Penetapan Kawasan Agribisnis Peternakan Sapi Potong dalam Pembangunan Wilayah Sukabumi. Determined of livestock Agribusiness area in the regional development of Sukabumi.
Date
2022Author
Meilani, Ema Hilma
Mulatsih, Sri
Juanda, Bambang
Fariyanti, Anna
Metadata
Show full item recordAbstract
Pendekatan pembangunan sentralistik telah menciptakan berbagai
ketimpangan, diantaranya ketimpangan antara perdesaan dan perkotaan.
Kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan telah menghasilkan
kemiskinan di perdesaan dan mendorong terjadinya urbanisasi. Agar tidak terjadi
kesenjangan maka pemerintah berupaya untuk menurunkan angka kemiskinan.
Angka penurunan kemiskinan di perkotaan lebih besar dibandingkan angka
penurunan kemiskinan di perdesaan. Solusi terhadap permasalahan kesenjangan
antara perkotaan perdesaan adalah dengan meningkatkan pembangunan di
perdesaan. Sektor pertanian merupakan sector andalan dalam pembangunan
ekonomi nasional. Pembangunan kawasan pertanian merupakan isu strategis
nasional agar pengentasan kemiskinan dapat berjalan dengan baik. Salah satu model
pembangunan berbasis kawasan dapat diterapkan melalui system agribisnis.
Konsep agribisnis memandang suatu usaha pertanian termasuk usaha ternak secara
holistic sejak dari subsistem penyediaan sarana produksi, proses produksi,
pengolahan hingga pemasaran.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) mengukur tingkat perkembangan kawasan
agribisnis peternakan sapi potong di Kabupaten Sukabumi, 2) menganalisis
keunggulan komparatif wilayah agribisnis peternakan sapi potong, 3) menentukan
skala minimum usaha penggemukan sapi potong bagi pelaku usahaternak, 4)
menganalisis keberlanjutan kawasan dan strategi pengembangan kawasan
agribisnis peternakan di Kabupaten Sukabumi. Penelitian dilaksanakan pada 13
kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang ditetapkan sebagai kawasan agribisnis
peternakan. Penelitian untuk mengetahui perkembangan kawasan berdasarkan
indicator subsistem agribisnis. Selain itu penelitian dilakukan untuk menilai dan
menganalisis usahaternak sapi potong dari sisi produksi dan mengetahui status
keberlanjutan kawasan sehingga mampu menyediakan kebutuhan protein bagi
masyarakat.
Analisis data dilakukan sesaui dengan masing masing tujuan penelitian
yaitu menggunakan analisis TOPSIS untuk mengetahui perkembangan kawasan,
analisis komparatif untuk mengetahui keunggulan komoditas sapi potong, analisis
fungsi produksi untuk mengetahui produksi ternak sapi potong dan analisis
keberlanjutan untuk mengetahui kawasan tetap berjalan tanpa merusak lingkungan
namun tetap menghasilkan profit.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perkembangan pada kecamatan
dalam kawasan. Hasil analisis TOPSIS Kecamatan Purabaya memiliki nilai yang
paling tinggi yaitu 0,49. Selain Kecamatan Purabaya terdapat 2 kecamatan lain
yang memiliki nilai berdekatan dengan kecamatan Purabaya yaitu kecamatan
Jampangtengah dan kecamatan Curugkembar. Secara Geografis ketiga kecamatan
tersebut berdekatan dan saling berbatasan. Keadaan ini dapat dimanfaatkan sebagai
perluasan kawasan zona inti dan merupakan system yang dapat menjadi kawasan
agribisnis peternakan secara utuh mengingat beberapa sarana dan prasarana yang
ada di ketiga kecamatan tersebut saling melengkapi untuk memenuhi system
agribisnis yang tertutup agar efisien dari sisi biaya. Apabila kecamatan lain akan
dijadikan kawasan maka dapat diambil kebijakan untuk menduplikasi zona inti
sehingga tidak perlu ada zona pendukung dan zona penyangga di lokasi yang
berbeda karena akan kesulitan untuk melakukan distribusi pakan ataupun hasil
produk.
Terdapat lima kecamatan yang mampu menjadikan komoditas sapi potong
sebagai unggulan dengan hasil analisis LQ selama rentang waktu 2013-2018 tetap
diatas 1 yaitu kecamatan Ciracap, Ciemas, Surade, Tegalbuleud dan Cibitung.
Namun hanya kecamatan Cibitung dan Tegalbuleud yang memiliki relevansi antara
potensi sapi potong sebagai komoditas unggulan dengan potensi pakan hijauan
yang tersedia. Namun demikian dari kestabilan jumlah peternak sapi potong
Kecamatan Surade dan Kecamatan Tegalbuleud yang memiliki jumlah peternak
yang sangat banyak. Hal ini karena peternak tidak menjadikan pemeliharaan sapi
potong sebagai mata pencaharian utama namun sebagai matapencaharian
sampingan. Artinya pelaku usahaternak menjadikan sapi sebagai tabungan yang
sewaktu-waktu dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga pelaku
usahaternak dan juga sebagai status social di masyarakat. Skala minimum jumlah
sapi yang harus dipelihara agar dapat menjadi pendapatan bagi peternak sebesar 8
ekor. Sistem agribisnis secara multidimensi pada kawasan diukur dari keberlanjutan
sistem masih berada dalam kriteria keberlanjutan kurang dengan nilai indeks
keberlanjutan sebesar 34,92.