Sifat Dan Jadwal Pengeringan Beberapa Jenis Kayu Hutan Rakyat (Acacia Mangium, Albizia Falcataria, Pterocarpus Indicus, Dan Maesopsis Eminii)
Abstract
Kelangkaan bahan baku kayu dari hutan alam maupun hutan produksi telah mendorong kecenderungan peningkatan permintaan bahan baku kayu dari hutan rakyat yang sebagian besar merupakan jenisjenis kayu yang belum cukup dikenal penggunannya dalam industri perkayuan. Upayaupaya penanganan yang tepat perlu diperhatikan untuk menghasilkan mutu dan kualitasnya yang terbaik dan sesuai dengan tujuan penggunaannya sebagai bahan baku dalam industri perkayuan, baik selama proses pengolahan maupun setelah menjadi produk komoditi tertentu. Kegiatan pengeringan kayu yang umumnya dilakukan menggunakan kilang pengering di industriindustri perkayuan, merupakan salah satu tahap awal yang paling penting sebelum proses pengolahan selanjutnya dilakukan. Kegiatan pengeringan juga bertujuan untuk menghasilkan kualitas bahan baku kayu yang prima dan lebih mudah untuk diproses lebih lanjut. Jadwal pengeringan merupakan salah satu faktor penting yang menentukan keberhasilan pengeringan kayu dalam kilang pengering. Jadwal pengeringan yang tepat akan mendukung proses pengeringan sehingga dapat berlangsung dalam waktu yang sesingkat mungkin dan mencapai kadar air kayu yang diinginkan dengan cacat yang minimal. Sedangkan untuk menetapkan berapa besar suhu dan kelembaban awal hingga akhir pengeringan dalam waktu yang optimal tanpa merusak kualitas kayu, diperlukan pengetahuan dasar tentang sifat pengeringan kayu (Terazawa 1965). Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui sifat pengeringan dan menentukan jadwal pengeringan dasar yang sesuai untuk digunakan mengeringkan kayu rakyat (akasia, jeunjing, angsana, dan afrika) dengan menggunakan kilang pengering. Sedangkan manfaat yang diharapkan dari penelitian ini ialah untuk dapat meminimumkan biaya dalam proses pengeringan kayu serta untuk meningkatkan kualitas dan mencapai optimasi nilai guna kayu rakyat sebagai bahan baku industri. Berdasarkan penelitian ini, nilai berat jenis kayu terbukti memiliki hubungan dengan tingkat penyusutan volume selama proses pengeringan. Kayu dengan berat jenis yang tinggi akan menghasilkan nilai susut volume yang lebih besar dibanding kayu dengan berat jenis yang lebih rendah dan cenderung berpengaruh pada lama pengeringan. Kayu jeunjing dengan berat jenis terendah yaitu 0,32 memiliki nilai susut volume sebesar 2,68 %, kayu afrika dengan berat jenis 0,42 memiliki nilai susut volume sebesar 2,72 %, kayu angsana dengan berat jenis 0,45 memiliki nilai susut volume sebesar 3,41 %, sedangkan untuk kayu akasia dengan berat jenis 0,56 memiliki nilai susut volume sebesar 7,63 %. Berdasarkan pengujian pendahuluan diketahui bahwa kayu akasia memiliki sifat pengeringan agak buruk untuk cacat pecah permukan, baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan kayu jeunjing memiliki sifat pengeringan yang buruk untuk cacat pecah permukaan, baik untuk cacat pecah dalam dan sedang untuk cacat pecah deformasi. Sifat pengeringan pada kayu angsana ialah sedang untuk cacat pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam dan agak buruk untuk cacat deformasi, sedangkan untuk kayu afrika memiliki sifat pengeringan yang baik untuk cacat v pecah permukaan, agak baik untuk cacat pecah dalam serta sangat buruk untuk cacat deformasi. Hasil yang diperoleh dari pengujian tersebut ialah bahwa kayu akasia dengan berat jenis 0,55 dan kayu angsana dengan berat jenis 0,45 termasuk dalam kategori 5 (agak buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0C, suhu akhir 77 0C, kelembaban awal 81 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu jeunjing dengan berat jenis 0,32 termasuk dalam kategori 6 (buruk) untuk tingkat cacat pecah permukaan, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 50 0C, suhu akhir 81 0C, kelembaban awal 90 %, dan kelembaban akhir 28 %. Kayu afrika dengan berat jenis 0,42 termasuk dalam kategori 7 (sangat buruk) untuk tingkat cacat deformasi, sehingga dianjurkan untuk dikeringkan menggunakan suhu awal 47 0C, suhu akhir 70 0C, kelembaban awal 89 %, dan kelembaban akhir 27 %. Data tersebut menunjukan bahwa jadwal pengeringan dasar untuk jenis kayu akasia, angsana dan afrika lebih ditentukan dari tingkat cacat deformasi sebagai cacat yang mengalami kerusakan terparah, sedangkan untuk kayu jeunjing lebih ditentukan oleh tingkat cacat pecah permukaannya. Berdasarkan konversi yang mengacu pada standar Forest Product Laboratory (FPL) Madison (Torgeson 1951 dalam Basri et al. 2000), maka jadwal pengeringan dapat dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok kayu yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu 50 – 80 0C (akasia, jeunjjing, angsana) yang dapat dikeringkan bersamaan dan kayu afrika yang memiliki jadwal pengeringan pada kisaran suhu 50 – 70 0C. Jika jadwal pengeringan kayu akasia, jeunjing dan angsana digunakan untuk mengeringkan kayu afrika maka akan terjadi kerusakan parah pada kayu yang dikeringkan namun jika sebaliknya maka pengeringan pada kayu akasia, jeunjing dan angsana akan membutuhkan waktu lebih lama. Berdasarkan pertimbangan itu, maka pengujian pengeringan pada kilang pengering menggunakan jadwal pengeringan dari kayu afrika. Kata Kunci : Jadwal pengeringan, kilang pengering, sifat pengeringan, cacat pengeringan.
Collections
- UT - Forestry Products [2376]