Analisis Pengaruh Variabel Ekonomi dan Konsumsi Pangan terhadap Prevalensi Stunting Anak 0-59 Bulan di Indonesia
Date
2022-08Author
Randani, Aldiza Intan
Baliwati, Yayuk Farida
Sukandar, Dadang
Tanziha, Ikeu
Metadata
Show full item recordAbstract
Permasalahan stunting di Indonesia masih tergolong dalam permasalahan kesehatan dengan tingkat keseriusan yang tinggi. Hal ini disebabkan karena nilai prevalensi stunting di Indonesia tahun 2018-2021 lebih dari 20%. Angka tersebut masih jauh dari target pemerintah, yaitu 14% pada tahun 2024. Selain itu, urgensi permasalahan stunting di Indonesia juga terkait dengan konsekuensi yang dapat disebabkan oleh stunting, baik konsekuensi jangka pendek hingga jangka panjang. Hal ini digambarkan dalam kerangka konseptual stunting yang juga menyebutkan bahwa penyebab stunting terdiri atas faktor kontekstual dan faktor kausal. Variabel ekonomi menjadi salah satu faktor kontekstual, sedangkan konsumsi pangan menjadi salah satu faktor kausal yang dapat menyebabkan stunting pada anak. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan besar kontribusi variabel ekonomi dan konsumsi pangan terhadap prevalensi stunting anak di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain penelitian analisis ecological study dengan penggunaan data sekunder tahun dasar 2019 dan 34 provinsi sebagai unit analisis. Data yang digunakan terkait stunting, variabel ekonomi (petumbuhan ekonomi, kemiskinan, tingkat pengangguran, dan ketimpangan ekonomi, dan jumlah pengeluaran pangan dan non pangan), dan konsumsi pangan (Tingkat Kecukupan Energi (TKE), Tingkat Kecukupan Protein (TKP), dan skor Pola Pangan Harapan (PPH)). Variabel dianalisis menggunakan analisis uji regresi berganda dengan metode backward elimination dan analisis jalur. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara kausal, prevalensi anak di Indonesia pada tahun 2019 dipengaruhi oleh TKP dan skor PPH. Persentase TKP mempunyai kontribusi sebesar 13,16% dalam peningkatan prevalensi stunting, sedangkan skor PPH berkontribusi 20,03% untuk menurunkan prevalensi stunting. Pengaruh TKP yang positif dapat disebabkan oleh proporsi konsumsi protein yang didominasi oleh kelompok padi-padian (47,08%) yang mempunyai kontribusi terhadap peningkatan stunting, sedangkan kelompok pangan hewani mempunyai kontribusi untuk menurunkan prevalensi stunting namun hanya mempunyai proporsi 35,62% saja dari jumah konsumsi protein. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan oleh konsumsi protein hewani di Indonesia yang masih didominasi oleh jenis ikan yang diawetkan seperti teri, bandeng, dan tongkol/tuna/cakalang diawetkan. Jika dibandingkan dengan jumlah konsumsi ikan segar yang terbukti berkontribusi lebih tinggi daripada ikan diawetkan, jumlah konsumsi/kapita/minggu memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Adapun secara tidak langsung prevalensi stunting dapat dipengaruhi oleh faktor kontekstual berupa tingkat pengangguran, ketimpangan ekonomi, dan jumlah pengeluaran pangan rumah tangga. Tingkat pengangguran dan pengeluaran pangan rumah tangga mempunyai kontribusi menurunkan prevalensi stunting masing-masing sebesar 0,26% dan 1,92% dan ketimpangan ekonomi berkontribusi meningkatkan prevaleni stunting sebesar 0,47%. Tingkat pengangguran dapat mempengaruhi pengeluaran tumah tangga melalui jumlah pendapatannya. Adanya perbaikan ekonomi dapat merubah pola pengeluaran rumah tangga yang lebih didominasi oleh pengeluaran non-pangan. Selain itu, perbaikan ekonomi mempengaruhi komposisi pangan yang dikonsumsi dalam sehari. Adanya perubahan pola pengeluaran rumah tangga dan konsumsi pangan juga disebabkan oleh ketimpangan ekonomi yang terjadi. Anak dari rumah tangga miskin cenderung mengalami stunting dibandingkan dengan anak yang berasal dari rumah tangga dengan pendapatan yang menengah dan tinggi (kaya). Pendapatan rumah tangga dapat menyumbang 5%-44% dalam ketimpangan ekonomi di Indonesia, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi alokasi pengeluaran, termasuk pengeluaran pangan. Adanya perbaikan ekonomi yang tidak diikuti dengan penurunan rasio gini dan tingkat pengangguran dapat merubah pola pengeluaran rumah tangga. Hal ini ditandai dengan kelompok pengeluaran pangan yang mendominasi di Indonesia adalah kelompok makanan dan minuman jadi, serta tembakau dan sirih. Adapun kelompok pengeluaran pangan hewani yang berkontribusi menurunkan prevalensi stunting masih cenderung memiliki proporsi lebih kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk padi-padian. Oleh karena itu, kebijakan penanganan stunting secara multisektoral perlu disesuaikan dengan permasalahan yang sedang dialami oleh masing-masing provinsi, terutama terkait variabel ekonomi dan konsumsi pangan. Adanya kesenjangan ekonomi antara provinsi di bagian barat Indonesia dengan provinsi di bagian tengah dan timur Indonesia menjadi salah satu faktor stunting secara kontekstual. Program khusus terkait peningkatan situasi ekonomi dan mengurangi kesenjangan ekonomi antar provinsi perlu dilakukan. Perbaikan variabel ekonomi di setiap provinsi dapat menjadi pendorong perbaikan konsumsi pangan, baik dari kualitasnya maupun kuantitasnya. Menurunkan konsumsi padi-padian, terutama sebagai asupan protein nabati dan meningkatkan konsumsi pangan hewani dengan fokus jenis pangan ikan segar, telur, daging unggas, daging ruminansia, dan susu sesuai dengn sumber daya lokal masing-masing wilayah dapat menjadi salah satu upaya untuk menurunkan prevalensi stunting. Upaya ini perlu dilakukan dengan sasaran utama, yaitu rumah tangga miskin. The stunting prevalence in Indonesia is considered a serious of public health problem where the prevalence is above 20% from 2018-2021. This prevalence is still far off the target where stunting prevalence is targeted 14% in 2024. In addition, the urgency of stunting in Indonesia is also related to the consequenced that can be caused by stunting, whether short-term consequences and also long-term consequences. This is described in stunting conceptual framework which also states causes of stunting that cconsists of contextual factors and causal factors. Economic variables are included in contextual factors, while food consumption is one of the causal factors of stunting in children. The study aims to determine contribution of economic variables and food consumption towards stunting prevalence among children in Indonesia. This study used an ecological study with secondary data set from 2019 for 34 provinces. The data contained of stunting prevalence, economic growth, economic inequality, unemployment rate, poverty rate, food and non food expenditure, energy and protein adequacy level, and score in Desirable Dietary Pattern (DDP). Those variables was analyze using multiple linear regression with backward elimination technique and path analysis. The results showed that protein adequacy level and DDP score as causal factor of stunting prevalence in 34 provinces. Protein adequacy level had contibuted 13,16% to increase stunting prevalence, while DDP score contributed 20,03% to decrease it. Positive association between protein adequacy level and stunting prevalence was caused by the proportion of protein consumption which dominated by grains (47,08%), that had contributed to increase stunting prevalence. Meanwhile the animal-source food group had 35,62% of protein consumption while it can decrease stunting prevalence. Beside that, this can also caused by the consumption of fish as one of the biggest source of protein consumption which is dominated by preserved fish, such as a preserved of anchovies, milkfish, and tuna. If those preserved fish is compared to fresh fish that significantly contributed to decrease stunting prevalence, the amount of consumption per capita per week still high. As the contextual caused, unemployment rate, and food expenditure can decrease stunting prevalence with 0,26% and 1,92% of the contribution and economic inequality contributed 0,47% to increase it. The unemployment rate can affect household spending through the amount of income. The economic improvement can change the pattern of household expenditure which is dominated by non-food expenditure. In addition, economic improvement can change the composition of food consumed. Changes in household spending patterns and food consumption are also caused by economic inequality. Children from poor households is tend to experience stunting compared to children from middle and high incomes households. Household income can contribute 5%-44% of economic inequality in Indonesia, so it will indirectly associated with the allocation of expenditure, including food expenditure.The improvement of economic that is not followed by decreasing of gini ratio and unemployment rate can impact allocation of household expenditure, including food expediture. Food expenditures was dominated by food and beverages, and also cigarettes and tobacco group. Meanwhile the proportion of animal-source food still less than cereal expenditure. Hence, the multisectoral programs and policies of stunting prevention can be based on economic and food consumption situation in each provinces. The economic inequality between provinces in Indonesia, especially eastern and western Indonesia is one of the factors of stunting contextually. The exclusive program related to improving econmic situation and reducing economic inequality need to be done. Improvement of economic situation can be a driver of improving food consumption, both in quality and quantity. Reducing the consumption of grains, especially as vegetable protein intake and increasing animal food consumption with a focus on fresh fish, eggs, poultry meat, ruminant meat, and milk in accordance with the local resources of each region can be one of the efforts to reduce the prevalence of stunting. This is need to be done with the main target is poor households
Collections
- MT - Human Ecology [2190]