Kajian Empiris Integrasi Ekonomi Asean+3 : Analisis Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Kurs
Abstract
Integrasi ekonomi dan keuangan regional dalam beberapa tahun ini telah menjadi kecenderungan dan pembicaraan oleh para ahli ekonomi di berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara ASEAN, Jepang, China, dan Korea Selatan yang lebih dikenal dengan nama ASEAN+3 di banyak forum. Negaranegara ASEAN+3 merasa perlu untuk membentuk mega-region atau suatu kawasan kerjasama yang disebut dengan Asian Single Market (ASM). Dewasa ini, Asia telah memantapkan diri sebagai sebuah mesin pertumbuhan perekonomian dunia dengan menghasilkan 30 persen lebih dari PDB dunia (De Rato dalam Hanie, 2006). Dengan terbentuknya MEA ini diyakini akan terhimpun porsi PDB Asia terhadap PDB dunia yang lebih besar lagi. Melalui ASM ini pula lalu lintas barang, jasa, modal, dan investasi akan bergerak bebas melewati batas negara anggota ASM. Mobilitas faktor produksi dan ukuran pasar yang besar ini akan menjanjikan harga bahan baku murah, economics of scale, kenaikan produktivitas, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi yang tinggi bagi negara-negara anggota ASM. Besar harapan dengan terbentuknya integrasi ekonomi dan keuangan ini akan mengantar ASEAN menjadi kawasan yang tumbuh tinggi sekaligus stabil. Namun integrasi ekonomi ini juga memberikan peluang sekaligus ancaman bagi negara-negara ASEAN. Peluang terkait dengan kesempatan untuk memetik manfaat dari pasar bersama yang besar dan kenaikan aliran faktor produksi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi masing-masing negara. Seiring dengan peluang tersebut, ancaman dan tantangan pun muncul dengan semakin terbukanya perekonomian terhadap persaingan. Akan tetapi, diyakini bahwa manfaat yang diperoleh dari proses integrasi ini lebih besar dibandingkan dengan biaya atau risiko yang akan dihadapi oleh negara-negara dalam kawasan tersebut (Rose, 2000). Salah satu wujud integrasi ekonomi ini adalah dengan pembentukan Optimum Currency Areas (OCA) di kawasan ASEAN+3 yang direalisasikan dengan pembentukan Asian Currency Unit (ACU) yang bertujuan untuk menstabilkan kurs dari mata uang negara-negara anggota. Pembentukan kerjasama ekonomi dan keuangan di kawasan ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor. Pertama, krisis keuangan dan moneter di kawasan Asia pada tahun 1997-1998 yang diawali dengan gejolak finansial yang melanda Thailand yang kemudian menimbulkan contagion effect (efek penularan) ke seluruh wilayah ASEAN yang dikenal dengan istilah Asian Financial Crisis (AFC). Kedua, keterbukaan dan volume perdagangan intra-regional akan menjadi lebih besar di bawah sebuah common currency sehingga dapat memfasilitasi perdagangan internasional yang dapat mengurangi biaya transaksi. Ketiga, keberhasilan Euro yang dapat melindungi mata uang mereka dari serangan spekulasi yang berasal dari pasar keuangan telah membuat negara-negara di kawasan ASEAN+3 berpikir untuk melakukan hal yang sama terhadap mata uang mereka Faktor-faktor tersebut telah mencuri banyak perhatian pemerintah dan ahli ekonomi negara-negara Asia Timur. Mereka telah melakukan beberapa langkah untuk mendorong kerjasama moneternya, termasuk melakukan persetujuan yang disebut Chiang Mai Initiative (CMI) pada bulan Mei 2000 yang ditandatangani di Chiang Mai, Thailand. Persetujuan ini diawali dengan sebuah proposal untuk membentuk ACU oleh Asian Development Bank (ADB). Persetujuan ini merupakan inisiatif kerangka kerja negara ASEAN+3 dengan tujuan menjalin hubungan Bilateral Swap Arrangement (BSA) di antara negaranegara ASEAN+3. Perjanjian swap ini dimaksudkan untuk mengembangkan jaringan kerjasama dalam rangka menghadapi krisis keuangan di masa datang. Setelah krisis keuangan Asia di tahun 1997, negara-negara di kawasan ini mulai membentuk inisiatif ini untuk mengatur dan mengatasi masalah likuiditas jangka pendek dan menerapkan suatu jaringan kerjasama bagi perjanjian tukar menukar guna membantu negara anggota ASEAN pada masa krisis. Kesamaan perekonomian dan pola perdagangan menjadi syarat penting bagi negara-negara yang ingin melakukan integrasi ekonomi ini (Bayoumi dan Mauro, 2001). Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas tentang fenomena integrasi ekonomi dengan pembentukan OCA melalui dua analisis, yaitu analisis pertumbuhan ekonomi dengan base country Singapura dan Jepang (Partisiwi, 2008) dan konvergensi kurs di ASEAN+3 dengan menggunakan G-PPP Test. GPPP Test yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan Singapura dan Amerika Serikat sebagai base country. Negara-negara yang akan diamati adalah Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, Thailand, Jepang, dan Korea Selatan. Hasil empiris menunjukkan bahwa melalui analisis pertumbuhan ekonomi ditemukan bahwa Singapura lebih layak dijadikan sebagai negara acuan (peg) bagi negara ASEAN+3 lainnya daripada Jepang. Hasil ini diperoleh dari hasil IRF dan FEVD yang mencerminkan kondisi optimal negara ASEAN+3. Sedangkan dari analisis konvergensi kurs dihasilkan bahwa Indonesia lebih cocok dengan mendasarkan kursnya terhadap Dollar Singapura daripada terhadap Dollar AS. Dengan hasil ini maka sangat perlu dilakukan kebijakan yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi di antara negara ASEAN+3 sehingga dapat membentuk OCA. Terlebih lagi bagi Indonesia yang harus mengejar ketertinggalannya dari negara-negara lain. Hal ini dapat dilakukan dengan cara meningkatkan keunggulan komparatif industri-industri di Indonesia agar lebih mampu bersaing nantinya dan mempersiapkan tenaga kerja yang lebih terampil. Perlu juga dilakukan upaya menjaga kestabilan kurs masing-masing negara terhadap guncangan yang terjadi, khususnya rupiah yang masih rentan dan lemah. Masih harus pula ditingkatkan keterbukaan perekonomian di antara negaranegarar tersebut agar OCA yang terbentuk adalah sebuah kondisi yang benarbenar siap untuk menjadi kutub ekonomi dunia selain Amerika Utara dan Uni Eropa. Pada penelitian ini belum dilakukan pemecahan periode penelitian (penggunaan dummy krisis Asia), karenanya untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk memecah periode penelitian berkaitan dengan adanya krisis Asia.