Pengaruh Status Dan Luas Lahan Usahatani Kentang (Solanum Tuberosum L.) Terhadap Produksi Dan Pendapatan Petani (Kasus: Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat)
Abstract
Mayoritas petani Indonesia merupakan petani gurem dengan kepemilikan lahan garapan kurang dari 0,5 hektar. Jumlah rumah tangga petani gurem ratarata selama sepuluh tahun terakhir meningkat 2,39 persen per tahun (BPS, 2003). Lahan di lokasi penelitian mengalami perubahan penguasaan dari milik menjadi sewa ataupun gadai. Perubahan penguasaan tanah menyebabkan lahan terpecah ke dalam persil yang lebih kecil, oleh karena itu perlu adanya suatu penelitian tentang pengaruh status dan luas lahan terhadap produksi dan pendapatan petani kentang di lokasi penelitian. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh status kepemilikan dan luas lahan garapan terhadap produksi serta menganalisis pendapatan petani menurut status dan luas lahan garapan di lokasi penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Argalingga, Kecamatan Argapura, Kabupaten Majalengka, Propinsi Jawa Barat. Lokasi Penelitian dipilih secara sengaja (purposive). Waktu pengambilan data ditentukan pada pertengahan bulan Maret sampai pertengahan bulan April 2005. Data yang dikumpulkan berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara responden. Data sekunder diperoleh instansi pemerintah, Internet dan literatur lain yang relevan. Populasi berjumlah 72 orang dan contoh berjumlah 30 orang diambil dari populasi secara acak bertingkat (stratified random sampling). Contoh tambahan diambil sebesar 12 orang, maka jumlah contoh keseluruhan adalah sebanyak 42 orang. 5 orang merupakan pencilan. Produksi kentang diduga dengan fungsi produksi Cobb- Douglas. Analisis pendapatan yang digunakan adalah analisis pendapatan atas biaya tunai dan atas biaya total, analisis imbangan penerimaan dan biaya (R/C ratio). Petani kentang di lokasi penelitian menguasai lahan dengan cara memiliki sendiri, menyewa ataupun menggadai. Lahan sewa diperoleh dengan memberikan uang untuk periode waktu tertentu kepada pemilik lahan, biasanya satu musim tanam. Sistem gadai dilakukan dengan cara memberikan pinjaman uang kepadapemilik lahan dengan lahan garapan sebagai jaminan. Lahan garapan dimanfaatkan oleh pemberi pinjaman untuk beberapa periode tertentu (di lokasi penelitian biasanya maksimal tiga tahun). Lahan garapan dikembalikan kembali setelah petani pemilik melunasi pinjaman. Rata-rata produksi per hektar (yield) kentang granola sebesar 9,3 ton berada dibawah standar produksi kentang granola yaitu sebesar 20 ton (Rukmana, 1997). Bibit kentang diperoleh dengan menangkarkan bibit dari hasil panen sebelumnya. Jumlah bibit kentang yang digunakan rata-rata sebesar 791,94 kilogram per hektar, jumlah tersebut lebih kecil dari jumlah bibit standar yaitu 1200 kilogram per hektar (Rukmana, 1996). Bibit kentang umumnya berukuran kecil (Ares) dan jarak tanam di lokasi penelitian sebesar 75 sentimeter x 35 sentimeter. Lahan gadai menggunakan bibit dalam jumlah yang paling besar, sehingga menghasilkan produksi per hektar yang paling besar, hal ini menunjukan bibit berhubungan linier dengan produksi. Pupuk kandang diberikan rata-rata sebesar 14.580,64 kilogram per hektar. Pemberian pupuk kandang kurang dari dosis yang ditetapkan yaitu sebesar 20.000 kilogram per hektar (Rukmana, 1996). Kebutuhan unsur nitrogen, fosfor dan kalium dalam usahatani kentang, sudah terpenuhi jika diberikan pupuk NPK Phonska dan ZA. Petani memberikan pupuk tambahan seperti Urea, sehingga melebihi kebutuhan unsur hara tanaman. Penggunaan rata-rata pupuk NPK Phonska (269,03 kilogram per hektar) kurang dari dosis yang ditetapkan yaitu sebesar 1000-1200 kilogram per hektar. Pemberian pupuk NPK Phonska yang lebih kecil dari standar disebabkan harga pupuk ini lebih mahal dibandingkan jenis pupuk yang lain. Untuk mengatasi kekurangan dosis unsur hara maka petani biasanya menambahkan jenis pupuk tunggal seperti Urea. Hal inilah yang menyebabkan dosis pupuk berlebih, seperti rata-rata penggunaan pupuk ZA (361,53 kilogram per hektar) yang melebihi dosis yang ditetapkan yaitu sebesar 200 kilogram per hektar. Pestisida yang umum digunakan adalah Daconil dan Dithane. Daconil digunakan rata-rata petani sebesar 9,3 kilogram per hektar melebihi aturan pemakaiannya yaitu sebesar 1 sampai 1,6 kilogram per hektar. Dosis yang ditetapkan perusahaan obat untuk Dithane sebesar 1,2 sampai 2,4 kilogram perhektar, tetapi petani memberikan Dithane melebihi dosis yang telah ditetapkan (rata-rata penggunaan Dithane sebesar 11,2 kilogram per hektar). Standar kebutuhan tenaga kerja untuk usahatani kentang menurut Rukmana (1996) sebesar 300 HKP per hektar, sedangkan rata-rata pemakaian tenaga kerja aktual di lokasi penelitian sebesar 345,9 HKP per hektar. Usahatani kentang di lokasi penelitian berada pada kondisi Constant Return to Scale. Bibit kentang mempunyai nilai koefisien regresi sebesar 0,4, artinya setiap satu persen perubahan dalam bibit kentang akan menyebabkan perubahan dengan arah yang sama terhadap hasil sebesar 0,4 persen dan berpengaruh nyata pada a = 10%. Faktor produksi lain seperti pupuk kandang, pupuk kimia, pestisida dan tenaga kerja tidak menunjukan pengaruh ya ng nyata pada a = 5% maupun a = 10%, hal ini sesuai dengan hasil analisis input produksi bahwa penggunaan faktor-faktor produksi tersebut tidak sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan. Nilai koefisien peubah boneka satu (D1) yaitu 0,2833 lebih besar dari koefisien peubah boneka dua (D2), yaitu sebesar -0,1294, hal ini menunjukan penguasaan lahan sewa mempunyai intercept yang lebih besar milik, artinya produksi kentang yang diperoleh dari lahan sewa lebih besar dari lahan milik. Hasil uji-t untuk peubah boneka kategori status lahan menunjukan bahwa antara ketiga jenis status lahan tidak menunjukan perbedaan yang nyata pada a = 5%. Hasil uji-t peubah boneka luas lahan (D) menunjukan bahwa luas lahan tidak menunjukan pengaruh yang nyata terhadap produksi per hektar pada a = 5%. Lahan sewa mempunyai nilai pendapatan atas biaya total maupun pendapatan atas biaya tuna i yang positif, hal ini disebabkan komponen biaya total maupun biaya tunainya lebih kecil dari penerimaannya. Komponen biaya status sewa merupakan yang paling kecil diantara penguasaan lahan- lahan lainnya. Nilai R/C ratio lahan sewa bernilai positif yaitu sebesar 1,07 dan 1,30, artinya setiap 1 rupiah yang dikeluarkan untuk penggunaan faktor produksi mendapat penerimaan sebesar 1,07 rupiah atas biaya total dan 1,3 rupiah atas biaya tunai. R/C ratio penguasaan lahan lain bernilai negatif kecuali R/C ratio atas biaya tunai lahan kurang dari satu hektar, keadaan ini menunjukan bahwa sebagian besar petani menderita kerugian.
Collections
- UT - Agribusiness [4611]