Eksistensi dan Determinan Deindustrialisasi di Indonesia 2006-2019
Date
2022-02-02Author
Nurlaila, Umi
Priyarsono, Dominicus Savio
Sahara
Metadata
Show full item recordAbstract
Industrialisasi di Indonesia mulai berkembang pasca berakhirnya oil boom pada tahun 1980-an yang ditandai dengan pangsa industri pengolahan melampaui sektor pertanian. Namun, industri pengolahan telah kehilangan dinamismenya pasca krisis 1997. Sektor industri pengolahan terus mengalami penurunan kontribusinya terhadap perekonomian nasional. Sejumlah ekonom memandang hal tersebut dengan pandangan yang berbeda-beda. Namun, jika dikaitkan dengan konsep penelitian sebelumnya dapat dikatakan bahwa Indonesia mengalami deindustrialisasi dari sisi nilai tambah.
Keberadaan deindustrialisasi tersebut cukup mengkhawatirkan karena terjadi ketika pendapatan per kapita belum mengalami tingkat kematangan atau terjadi deindustrialisasi dini. Apabila dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara, persentase penurunan pangsa industri pengolahan Indonesia lebih cepat dibandingkan Malaysia dan Thailand. Industri pengolahan masih memegang peranan penting sebagai sumber pertumbuhan ekonomi namun faktanya berada di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sejak tahun 2005. Kondisi tersebut memicu stagnasi ekonomi serta menghambat Indonesia bertransisi menjadi negara maju dan keluar dari middle income trap tahun 2036.
Kontraksi pangsa industri pengolahan dalam dua dekade terakhir meninggalkan pertanyaan tentang faktor apa yang menyebabkan deindustrialisasi dan masih memungkinkankah terjadinya reindustrialisasi. Serangkaian fenomena ekonomi seperti berkembangnya industri digital, lonjakan harga komoditas, serta percepatan globalisasi pasca relokasi industri di Cina tahun 2001 menjadi tantangan sekaligus peluang perkembangan industri pengolahan di Indonesia. Tak terkecuali faktor internal yakni pendapatan per kapita menjadi faktor penting dibalik deindustrialisasi di Indonesia. Penelitian ini mengkonseptualkan faktor-faktor tersebut menjadi bagian mekanisme transmisi deindustrialisasi berdasarkan tiga hipotesis yaitu sekuler, dutch disease, dan globalisasi.
Berdasarkan uraian tersebut maka penelitian ini bertujuan untuk menganalisis (1) hubungan antara pendapatan per kapita dengan pangsa industri pengolahan (2) determinan deindustrialisasi di Indonesia. Analisis menggunakan pendekatan Generalized Method of Moments (GMM) untuk 33 provinsi di Indonesia. Faktor potensial lainnya yang merupakan bagian kinerja RIPIN 2015-2035 dipertimbangkan dalam pemodelan. Di samping itu, analisis juga dilakukan secara deskriptif terkait gambaran kinerja industri pengolahan secara agregat dan menurut subsektor dengan menggunakan Tipologi Klassen.
Deindustrialisasi terjadi sejak tahun 2002 di 19 provinsi kurun waktu 2006 dan 2019. Industrialisasi atau kenaikan pangsa nilai tambah sepuluh kontributor utama nasional hanya terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Riau. Pengembangan industri di Luar Jawa nampaknya belum memberikan hasil yang signifikan. Hilirisasi belum berkembang secara maksimal yang ditandai dengan tingginya ekspor berbasis komoditas dan tingginya persentase impor bahan baku industri prioritas.
Berdasarkan Analisis Tipologi Klassen, pada tahun 2006 dan 2019 subsektor industri barang logam; komputer, barang elektronik, optik; dan peralatan listrik; serta industri alat angkutan berpindah dari Kuadran I (share tinggi, growth tinggi) ke Kuadran IV (share tinggi, growth rendah). Subsektor industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman serta industri furnitur dan industri pengolahan lainnya berpindah dari Kuadran III (share rendah, growth rendah) ke Kuadran II (share rendah, growth tinggi). Subsektor industri logam dasar serta industri mesin dan perlengkapan bergeser dari Kuadran II ke Kuadran III. Subsektor industri makanan dan minuman merupakan subsektor yang mempunyai keunggulan relatif dibandingkan subsektor lainnya. Oleh karena itu, berkontribusi lebih besar terhadap PDB industri pengolahan.
Hasil pengujian model menunjukkan ada hubungan kurva berbentuk U antara pendapatan per kapita dan pangsa industri pengolahan. Reindustrialisasi masih mungkin terjadi dengan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Deindustrialisasi dipicu oleh beberapa faktor seperti meningkatnya sektor jasa, produksi perkebunan dan pertambangan, keterbukaan perdagangan; penurunan belanja modal pemerintah, PMA industri pengolahan; dan depresiasi nilai tukar. Peningkatan pendidikan tenaga kerja lulusan SMA ke atas justru memicu deindustrialisasi. Hal tersebut terkait karakteristik industri pengolahan di Indonesia bersifat padat karya dengan dominasi tenaga produksi yang tidak mensyaratkan pendidikan tinggi.
Pembuat kebijakan diharapkan melakukan reindustrialisasi melalui ekspansi ekspor, kemudahan untuk investasi terutama pada mesin dan peralatan, serta menjaga stabilitas nilai tukar. Tenaga kerja lulusan perguruan tinggi diharapkan dapat memperkuat industri pengolahan melalui kegiatan riset dan pengembangan.
Collections
- MT - Economic and Management [2878]