Analisis Intensitas Energi pada Sektor Industri Manufaktur dalam Pengembangan Kebijakan Konservasi Energi di Level Nasional dan Regional
Date
2021Author
Hariwan, Peggy
Juanda, Bambang
Mulatsih, Sri
Hariyoga, Himawan
Metadata
Show full item recordAbstract
Indonesia memiliki sumber energi yang beragam, sumber energi yang banyak digunakan saat ini diantaranya adalah energi fosil yang tidak terbarukan (minyak bumi, gas bumi, dan batu bara), serta energi terbarukan (tenaga air, panas bumi, energi surya, energi angin, dan biomasa). Defisit energi yang dialami oleh Indonesia terlihat pada angka impor yang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, di mana puncak peningkatannya terjadi pada tahun 2018. Angka impor migas menunjukkan Indonesia masih akan terus meningkatkan jumlah permintaan energi fosil dalam aktivitas ekonominya.
Menurut Kementerian ESDM, sektor industri merupakan sektor yang mendominasi konsumsi energi di Indonesia, yang porsinya setengah dari total konsumsi energi nasional. Selain itu, Kementerian Perindustrian mencatat persebaran industri manufaktur cenderung berpusat di Pulau Jawa dan sisanya berada di luar Pulau Jawa. Hal tersebut didukung oleh data PLN yang menunjukkan penggunaan energi pada kelompok pelanggan industri di Pulau Jawa. Berdasarkan kondisi tersebut, fenomena yang terjadi adalah persediaan cadangan energi tak terbarukan semakin menipis, sedangkan konsumsi akan energi terus meningkat seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi. Sementara itu, pemanfaatan energi baru terbarukan masih mengalami beberapa kendala secara teknik, biaya, kapasitas, investasi, dan kebijakan yang tepat.
Energi juga merupakan input bagi kemajuan teknologi yang berperan dalam pembangunan ekonomi. Pengganti sarana produksi dan berbagai bentuk barang pembangunan ekonomi yang keseluruhannya membutuhkan input energi. Selain itu, energi merupakan salah satu bagian yang penting untuk jangka panjang dalam teori ketersediaan energi. Ada empat hipotesis mengenai hubungan dua arah antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi, yaitu Neutrality hypothesis, Conservation Hypothesis, Growth Hypothesis, dan Feedback Hypothesis.
Penelitian ini menggunakan decomposition analysis untuk melihat share, penggunaan energi, dan efisiensi energi yang dilakukan industri manufaktur. Selanjutnya, dilakukan analisis terkait hubungan aglomerasi dan pertumbuhan ekonomi di sektor industri manufaktur terhadap intensitas energi di 26 provinsi dengan menggunakan model panel VECM. Tahap berikutnya, dilakukan analisis pengaruh intensitas energi terhadap pertumbuhan ekonomi di 26 provinsi untuk dapat menjawab implementasi persebaran industri manufaktur di Pulau Jawa dan non-Jawa di RIPIN dengan menggunakan model OLS. Terakhir, menganalisis arah kebijakan konservasi energi nasional dan regional dengan menggunakan analisis growth and share.
Hasil penelitian menunjukkan seluruh subsektor industri manufaktur memiliki nilai positif pada activity effect dari tahun 2000 hingga 2015. Industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; industri barang kayu dan barang dari kayu lainnya; industri kertas dan barang cetakan; industri semen dan barang galian bukan logam; serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya mengalami periode structure effect bernilai positif sepanjang tahun 2000-2015. Artinya, adanya perubahan intensitas yang terjadi disebabkan oleh meningkatnya pangsa PDB manufaktur terhadap tahun dasar. Industri makanan, minuman dan tembakau dan industri pupuk, kimia dan barang dari karet memiliki nilai pure energy intensity yang negatif secara signifikan.
Pada hasil regresi Panel VECM menunjukkan bahwa hubungan kausalitas antara aglomerasi dan PDRB terhadap intensitas energi adalah hubungan satu arah (Growth Hypothesis). Sementara pada jangka panjang, variabel PDRB memilki hubungan positif dengan intensitas energi. Akan tetapi, variabel aglomerasi memiliki hubungan negatif dengan intensitas energi. Artinya, semakin teraglomerasi industri manufaktur maka intensitas energi semakin efisien. Berdasarkan hasil regresi OLS dalam penelitian ini menunjukkan bahwa hubungan antara intensitas energi dan pertumbuhan ekonomi di berbagai provinsi di Indonesia memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan letak geografis dan juga kegiatan perekonomian yang belum merata. Terdapat dua provinsi yang masih memiliki ketergantungan terhadap energi, yaitu Bali dan Nusa Tenggara Barat. Variabel intensitas energi yang memberikan pengaruh negatif terhadap PDRB ditunjukkan oleh Provinsi Riau, Sumatra Selatan, Bengkulu, DKI Jakarta, NTB, dan Kalimantan Tengah.
Berdasarkan hasil analisis growth and share menunjukkan bahwa industri kertas dan barang cetakan dan industri semen dan barang galian bukan logam merupakan subsektor industri yang lahap energi. Selain itu, industri makanan dan minuman; serta industri alat angkutan, mesin dan peralatannya memiliki intensitas energi yang efisien. Provinsi Riau, DKI Jakarta, dan Jawa Barat berada di kuadran dominan untuk pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ketiga provinsi tersebut berada pada kuadran rendah/lambat untuk intensitas energi. Hal tersebut mengindikasikan bahwa provinsi-provinsi tersebut memiliki penggunaan energi yang efisien.
Industri yang memiliki nilai positif pada analisis activity effect dan structure effect, serta bernilai negatif pada analisis pure energy intensity, perlu melakukan kebijakan konservasi energi pada manajemen energi dan penggunaan teknologi yang hemat energi. Pada tingkat provinsi, aglomerasi industri dapat dipertimbangkan dengan melihat provinsi yang memiliki struktur ekonomi yang sama dengan wilayah pemekarannya. Perlu adanya kajian lebih detail mengenai potensi industri dan demand energinya, pembentukan kawasan yang meliputi input dan distribusinya, sehingga akan meningkatkan investasi dalam dan luar negeri untuk Provinsi Riau, Sumatera Selatan, Bengkulu, NTB, dan Kalimantan Tengah. Indonesia is home to various energy sources, and the most widely used ones are currently non-renewable, fossil energy (crude oil, natural gas, and coal) and some renewable ones (hydropower, geothermal, solar power, wind power, and biomass). Indonesia’s energy deficit is visible from the increasing annual imports of energy source, where the figure peaked in 2018. For instance, oil and gas import figures show how Indonesia is and will keep using and increasing its fossil fuel demand to power its economic activities.
According to the Ministry of Energy and Mineral Resources, the manufacturing industry is dominating energy consumption in Indonesia, with half of the national consumption going into it. Furthermore, Ministry of Industry records that the manufacturing industry is mostly concentrated in Java island, and a small percentage outside of it. This is supported by data from state-owned electricity company PLN, which shows heavy energy use among industrial consumers in Java island. Based on such situations, phenomena appear where non-renewable energy source reserves are depleting, and at the same time, energy consumption is constantly increasing in parallel with increasing economic activities. Meanwhile, the use of renewable energy is facing hurdles from technicalities, financing, capacity, investment, and bureaucratic red tape.
Energy is also an input for technological advancement which plays a role in economic development. Upgrading means of production and various goods for economic development also require energy input. Additionally, energy is an irreplaceable aspect of energy availability theories in the long term. There are four hypotheses regarding the two-way relation between economic growth and consumption, namely Neutrality Hypothesis, Conservation Hypothesis, Growth Hypothesis and Feedback Hypothesis.
This research uses decomposition analysis to look into shares of energy use and efficiency undertaken by the manufacturing industry. Following that, this paper analyses the correlation between agglomeration and economic growth in the manufacturing industry against energy intensity in 26 provinces in Indonesia using the VECM panel model. Then, the next step is to analyse the effects of energy intensity towards economic growth in the aforementioned 26 provinces in order to respond to the implementation of the manufacturing industry spread in and outside Java island in the National Industry Development Masterplan (RIPIN) using the OLS model. Finally, this paper analyses the direction of national energy conservation policies at the national and regional level using the growth and share analysis method.
Results of the research show that all manufacturing industry subsectors scored positively in activity effect from 2000 to 2015. The subsectors of textile, leather and footwear, wooden goods and miscellaneous wooden products, pulp and paper, cement and non-metallic mining, and transportation, machinery and its equipment experiences a positive trend in structure effect from 2000-2015, meaning that the change in energy intensity was thanks to the increase in manufacturing GDP against base year. At the same time, subsectors of food and beverages, tobacco, fertilizer and chemicals, and rubber goods showed a significantly negative pure energy intensity value.
Subsequently, the results of VECM panel regression show that the causal relation between agglomeration and gross regional domestic product (GRDP) against energy intensity is a one-way connection (growth hypothesis). Meanwhile, in the long term, the GRDP variable shows a positive connection with energy intensity. Meanwhile, the agglomeration variable shows a negative connection with energy intensity, which means that the more agglomerated manufacturing industry becomes, the more efficient energy intensity gets. The OLS regression in this research shows that the connection between energy intensity and economic growth across various provinces in Indonesia has significant differences. This is because of uneven economic activities amplified with challenges due to geographic positions. There are two energy-dependent provinces found, namely Bali and West Nusa Tenggara. Meanwhile, Riau, South Sumatra, Bengkulu, Jakarta, West Nusa Tenggara, and Central Kalimantan shows negative effects from energy intensity against GRDP.
Next, results from growth and share analysis show the pulp and paper, cement, and non-metallic mining sectors are the most energy-hungry subsectors, whereas the food and beverages, transportation, machinery and its equipment subsectors tend to have efficient energy intensity. Riau, Jakarta and West Java are in the dominant quadrants for economic growth, but are less prevailing in the energy intensity quadrant. This indicates that industries in these provinces are using energy efficiently.
Industries with a positive value on the activity effect and structural effect analyses but a negative value on the pure energy intensity analysis must implement energy conservation policies on energy management and the use of energy-efficient technologies. At the provincial level, industrial agglomeration can be considered by looking at provinces that have the same economic structure as their expansion areas. There is a need for a more detailed study of industrial potential and energy demand, the establishment of an area that includes inputs and distribution, so that it will increase domestic and foreign investment for the provinces of Riau, South Sumatra, Bengkulu, NTB, and Central Kalimantan.