Kebijakan Restorasi Ekosistem pada Hutan Produksi dan Implementasinya di Indonesia
Date
2020Author
Pareira, Maria Helena Yeni
Kartodihardjo, Hariadi
Bahruni
Metadata
Show full item recordAbstract
Sejarah panjang pemanfaatan hutan produksi, terutama untuk produksi kayu, menyisakan kondisi hutan produksi yang telah terdegradasi parah bahkan terdeforestasi. Kondisi ini ditunjukkan oleh makin berkurangnya jumlah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK HA) yang beroperasi dan volume produksi kayu bulat dari hutan produksi alam di Indonesia yang terus menurun. Memperhatikan kondisi hutan produksi Indonesia tersebut, pada tahun 2000, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada konservasi burung dan habitatnya yaitu Burung Indonesia mulai mendorong wacana restorasi ekosistem pada hutan produksi. Melalui proses yang cukup panjang, akhirnya wacana ini diterima banyak pihak termasuk Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, disingkat KLHK) yang menggunakan diskresi untuk menerbitkan peraturan menteri kehutanan (Permenhut) No. SK.159/Menhut-II/2004 tentang restorasi ekosistem pada hutan produksi. Sebelumnya restorasi ekosistem pada hutan produksi yang kemudian dikenal dengan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem (IUPHHK RE) belum diatur dalam peraturan perundangan yang telah ada.
Permenhut tersebut dipandang sebagai sebuah terobosan dan menandai perubahan paradigma pengelolaan hutan produksi di Indonesia dari sebelumnya berbasis kayu menjadi pengelolaan hutan berbasis ekosistem. Hingga tahun 2020, KLHK telah menerbitkan 16 IUPHHK RE dengan luas total 622.826 hektar. Total luas kawasan hutan produksi yang berada di bawah IUPHHK RE tersebut, baru mencapai 21% dari target luas areal IUPHHK RE yang ditetapkan KLHK, yaitu seluas 3 juta hektar.
Kajian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis isi teks kebijakan restorasi ekosistem pada hutan produksi (IUPHHK RE) dan implikasinya terhadap implementasinya; (2) menganalisis efektivitas implementasi kebijakan IUPHHK RE; (3) memahami pilihan rasional para aktor dalam melaksanakan IUPHHK RE; serta (4) mengidentifikasi ruang kebijakan yang tersedia untuk merevisi kebijakan IUPHHK RE jika diperlukan.
Hasil kajian isi teks kebijakan menemukan bahwa sebagian besar kebijakan IUPHHK RE masih sangat berorientasi pada pemanfaatan kayu dan belum mengakomodasi beragam tujuan pengelolaan dari tiap unit manajemen IUPHHK RE yang beroperasi di Indonesia saat ini. Sebagai akibatnya pelaksanaan IUPHHK RE di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan sejak proses perizinan, pelaksanaan kegiatan di lapangan, hingga penilaian kinerja unit manajemen IUPHHK RE. Kajian ini juga menemukan bahwa berbagai kebijakan dan aturan, prosedur dan sistem birokrasi yang ada saat ini, belum secara efektif mendukung implementasi restorasi ekosistem pada hutan produksi di Indonesia.
Kajian ini menemukan bahwa setiap unit manajemen memiliki alasan dan tujuan berbeda dalam melaksanakan IUPHHK RE, didasarkan pada pilihan yang mungkin paling menguntungkan atau mencapai manfaat maksimal dengan pengorbanan minimal. Pilihan rasional unit manajemen IUPHHK RE ternyata tidak hanya diukur dari sudut pandang ekonomi namun juga dilihat dari pencapaian visi organisasi dan citra hijau perusahaannya. Untuk mendorong terwujudnya tata kelola RE pada hutan produksi yang baik, serta meningkatkan pemahaman, pengetahuan dan inovasi serta memperkuat kebijakan dan regulasi yang mendukung pelaksanaan RE, 16 unit manajemen RE menciptakan jaringan dan berkoalisi dengan perwakilan dari KLHK, LSM dan akademisi melalui Kelompok Kerja Restorasi Ekosistem (Pokja RE).
Pelaksanaan IUPHHK RE dalam 14 tahun terakhir telah menghasilkan data, informasi, pengetahuan dan pembelajaran yang kaya yang dapat digunakan sebagai masukan dalam perbaikan kebijakan dan pelaksanaan IUPHHK RE. Narasi kebijakan yang digunakan para aktor serta koalisi aktor yang terbentuk telah menciptakan ruang kebijakan bagi perbaikan IUPHHK RE. Namun ruang kebijakan tersebut belum dapat dimanfaatkan secara maksimal ataupun terbentur dengan ruang kebijakan isu prioritas lain di dalam KLHK.
Restorasi ekosistem dengan berbagai karakteristiknya dipandang sebagai salah satu solusi berbasis alam untuk mengatasi degradasi hutan dan deforestasi serta sebuah skema yang tepat untuk mendukung pencapaian target iklim Indonesia. Memperhatikan kondisi hutan produksi yang telah terdegradasi dan terdeforestasi serta lambatnya proses pemulihan ekosistem hutan produksi maka restorasi ekosistem pada hutan produksi dipandang sebagai sebuah keharusan baik saat ini maupun di masa yang akan datang. Perbaikan kebijakan diperlukan untuk dapat memenuhi target luasan IUPHHK RE yang telah ditetapkan KLHK dan tujuan restorasi ekosistem pada hutan produksi.
Pemberian insentif baik berupa kemudahan bagi pengembangan usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa lingkungan maupun insentif fiskal dari Kementerian Keuangan berupa keringanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), pembayaran Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), serta pengurangan nilai penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dihasilkan dari areal IUPHHK RE diperlukan untuk mendorong pelaksanaan IUPHHK RE. Insentif-insentif tersebut diharapkan akan menarik investasi untuk restorasi ekosistem pada hutan produksi sehingga dapat memenuhi target yang telah ditetapkan KLHK dan tujuan restorasi ekosistem yaitu mengembalikan fungsi hutan produksi Indonesia untuk memberikan manfaat bagi kesejahteraan masyarakat.
Collections
- MT - Forestry [1373]