Analisis biologi reproduksi, kebiasaan makanan, dan konektivitas populasi mimi (Xiphosura: Limulidae) di daerah Paparan Sunda
Date
2022Author
Aini, Naila Khuril
Effendi, Hefni
Wardiatno, Yusli
Mashar, Ali
Madduppa, Hawis
Metadata
Show full item recordAbstract
Mimi adalah hewan purba yang mampu bertahan hampir 450 juta tahun dengan bentuk morfologi yang cenderung stabil. Terdapat empat jenis mimi di dunia dan tiga diantaranya dapat ditemukan di perairan Indonesia, yaitu Carcinoscorpius rotundicauda Latreille, 1802, Tachypleus gigas Müller, 1785, dan Tachypleus tridentatus Leach, 1819. Keberadaan ketiga jenis mimi di Indonesia tidak diikuti dengan ketersediaan data yang mencukupi. Informasi dasar tentang biologi mimi di Indonesia belum banyak terungkap. Status konservasi mimi berdasarkan IUCN Red List of Threatened Species adalah terancam punah untuk T. tridentatus, sedangkan dua lainnya C. rotundicauda dan T. gigas berstatus data deficient atau kurang data. Beberapa negara menyatakan mimi mengalami penurunan populasi dan berpotensi untuk menghadapi risiko kepunahan secara global. Akan tetapi, hingga saat ini data dan informasi biologi mimi di Indonesia masih terbatas.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis karakteristik habitat pemijahan mimi serta beberapa aspek reproduksinya untuk jenis T. gigas di Subang, Jawa Barat, menganalisis jenis makanan mimi serta menguraikan persaingan makanannya berdasarkan DNA-metabarcoding, menganalisis konektivitas populasi yang terdapat di Indonesia untuk jenis T. gigas berdasarkan marka molekuler DNA-mitokondria pada bagian AT-rich untuk mengetahui keterkaitan populasi satu dengan yang lainnya.
Metode yang digunakan dalam analisis karakteristik habitat pemijahan adalah pengamatan secara langsung pada bulan penuh dan bulan baru untuk mengetahui keberadaan T. gigas yang sedang memijah dan telur yang telah didepositkan. Pengamatan parameter lingkungan di daerah pemijahan juga diukur untuk mengetahui karakteristik habitatnya. Selanjutnya analisis kebiasaan makanan C. rotundicauda dan T. gigas dilakukan berdasarkan DNA-metabarcoding. Analisis DNA yang berasal dari isi lambung diperoleh dengan tahapan ekstraksi, amplifikasi, elektroforesis, sekuensing DNA, dan pengolahan data bioinformatik. Selain itu, metode serupa juga dilakukan untuk mengetahui konektivitas populasi T. gigas di daerah Paparan Sunda berdasarkan DNA mitokondria bagian AT-rich. Proses analisis data dilakukan dengan menggunakan beberapa perangkat lunak seperti Obitools, RStudio, MEGAX dan DNAsp.
Daerah pemijahan mimi yang ditemukan pada penelitian ini terdapat di Subang, Jawa Barat khususnya di Pulau Burung dan Segara Menyan. Indikasi penentuan daerah pemijahan tersebut berdasarkan penemuan sepasang mimi yang sedang melakukan pemijahan, sarang dan telurnnya. Jumlah sarang yang ditemukan pada pengamatan bulan penuh sebanyak 50 sarang dengan total fekunditas 12.422 telur, sedangkan pada bulan baru sebanyak 27 dengan total fekunditas 5.841 telur. Karakteristik habitat yang dijadikan sebagai tempat pemijahan dan peneluran mimi cenderung spesifik, berada di gundukan pasir sekitar genangan air bekas tambak dan di sekitar tanaman mangrove. Rhizophora sp. Jenis substrat dominan pasir halus dan kasar. Sarang mimi yang telah ditemukan sebagian besar terletak di daerah tenang, terlindung dari gangguan gelombang ataupun ombak dan berada di tempat yang cenderung teduh dengan kelembaban yang cukup.
Peranan penting mimi dalam sistem ekologi salah satunya sebagai pengendali struktur komunitas bentos. Hasil analisis komposisi jenis makanan berdasarkan DNA-metabarcoding menjelaskan bahwa C. rotundicauda dan T. gigas termasuk kelompok hewan karnivora. Jenis makanan C. rotundicauda dan T. gigas di Balikpapan didominasi oleh polychaeta (Clhoeia parva, Ancistrosyllis groenlandica, Mediosmastus sp.) dan scyphozoa (Lychnorhiza sp., dan Catostylus sp.). Jenis makanan C. rotundicauda di Demak sebagian besar gastropoda (Philine aperta dan Perinella cingulata), sedangkan pada T. gigas sebagian besar palaeonemertea (Callinera sp. dan Tubulanus sp.). Jenis makanan C. rotundicauda di Sumenep yang banyak ditemukan adalah polychaeta (Ancistrosyllis groenlandica dan Platinereis sp.), sedangkan pada T. gigas adalah gastropoda (Bulinimus labrosus). Hasil analisis berdasarkan metode Bray-Curtis dan Jaccard di setiap lokasi menunjukkan komposisi jenis makanan C. rotundicauda dan T. gigas tidak berbeda nyata (p>0,05). Preferensi jenis makanan kedua jenis mimi di Balikpapan cenderung sama, berbeda dengan di Demak dan Sumenep yang preferensi jenis makanannya berbeda.
Kondisi populasi mimi di Indonesia berdasarkan keragaman genetik berada pada kondisi yang cukup baik. Keragaman haplotipe mimi di Indonesia cukup tinggi berkisar antara 0,783 hingga 0,945 dan keragaman nukleotida tergolong rendah mulai dari 0,003 hingga 0,009. Artinya komposisi basa nukleotida setiap individu di masing-masing lokasi cenderung sama. Hasil analisis struktur populasi berdasarkan nilai FST menunjukkan bahwa terdapat sub-divisi antar populasi pada tingkatan yang rendah (little subdivision). Artinya populasi mimi di Indonesia terindikasi campur atau saling terhubung. Nilai FST yang rendah juga mencerminkan adanya pergerakan antar-populasi selama interval multi-generasi. Hal tersebut dapat terjadi karena adanya pertukaran individu dari satu populasi ke populasi lainya serta adanya perkawinan antar populasi. Selaras dengan hasil konektivitas populasi yang menunjukkan bahwa populasi mimi di Indonesia terindikasi single stok berdasarkan keberadaan haplotipe bersama (sharing haplotype) yang teridentifikasi. Horseshoe crab exist since the Ordovician period 450 million years ago with a stable morphology (not changes much morphological character). There are four species in the world and three of them can be found in Indonesian waters, namely Carcinoscorpius rotundicauda, Tachypleus gigas and Tachypleus tridentatus. The existence of these three species of horseshoe crab in Indonesia is not followed by the availability of sufficient data. Basic information about the biology of this crab in Indonesia has not been revealed much. Horseshoe crab conservation status based on the IUCN Red List of Threatened Species is Endangered for T. tridentatus while the other two, C. rotundicauda and T. gigas are data deficient. Several countries revealed that their population is consistently decreasing over the years and has potential risk to be vanished globally and regionally. However, until now, data and information on the biology of horseshoe crab in Indonesia is still limited.
The aims of this study were to analyze the characteristic of spawning habitats and nesting area of T. gigas in Subang, West Java, analyzes the composition of food habits and competition of C. rotundicauda and T. gigas based on DNA-metabarcoding, also analyze the population connectivity of T. gigas in Sundaland based on DNA-mitochondria molecular markers AT-rich region to determine the relationship between populations.
The method that used in the analysis of the spawning habitat characteristics was direct observation at the new moon and full moon phase to determine the presence of spawning T. gigas and the eggs that have been deposited. Environmental observations in spawning areas were also measured to determine the characteristics of their habitat. Furthermore, the analysis of the food habits of C. rotundicauda and T. gigas was carried out based on DNA-metabarcoding. Analysis of DNA derived from gut contents was obtained by extraction, amplification, electrophoresis, DNA sequencing and processing of bioinformatic data. In addition, a similar method was also used to determine the population connectivity of T. gigas in the Sunda Shelf based on the DNA-mitochondrion of the AT-rich region. The data analysis process was carried out using several software such as Obitools, RStudio, MEGAX and DNAsp.
Horseshoe crab spawning areas that found in this study are located in Subang, West Java, especially in the Burung Island and Segara Menyan areas. Spawning area indicated by the presence of nests and eggs around 11–16 cm below the substrate, also a pair of T. gigas spawn the eggs. The number of nests that found during full moon phase was 50 nests with a total fecundity up to 12.422 eggs, while during new moon phase was 27 nests with a total fecundity 5.841 eggs. The habitat characteristics of spawning area tend to be specific, located on sand dunes around ex-ponds and mangrove Rhizophora sp. The dominant type of substrate is fine and coarse sand. Mimi nests that have been found are mostly located in quiet areas, protected from waves and tend to be shady and moist.
The important role of horseshoe crab in the ecological system is controlling the structure of the benthic community. The results of food type based on DNA-metabarcoding explained that C. rotundicauda and T. gigas tended to be carnivorous. Diet analysis revealed that C. rotundicauda and T. gigas in Balikpapan were dominated by polychaeta (Clhoeia parva, Ancistrosyllis groenlandica, Mediosmastus sp.) and scyphozoa (Lychnorhiza sp., and Catostylus sp.). However, in Demak C. rotundicauda are mostly consume gastropods (Philine aperta and Perinella cingulata), while T. gigas was mostly palaeonemertea (Callinera sp. and Tubulanus sp.). In addition, C. rotundicauda in Sumenep has diet preference in polychaeta (Ancistrosyllis groenlandica and Platinereis sp.), while T. gigas was in gastropod (Bulinimus labrosus). The results of the analysis based on the Bray-Curtis and Jaccard method at each location showed that diet composition of C. rotundicauda and T. gigas was not significantly different (p>0,05). The food preferences both crabs in Balikpapan tend to be similar, in contrast to those in Demak and Sumenep which have different food preferences.
Horseshoe crab population in Indonesia based on genetic diversity are in a fairly good condition. This crab has high haplotype diversity ranging from 0,783 to 0,945 and low nucleotide diversity ranging from 0,003 to 0,009. low level of nucleotide diversity means that the nucleotide base composition of each individual at each location tends to be the same. The results of the population structure analysis based on the FST value revealed that there are little subdivisions between populations. This means that horseshoe crab population in Indonesia is indicated to be mixed or interconnected. Low FST values also reflect inter-population movements over multi-generational intervals. This can occur because of the individuals exchange and movement from one population to another and the existence of inter-population marriages. In line with the results of population connectivity, this crab population is indicated by a single stock or based on the presence of an identified sharing haplotype.
Collections
- DT - Fisheries [726]