandingkan dengan dataran rendah dan dataran sedang. Hal ini menggambarkan bahwa sistem pemeliharaan kerbau di daerah dataran tinggi lebih baik dibandingkan dengan kedua daerah lainnya, meskipun masih termasuk kategori “rendah”.
Penelitian tahap kedua bertujuan untuk menganalisis profil hormon tiroksin, kortisol, dan testosteron pada serum kerbau yang hidup di daerah dengan kondisi agroklimat berbeda di dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi. Serum dikoleksi dari 18 ekor kerbau jantan dewasa dan 20 ekor kerbau dara. Analisis hormon dilakukan dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Konsentrasi hormon tiroksin, kortisol, dan testosteron cenderung tinggi pada kerbau jantan dan kerbau dara di dataran tinggi. Konsentrasi ketiga hormon cenderung rendah pada serum kerbau jantan dan betina di dataran rendah, kecuali hormon kortisol pada jantan terrendah terdapat pada kerbau di dataran sedang. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi agroklimat memengaruhi konsentrasi ketiga hormon tersebut.
Penelitian tahap ketiga dilakukan dengan metode eksperimen (percobaan) yang bertujuan untuk mengidentifikasi respons termoregulasi kerbau lumpur terhadap kondisi agroklimat dan konsumsi pakan yang berbeda. Penelitian dilaksanakan di tiga lokasi dengan kondisi agroklimat berbeda, yaitu dataran rendah, dataran sedang, dan dataran tinggi. Penelitian ini menggunakan 12 kerbau dara berumur 2-3 tahun masing-masing 4 ekor per lokasi. Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Bujur Sangkar Latin (RBSL) 4 x 4. Perlakuan terdiri atas 4 jenis ransum dengan kandungan energi yang berbeda. Parameter yang diukur terdiri atas temperatur lingkungan (Ta), Temperature Humidity Index (THI), konsumsi bahan kering (DM) dan total digestible nutrient (TDN), respons termoregulasi yang terdiri atas temperatur rektum (Tr), rata-rata temperatur permukaan kulit (mTs), temperatur tubuh (Tb), denyut jantung (HR), serta frekuensi pernapasan (RR). Percobaan dilakukan selama 20 hari di setiap lokasi dan pengukuran parameter dilakukan pada hari ke-11, 14, 17, dan 20 setiap 3 jam mulai jam 6 pagi (6 kali pengukuran).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa agroklimat dan konsumsi pakan berpengaruh pada respons termoregulasi. Semua parameter respons termoregulasi meningkat dengan peningkatan energi pakan. Temperatur rektum, temperatur permukaan kulit, temperatur tubuh, denyut jantung, dan frekuensi pernapasan tertinggi diperlihatkan oleh kerbau yang diberi pakan dengan TDN tertinggi. Analisis regresi memperlihatkan hubungan yang kuat antara respons termoregulasi dengan konsumsi TDN. Terdapat perbedaan intersep (a) dan koefisien regresi (b) pada persamaan regresi antara temperatur rektum dan konsumsi TDN di setiap lokasi. Nilai a dan b menurun dengan peningkatan ketinggian tempat. Respons termoregulasi sensitif terhadap perubahan konsumsi pakan dan kondisi agroklimat dan terdapat set point yang spesifik pada setiap agroklimat.
Penelitian tahap satu, dua, dan tiga menggambarkan bahwa agroklimat berpengaruh pada performa reproduksi, profil hormon tiroksin, kortisol, dan testosteron, serta respons termoregulasi kerbau. Agroklimat tidak berpengaruh pada BCS. Penerapan aspek teknik pemeliharaan kerbau, di samping faktor agroklimat, juga berpengaruh pada performa reproduksi kerbau. Kerbau di dataran tinggi dan dataran sedang memperlihatkan performa reproduksi yang lebih baik yang ditunjang oleh sistem pemeliharaan yang lebih baik dan agroklimat yang nyaman sehingga menunjang kondisi fisiologis yang lebih baik dibandingkan dengan kerbau di dataran rendah.
Collections
- DT - Animal Science [346]