Pengaruh Dinamis Bauran Energi, Emisi Karbon Dioksida, dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Abstract
Energi berperan penting sebagai faktor produksi dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena pertumbuhan ekonomi, permintaan energi Indonesia diprediksi akan meningkat sebesar 5% per tahun. Pada tahun 2050, permintaan energi diprediksi akan didominasi oleh listrik dari pembangkit listrik berbahan bakar fosil (batu bara, minyak bumi, dan gas alam) karena meningkatnya konsumsi listrik on grid dari sektor industri dan komersial, yang memicu peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK).
Indonesia telah menetapkan kebijakan bauran energi untuk mengurangi emisi CO2 di sektor energi. Kebijakan ini menetapkan target energi baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025 dan 2050 masing-masing sebesar 23% dan 31%. Namun, kapasitas terpasang EBT Indonesia di tahun 2017 masih jauh lebih rendah dari total potensi EBT. Selain itu, Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (DJEBTKE) menunjukkan bahwa pencapaian bauran EBT di tahun 2020 hanya 11,20% dengan pencapaian paling besar pada PLTA. Selain memiliki capaian terbesar pada bauran EBT tahun 2020, PLTA memiliki target paling besar dalam penambahan kapasitas pembangkit listrik Indonesia periode tahun 2021 hingga tahun 2030 sebagaimana tertuang dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030.
PLTA diprediksi dapat menurunkan pencemaran lingkungan akibat pertumbuhan ekonomi. Dalam hipotesis Environmental Kuznets Curve (EKC), pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan pencemaran lingkungan hingga titik balik EKC. Pengembangan PLTA sebagai bagian dari green energy menjadi salah satu solusi dalam menurunkan emisi CO2 sehingga diprediksi akan mempercepat Indonesia untuk mencapai titik balik EKC melalui pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Guna mengetahui peran PLTA dan pengaruh konsumsi bahan bakar fosil terhadap emisi CO2 di Indonesia, penelitian ini menggunakan metode Autoregressive Distributed Lag (ARDL) dan Granger’s Causality dengan data sekunder. Data tersebut mencakup emisi CO2, PDB Indonesia, produksi listrik dari PLTA, serta konsumsi batu bara, minyak bumi, dan gas alam dalam bentuk per kapita dari tahun 1980 hingga tahun 2018.
Studi ini menunjukkan tiga hasil utama. Pertama, konsumsi bahan bakar fosil, yaitu batu bara dan minyak bumi, berpotensi dalam meningkatkan emisi CO2 per kapita baik jangka pendek maupun panjang. Hal ini terjadi karena jumlah konsumsi dan potensi emisi CO2 dari batu bara dan minyak bumi yang tinggi dibandingkan gas alam. Sementara itu, konsumsi gas alam tidak signifikan meningkatkan emisi CO2. Selanjutnya, peningkatan produksi listrik dari PLTA berpotensi dalam menurunkan emisi CO2 per kapita.
Kedua, dari tahun 2000 hingga 2018, Indonesia masih belum mencapai tingkat PDB per kapita yang berkelanjutan. Kegiatan ekonomi tetap dilakukan dengan tidak mempertimbangkan dampak lingkungan sehingga timbul eksternalitas negatif terhadap lingkungan dan sosial. Kondisi ini menunjukkan Indonesia masih berada dalam posisi scale effect. Peningkatan produksi listrik dari PLTA diperlukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Ketiga, adanya hubungan dua arah antara PDB dengan total emisi CO2 yang menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hubungan dua arah juga terjadi pada produksi listrik dari PLTA dengan emisi CO2. Hubungan ini menunjukkan bahwa peningkatan kapasitas PLTA menjadi salah satu solusi penurunan emisi CO2 di Indonesia. Sementara itu, hubungan searah terjadi pada PDB ke produksi listrik dari PLTA. Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang stabil untuk meningkatkan kapasitas PLTA. Hubungan searah juga terdapat pada konsumsi batu bara ke PDB. Karena itu, Indonesia membutuhkan strategi yang tepat untuk mengurangi konsumsi batu bara tanpa mengurangi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, hubungan searah terjadi pada konsumsi minyak bumi dan gas alam ke emisi CO2. Hal ini berimplikasi bahwa konsumsi minyak bumi dan gas alam harus dikelola karena dampak negatifnya terhadap lingkungan.
Penelitian ini merekomendasikan tiga kebijakan utama. Pertama, Indonesia harus meningkatkan kontribusi EBT terhadap bauran energi dengan meningkatkan produksi listrik tenaga air dan secara perlahan mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dengan menerapkan teknologi bersih dan memastikan efisiensi energi. Di sini, peningkatan produksi listrik dari PLTA menjadi solusi utama untuk memperlambat kerusakan lingkungan karena dapat diandalkan dan berkelanjutan. Kedua, kebijakan Indonesia saat ini umumnya masih berpihak pada BBM, sehingga dimungkinkan untuk menetapkan kebijakan terkait EBT secara khusus untuk meningkatkan minat investor terhadap EBT, seperti kebijakan pembelian dari EBT. Terakhir, titik balik pertumbuhan ekonomi berkelanjutan Indonesia diprediksi lebih tinggi dari PDB per kapita 2021. Pemerintah harus melakukan kebijakan ekspansi ekonomi untuk mencapai titik pertumbuhan yang diharapkan melalui langkah-langkah fiskal dan moneter yang tepat. Namun, kebijakan tersebut perlu didukung oleh kebijakan terkait lingkungan untuk mengurangi trade off antara pertumbuhan ekonomi dan kerusakan lingkungan. Energy plays an important role as a production factor in Indonesia's economic growth. Due to economic growth, Indonesia's energy demand is predicted to increase by 5% per year. In 2050, energy demand is expected to be dominated by electricity from fossil fuel power plants (coal, oil, and natural gas) due to the increasing of electricity consumption on the grid from the industrial and commercial sectors, which is triggering an increase in GHG emissions.
Indonesia has established an energy mix policy to reduce CO2 emissions from the energy sector. This policy sets the Indonesia's renewable energy (RE) targets in 2025 and 2050 are 23% and 31% , respectively. However, Indonesia's RE installed capacity in 2017 was still much lower than the total RE potential. In addition, the Directorate General of New, Renewable Energy and Energy Conservation shows that the achievement of the RE mix in 2020 is only 11,20%, with the most significant achievement in hydropower. In addition to having the largest achievement in the 2020 RE mix, PLTA has the most significant target in increasing Indonesia's power generation capacity from 2021 to 2030, as stated in the 2021-2030 Business Plan for the Provision of Electricity.
Hydropower is predicted to decrease the environmental degradation due to economic growth. In the Environmental Kuznets Curve (EKC) hypothesis, economic growth will increase environmental pollution until the EKC’s turning point. Hydropower as part of green energy becomes one of the solutions to reduce CO2 emissions,.It is predicted that Indonesia will reach a turning point for EKC through sustainable economic growth. To determine the role of hydropower and the effect of fossil fuel consumption on CO2 emissions in Indonesia, this study used the Autoregressive Distributed Lag (ARDL) and Granger's Causality methods. The data included CO2 emissions, Indonesia's GDP, electricity production from hydropower, as well as consumption of coal, oil, and natural gas in per capita terms from 1980 to 2018.
This study shows three main results. First, the consumption of fossil fuels, i.e., coal and oil, will potentially increase the CO2 emissions per capita, both in the short and long terms. This occurs because the coal consumption including its CO2 emissions are higher than that in natural gas. Meanwhile, natural gas consumption does not significantly increase CO2 emissions. Furthermore, increasing electricity production from hydropower may reduce CO2 emissions per capita.
Second, from 2000 to 2018, Indonesia has not reached a sustainable level of GDP per capita. Economic activities remains carried out without considering the environmental impact, so negative externalities arise on the environment and society. This condition shows that Indonesia is still in the scale effect position. Increasing electricity production from hydropower is needed to achieve the sustainable economic growth.
Third, there is a bidirectional relationship between GDP and total CO2 emissions, which indicates that Indonesia needs sustainable economic growth. A bidirectional relationship also occurs in the electricity produced from hydropower with CO2 emissions. This relationship shows that increasing the capacity of hydropower plants is one of the solutions for reducing CO2 emissions in Indonesia. Meanwhile, there is a unidirectional relationship between GDP and electricity production from hydropower. Indonesia needs a stable economic growth to increase hydropower capacity. A unidirectional relationship is also found in coal consumption to GDP. Therefore, the appropriate strategy for reducing coal consumption without reducing economic growth is required. Furthermore, unidirectional relationship occurs from oil and natural gas consumptions to CO2 emissions. This implies that oil and natural gas consumption should be managed because of their negative impact on the environment.
This study recommends three key policies. First, Indonesia should increase the contribution of RE to the energy mix by increasing hydropower’s electricity production and slowly reducing fuel consumption by implementing clean technology and ensuring energy efficiency. Here, increasing electricity production from hydropower becomes a prominent solution to slow down the environmental damage as it is reliable and sustainable. Second, Indonesia's current policies are generally still in favor of fuel, so it is advisable to establish policies related to RE specifically to increase investors’ interest in RE, such as the policy of purchasing from RE. Finally, the turning point for Indonesia's sustainable economic growth is predicted to be higher than the 2021 GDP per capita. The government must carry out economic expansion policies to reach the expected growth point through the appropriate fiscal and monetary measures. However, these policies need to be supported by policies related to the environment to reduce the trade-off between economic growth and environmental damage.
Collections
- MT - Economic and Management [2878]