Pengaruh Perlakuan Asap Tempurung Kelapa Terhadap Tingkat Infeksi Cendawan, Dormansi, serta Mutu Fisiologis Benih Umbi Bawang Merah
Abstract
Petani bawang merah umumnya melakukan produksi benih secara mandiri dengan menyimpan hasil panennya untuk beberapa waktu hingga masa dormannya berakhir. Untuk menghindari kerusakan benih selama penyimpanan, petani bawang merah harus melakukan penjemuran (curing) hingga bagian pangkal daun kering, sehingga tidak dapat digunakan mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak. Akan tetapi, penjemuran saja dirasa kurang cukup, busuk selama penyimpanan masih umum terjadi, terutama pada saat musim penghujan. Patogen penyebab busuk umbi sangat mungkin merupakan cendawan yang terbawa dari lahan ke proses pascapanen. Pengasapan dapat menjadi alternatif solusi untuk masalah tersebut. Asap yang berasal dari pembakaran kayu mempunyai aktivitas antimikroba dan telah banyak diteliti dapat mempengaruhi dormansi serta mutu fisiologis benih. Proses pembakaran biomassa menghasilkan asap yang mengandung berbagai macam komponen kelompok senyawa karbonil (formaldehid, aldehid, dan alkohol), fenolik, asam, hidrokarbon, dan terpena (Erkmen dan Faruk 2016). Pembangkitan asap dapat dilakukan melalui proses pembakaran maupun pirolisis. Pirolisis merupakan proses dekomposisi termal suatu bahan dengan udara terbatas. Proses pirolisis dengan pemanasan tak langsung menghasilkan lebih banyak rendemen dibanding pemanasan langsung (Fatimah 2011). Hal ini dapat terjadi karena pada pemanasan langsung gas-gas flamable seperti gas metana, amoniak, hidrogen dan senyawa-senyawa lain yang terlarut dalam gas banyak yang ikut terbakar (Ridhuan dan Irawan 2020). Tempurung kelapa merupakan salah satu biomassa yang sering dimanfaatkan untuk pengasapan, hal ini karena tempurung kelapa mudah didapatkan. Suhu yang digunakan untuk pirolisis mempengaruhi komponen kimia yang dihasilkan, dimana menurut penelitian yang dilakukan Rizal (2019) pirolisis tempurung kelapa pada suhu 200 oC menghasilkan 16 komponen senyawa kimia, suhu 250 oC menghasilkan 30 komponen senyawa kimia, dan suhu 300 oC menghasilkan 48 komponen senyawa kimia. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh asap pembakaran tempurung kelapa terhadap tingkat infeksi cendawan patogen, dormansi, dan mutu fisiologis benih umbi bawang merah.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Faktor pertama adalah suhu proses pembangkitan asap atau suhu reaktor pirolisis tempurung kelapa (T), dengan 2 taraf perlakuan yaitu T1 = suhu lebih rendah (target suhu terkontrol pada 200 oC), dan T2 = suhu lebih tinggi (target suhu terkontrol pada 300 oC). Faktor kedua adalah durasi pengasapan (t), dengan 3 taraf perlakuan yaitu, t1 = 40 menit, t2 = 80 menit, t3= 120 menit. Kontrol adalah sampel yang tidak diberi perlakuan. Total perlakuan yang dilakukan dalam penelitian adalah 7 perlakuan (T*t+1). Setiap perlakuan digunakan triplicate sampel yang ditempatkan pada tiga rak yang berbeda, kelompok dalam penelitian ini adalah rak 1, rak 2, dan rak 3. Efektifitas perlakuan suhu reaktor dan durasi pengasapan dalam mengendalikan cendawan patogen dianalisis dengan menghitung persentase infeksi menggunakan metode agar-agar cawan. Sedangkan pengaruh suhu reaktor dan durasi pengasapan terhadap dormansi dan mutu fisiologis benih dianalisis dengan menghitung daya berkecambah, vigor, dan potensi tumbuh maksimum.
Pada penelitian ini telah dirancang metode pengasapan dengan pirolisis-pemanasan eksternal untuk penanganan pascapanen lanjutan benih umbi bawang merah. Unit alat pengasapan terdiri dari 4 komponen utama yaitu ruang pengasapan, blower, saluran asap, dan reaktor pembangkit asap dengan pirolisis-pemanasan eksternal. Asap dicampurkan dengan udara di dalam saluran asap sehingga suhu campuran udara asap di ruang pengasapan dapat disesuaikan sesuai kebutuhan (di bawah 40 oC).
Proses pengasapan dengan metode pirolisis-pemanasan eksternal dapat dilakukan tanpa mempengaruhi kadar air benih. Perlakuan pengasapan cukup efektif digunakan untuk menekan tingkat infeksi cendawan patogen. Perlakuan dengan suhu reaktor lebih tinggi (target suhu 300 oC) dan durasi pengasapan paling lama (120 menit) memiliki tingkat infeksi paling rendah dibanding perlakuan lain, dan jika dibandingkan dengan kontrol perlakuan suhu reaktor dan durasi paling tinggi memiliki selisih tingkat infeksi 43 % lebih rendah dari sampel kontrol. Diantara sampel yang diberi perlakuan asap, sampel dengan perlakuan suhu reaktor dan durasi pengasapan paling rendah memiliki tingkat infeksi paling tinggi, sedangkan variasi perlakuan lain memiliki efek tingkat infeksi yang tidak berbeda (hampir sama). Selanjutnya untuk dormansi, variasi perlakuan suhu reaktor yang dilakukan dalam penelitian seluruhnya memiliki efek memperpanjang masa dorman, sedangkan durasi pengasapan tidak mempengaruhi masa dorman. Variasi perlakuan suhu reaktor dan durasi pengasapan yang dilakukan dalam penelitian tidak berpengaruh terhadap mutu fisiologis benih umbi bawang merah (daya berkecambah vigor dan potensi tumbuh maksimum), dengan catatan, penanaman dilakukan setelah masa dorman berakhir.
Perlakuan pengasapan terhadap benih umbi bawang merah dapat dilakukan sesuai kebutuhan, apabila dikehendaki benih dorman lebih lama untuk memperpajang masa simpannya, maka perlakuan pengasapan terbaik menurut penelitian adalah perlakuan suhu lebih tinggi (target suhu 300 oC) dengan durasi 40 menit, perlakuan tersebut juga memiliki tingkat infeksi paling rendah berdasarkan penelitian yang dilakukan. Apabila dikehendaki efek perpanjangan masa dorman minimum perlakuan pengasapan terbaik berdasarkan penelitian yang dilakukan adalah suhu lebih rendah (target suhu 200 oC) dengan durasi 40 menit, akan tetapi perlakuan tersebut memiliki tingkat infeksi paling tinggi dibanding perlakuan lain.
Collections
- MT - Agriculture Technology [2271]