Pengaruh Konsumsi Energi Batu Bara Terhadap Pertumbuhan Sektor Industri dan Emisi Gas Rumah Kaca di Indonesia
Abstract
Batu bara merupakan sumber energi primer terbesar di Indonesia dengan
share pada tahun 2020 sebesar 37,1%. Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (KESDM) terus mencari cadangan baru batu bara dengan melakukan
kegiatan survey geologi untuk menjaga rasio produksi dan cadangan, untuk
memenuhi kebutuhan energi nasional. Total konsumsi energi final batu bara
mengalami peningkatan yang pesat selama tahun 2015-2020, yang didominasi
oleh penggunaan untuk bahan bakar pembangkit listrik dan bahan bakar sektor
industri.
Batu bara digunakan di industri pengolahan sebagai sumber energi yang
merupakan input penting dalam kegiatan produksi untuk mendorong peningkatan
output yang akan berimplikasi pada peningkatan Pendapatan Domestik Bruto
(PDB). Selama tahun 2010-2020, kontributor tertinggi terhadap PDB nasional
adalah sektor industri pengolahan. Hal ini tidak terlepas dari peran penggunaan
energi sebagai input produksi di industri pengolahan. Berdasarkan data KESDM
tahun 2020, jenis energi yang paling banyak digunakan di industri pengolahan
tahun 2019 adalah batu bara. Batu bara dipilih karena harganya relatif lebih murah
dibandingkan dengan jenis energi lainnya dan ketersediaannya diperkirakan akan
mampu memenuhi kebutuhan hingga tahun 2050.
Batu bara merupakan salah satu jenis energi yang lebih murah dan mudah
didapatkan dibandingkan energi fosil lainnya seperti minyak dan gas. Akan tetapi,
perlu diperhatikan juga bahwa dalam pemanfaatan batu bara menghasilkan emisi
dengan faktor emisi yang tinggi. Dengan demikian, penelitian ini mengkaji
hubungan antara harga batu bara, konsumsi batu bara, PDB, dan emisi GRK,
dengan fokus pada sektor industri pengolahan. Metode yang digunakan pada
penelitian ini adalah Vector Error Correction Model (VECM), Granger’s
Causality, Model Pentahelix, dan Multi-criteria Policy (Multipol) dengan
menggunakan data sekunder dan primer.
Hasil estimasi VECM mengindikasikan bahwa pada jangka pendek
kenaikan harga batu bara secara signifikan tetap meningkatkan konsumsi batu
bara di industri pengolahan. Konsumsi energi batu bara tidak responsif terhadap
kenaikan harga batu bara karena harga batu bara masih relatif lebih murah
dibandingkan dengan jenis energi lain. Selain itu, teknologi yang digunakan di
industri pengolahan sudah didesain untuk batu bara dalam jangka waktu tertentu.
Selanjutnya kenaikan konsumsi batu bara di industri pengolahan akan
meningkatkan PDB dan emisi GRK sektor industri pengolahan dalam jangka
pendek, tetapi peningkatannya tidak terlalu besar. Sebaliknya pada jangka
panjang, emisi GRK sektor industri pengolahan menurun secara signifikan,
meskipun konsumsi batu baranya meningkat. Hal ini dikarenakan adanya
penggunaan teknologi ramah lingkungan di beberapa industri pengolahan.
Berdasarkan Uji Kausalitas Granger, menunjukkan bahwa tinggi rendahnya
energi batu bara yang digunakan di industri pengolahan akan memengaruhi
jumlah emisi GRK yang dikeluarkan, tetapi tidak berlaku sebaliknya. Selanjutnya
2
hasil estimasi VECM juga menunjukkan bahwa pengaruh dari penggunaan energi
batu bara terhadap emisi GRK lebih besar dibandingkan dengan pengaruhnya
terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan. Mengingat bahwa batu bara
tetap diminati, maka perlu menjadi perhatian agar penggunaan batu bara tidak
mencemari lingkungan lebih lanjut. Guna meminimalkan trade-off antara capaian
target PDB dan emisi GRK, diperlukan percepatan pengembangan teknologi
ramah lingkungan dan bauran energi alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Strategi untuk mengurangi emisi GRK di industri pengolahan yaitu melalui
kebijakan teknologi, ekonomi, dan sosial. Kebijakan yang menjadi prioritas
adalah kebijakan ekonomi yang dapat diimplementasikan melalui program
insentif dan kepastian supply biomassa, kemudian kebijakan teknologi melalui
program inovasi, aturan, pajak karbon, dan pengawasan. Agar kebijakankebijakan
tersebut efektif, perlu adanya koordinasi antar stakeholders dalam
pengembangan efisiensi energi dan bauran energi terbarukan di sektor industri
pengolahan. Coal is the largest primary energy source in Indonesia with a share in 2020
of 37.1%. The Ministry of Energy and Mineral Resources (KESDM) is
continuously investigating for new coal reserves by conducting geological surveys
to maintain the ratio of production and reserves, to meet national energy needs.
Total coal final energy consumption increase rapidly during 2015-2020, which
was dominated by use for power plants and industrial sector.
The industries, particulary manufacturing industries, depend on the use of
coal energy as an input to increase the production and thus it can escalate its
contribution to national Gross Domestic Product (GDP). During 2010-2020, the
highest contributor to the national GDP was the manufacturing industries. This is
inseparable from the role of energy use as a production input. Based on data from
KESDM in 2020, coal was the most widely used type of energy in manufacture
industry in 2019. The industry sector uses coal because coal’s price is relatively
cheaper than oil and gas as well as the renewable energy and its availability is
estimated to be able to meet demand until 2050.
Coal is a type of energy that is cheaper and easier to obtain than other fossil
energy sources, such as oil and gas. However, it should be noted that the use of
coal produces emissions with a high emission factor. Thus, this study examines
the nexus between coal prices, coal consumption, GDP, and GHG emissions,
focusing on the manufacturing sector. The methods used are Vector Error
Correction Model (VECM), Granger’s Causality, Pentahelix Model, and Multicriteria
Policy (Multipol) using secondary and primary data.
The VECM estimation indicates that coal prices have a significant positive
effect on coal consumption in industrial sector in the short term. Coal energy
consumption is unresponsive to the increase in coal prices because coal prices are
still relatively cheaper than other types of energy. In addition, the technology used
in the processing industry has been designed for coal for a certain period of time.
Furthermore, the increasing of coal consumption in the manufacturing industry
will insignificantly increase the GDP and GHG emissions of the manufacturing
sector in the short term. On the other hand, in the long term, GHG emissions from
the manufacturing sector have decreased significantly, even though coal
consumption has increased. This is due to the application of environmentally
friendly technologies in several manufacturing industries.
The Granger Causality Test shows that the level of coal energy used in the
processing industry will affect the amount of GHG emissions released, but not
vice versa. The VECM estimation also shows that the effect of the use of coal
energy on GHG emissions is greater than its effect on the growth of the
manufacturing sector. Given that coal is still in demand, it is necessary to pay
attention so that the use of coal doesn’t pollute the environment further. In order
to minimize trade-off between the achievement of the GDP target and GHG
emissions, it is necessary to accelerate the development of environmentally
4
friendly technologies and alternative energy mixes that are more environmentally
friendly.
Strategies to reduce GHG emissions in industry are through technological,
economic, and social policies. The priority policies are the economic policy that
can be implemented through funding and biomass programs, then the technology
policy through innovation, regulations, taxes, and monitoring programs. In order
to make these policies effective, the cooperation between stakeholders in the
development of energy efficiency and the NRE mix in the industrial sector is
required.
Collections
- MT - Economic and Management [2971]