Komposisi Jenis, Struktur Hutan dan Produktivitas Serasah di Hutan Lindung Mangrove Angke Kapuk, DKI Jakarta.
Date
2021-12-27Author
Rumondang, Amandita Lintang
Kusmana, Cecep
Budi, Sri Wilarso
Metadata
Show full item recordAbstract
Hutan mangrove merupakan suatu formasi hutan yang berada di daerah intertidal yang sangat penting dalam melindungi areal pesisir dari abrasi, angin dan badai, serta gangguan-gangguan alam lainnya. Salah satu penyebab degradasi hutan mangrove adalah polusi sampah anorganik berupa plastik bekas pakai yang terbawa oleh air laut dan terperangkap pada celah-celah akar mangrove. Keberadaan sampah ini secara ekologis sangat merugikan. Hutan lindung Angke Kapuk merupakan salah satu hutan dengan ekosistem mangrove yang terpapar oleh tumpukan sampah di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Saat ini keberadaan hutan mangrove tersebut terancam oleh pencemaran air, terutama oleh pencemaran sampah. Sehubungan dengan itu, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana pengaruh dari paparan pencemaran sampah tersebut terhadap komposisi jenis, struktur tegakan, dan produktivitas serasah hutan lindung mangrove Angke Kapuk, Provinsi DKI Jakarta.
Penelitian ini dilaksanakan selama satu tahun dari bulan Juli 2020 sampai bulan Juni 2021 di kawasan Hutan Lindung Angke Kapuk, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara dengan letak geografis 6o 05'-6o 10' LS and 106o 43'-106o 48' BT. Penimbangan dan pengovenan sampel dilakukan di Laboratorium Ekologi Hutan Fakultas Kehutanan IPB, analisis tanah dan kandungan serasah dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB, dan analisis air dilakukan di Laboratorium ProLing Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Survei vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek (jalur) dan metode garis berpetak yang diletakkan secara purposive sebanyak 3 jalur di hutan mangrove yang terpapar sampah (HMTS) dan 6 jalur di hutan mangrove yang tidak terpapar sampah (HMTTS). Setiap jalur dibagi menjadi plot-plot secara nested sampling dengan ukuran 10 x 10 meter (pohon), 5 x 5 meter (pancang), dan plot 2 x 2 meter (semai dan tumbuhan bawah). Selain itu, plot permanen seluas 1 ha dibuat di kedua tipologi hutan mangrove tersebut untuk menduga produktivitas serasah bulanan selama rentang waktu satu tahun. Selain mengambil data vegetasi dan produksi serasah, diambil pula data kondisi tanah dan air di 5 titik pengambilan, lalu sampel dikompositkan untuk dianalisis di laboratorium. Data kondisi vegetasi dianalisis untuk mencari nilai indeks nilai penting (INP), indeks Shannon-Wiener (H’), indeks kemerataan jenis (E), indeks dominansi jenis (C), indeks kekayaan jenis (R), indeks kesamaan jenis (IS), dan indeks Morishita (Iδ). Adapun data produksi serasah dianalisis untuk mengamati besar dan fluktuasi produksi serasah tahunan. Uji T dilakukan untuk melihat perbedaan produksi serasah antara di HMTS dan HMTTS serta analisis korelasi untuk melihat pengaruh curah hujan dan kecepatan angin rata-rata terhadap besarnya produktivitas serasah tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kedua lokasi kondisi fisik lingkungan tidak jauh berbeda, hanya saja pada lokasi HMTS salinitas lebih tinggi dibandingkan HMTTS. Adapun komposisi jenis, pada lokasi HMTS ditemukan 9 jenis tumbuhan berhabitus pohon dan 7 jenis tumbuhan berhabitus non pohon/tumbuhan bawah, sedangkan di lokasi HMTTS ditemukan 10 jenis tumbuhan berhabitus pohon dan 10 jenis tumbuhan berhabitus non pohon/tumbuhan bawah. Pada lokasi HMTS jenis dominan pada semai adalah jenis R. mucronata (kerapatan sebesar 1514 individu/ha dan INP 84.58%), A. marina pada pancang (kerapatan 710 individu/ha dan INP 113.57%) dan pohon (kerapatan 310 individu/ha dan INP 198.86%). Adapun di lokasi HMTTS jenis dominan semai adalah jenis E. agallocha (kerapatan sebesar 385 individu/ha dan INP 83.33%), A. marina pada pancang (kerapatannya 585 individu/ha dan INP 125.33%.) dan pohon (kerapatan 302 individu/ha dan INP 224.20%). Jenis tumbuhan bawah yang dominan di kedua lokasi adalah A. aureum dengan INP 131.21% di lokasi HMTS dan 77.96% pada lokasi HMTTS. Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’) dan indeks kekayaan jenis Margalef (R) di kedua lokasi masuk kategori rendah (H < 3 dan R < 2.05). Berdasarkan indeks kemerataan jenis Pielou (E), kedua lokasi tidak merata (E < 1), dan tidak ada jenis yang dominan (C < 1). Adapun nilai IS pada kedua lokasi cenderung tinggi (> 50%), kecuali IS pada tingkat pertumbuhan semai yang rendah dengan nilai IS 34%.
Pada lokasi HMTS jumlah kerapatan individu tertinggi sebesar 3 099 individu/ha (semai), kemudian 1228 individu/ha (pancang) dan 470 individu/ha (pohon). Adapun pada lokasi HMTTS kerapatan individu tertinggi sebesar 923 individu/ha (pancang), 769 individu/ha (semai) dan 388 individu/ha (pohon),. Grafik hubungan kerapatan individu dan kelas diameter pada lokasi HMTS dan HMTTS membentuk kurva L, sedangkan grafik hubungan kerapatan individu dan kelas tinggi tajuk pada lokasi HMTS dan HMTTS tidak membentuk kurva L, melainkan kurva lonceng. Pola sebaran jenis di kedua lokasi secara umum adalah seragam, kecuali pada semai R. mucronata, pancang A. marina dan jenis A. aureum di lokasi HMTS serta semai E. agallocha dan A. marina di lokasi HMTTS yang menyebar acak.
Nilai produksi serasah tahunan di lokasi HMTS (9.31 ton/ha/tahun) lebih besar dibandingkan produksi serasah di lokasi HMTTS (7.61 ton/ha/tahun). Komponen serasah paling dominan di kedua lokasi adalah komponen daun, yaitu 51.35% di lokasi HMTS dan 61.79% di lokasi HMTTS dengan produksi daun tertinggi di kedua lokasi terjadi pada bulan Mei dan produksi daun terendah pada bulan Januari. Di lokasi HMTS komponen tertinggi kedua adalah komponen reproduktif sebesar 34.24%, kemudian ranting 12.99% dan produksi terendah adalah produksi komponen lainnya 1.42%. Adapun di lokasi HMTTS komponen tertinggi kedua adalah ranting 19.40%, kemudian komponen reproduktif 16.59% dan produksi terendah adalah produksi komponen lainnya 2.22%. Produksi total seluruh komponen dan produksi komponen reproduktif berbeda signifikan diantara kedua lokasi hutan mangrove tersebut. Sedangkan hasil korelasi hubungan antara produksi serasah dengan variable lingkungan menunjukkan hasil bahwa fluktuasi produksi serasah tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan besar curah hujan maupun kecepatan angin rata-rata.
Collections
- MT - Forestry [1412]