Kohesivitas dan Komunikasi Keluarga Serta Stereotipi Gender Pada Agresivitas Remaja Sekolah Menengah Atas di Kota dan Kabupaten Bogor
Date
2021Author
Berlianti, Diana
Hubeis, Aida Vitayala S
Hastuti, Dwi
Sarwoprasodjo, Sarwititi
Krisnatuti, Diah
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian tentang komunikasi remaja dalam keluarga, kohesivitas, dan stereotipi gender yang dihubungkan dengan agresivitas remaja sejauh ini belum banyak dilakukan. Studi ini penting karena biasanya pelaku agresi adalah korban kekerasan di masa lalu. Kajian ini menganalisis pengaruh kohesivitas, keterbukaan komunikasi, komunikasi konflik orang tua-remaja, dan stereotipi gender terhadap frekuensi dan agresivitas remaja. Kajian ini menggunakan kerangka teoritis sosial kognitif, teori ekologi Bronfenbrenner, teori peran sosial dan teori penerimaan-penolakan. Studi dilakukan pada 367 remaja di Kota dan Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi dalam jangka waktu tertentu (cross sectional study). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik survei dan laporan diri, dengan menggunakan analisis model persamaan struktural. Selain menggunakan metode kuantitatif, penelitian ini juga memakai metode kualitatif melalui diskusi kelompok dan wawancara mendalam pada lima belas remaja laki-laki dan perempuan di Kota Bogor. Rata-rata umur remaja contoh adalah 16.5 tahun. Rata-rata umur ayah adalah 46.6 tahun, sementara ibu 42 tahun. Rata-rata pendidikan ayah dan ibu adalah lulus Sekolah Menegah Pertama (SMP). Rata-rata pendapatan keluarga adalah 3 juta rupiah per bulan.
Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mengidentifikasi karakteristik sosial ekonomi, kohesivitas keluarga, keterbukaan komunikasi, komunikasi konflik orangtua-remaja, stereotipi gender, dan agresivitas remaja. (2) Mengonstruksikan agresi verbal orangtua pada remaja. (3) Menganalisis pengaruh faktor sosial ekonomi, kohesivitas, keterbukaan komunikasi, komunikasi konflik orangtua-remaja, dan stereotipi gender terhadap agresivitas remaja. (4) Menganalisis pengaruh-pengaruh tidak langsung terhadap keterbukaan komunikasi, komunikasi konflik orangtua-remaja, dan stereotipi gender yang membangun agresivitas remaja.
Remaja merasa kohesivitas keluarganya tinggi dan cukup terbuka komunikasinya dengan orangtua. Akan tetapi, remaja dan orangtua seringkali mengabaikan proses komunikasi dengan cara menarik diri. Remaja masih sering mendapat agresi verbal dan nonverbal dari orangtua dalam kurun waktu setahun ini. Secara umum, remaja memiliki keyakinan yang cukup untuk menganggap laki-laki sebagai raja di rumah, mengambil keputusan besar di rumah, yang menunjukkan kuasa laki-laki. Akan tetapi remaja juga ditemukan memiliki keyakinan yang cukup untuk menganggap perempuan adalah ratu di istananya, perempuan membuat banyak keputusan besar di rumah, dan kata-kata perempuan tidak terbantahkan yang menunjukkan kuasa perempuan. Hanya sebagian kecil remaja memiliki keyakinan untuk menganggap ayah dan ibu dapat memukul anak kapanpun diinginkan yang menunjukkan pembiaran (privilege) agresi. Remaja ditemukan seringkali melakukan agresi pada orang lain. Remaja laki-laki cukup
memiliki kemampuan untuk melakukan agresi non verbal (fisik). Remaja perempuan cukup memiliki kemampuan untuk melakukan agresi verbal. Remaja laki-laki dan perempuan cukup memiliki kapasitas kemarahan dan kekejaman.
Agresi verbal orangtua-remaja memiliki makna yang sama dengan agresi verbal orangtua-remaja yang terjadi di banyak negara di dunia. Penelitian ini menguatkan riset yang menyimpulkan bahwa ayah dan ibu memperlakukan remaja laki-laki dan perempuan secara berbeda. Dilihat dari jumlah kata yang menyakitkan yang bersumber dari ayah, dapat disimpulkan bahwa ayah lebih sering berinteraksi dengan remaja laki-laki dibandingkan dengan remaja perempuan. Ibu lebih banyak memberikan kata menyakitkan dibandingkan dengan ayah, baik kepada remaja laki-laki maupun remaja perempuan. Penelitian ini menemukan bahwa mempermalukan dan merendahkan adalah tipe agresi verbal yang paling umum ditemukan. Penyebab konflik yang paling sering ditemukan adalah perilaku pulang malam, jarang di rumah, main terus dan malas membantu orangtua. Semakin banyak konflik orangtua-remaja, semakin banyak kata-kata yang menyakitkan dari orangtua.
Agresivitas remaja sangat dipengaruhi oleh komunikasi konflik orangtua-remaja dan keyakinan stereotipi gender remaja. Penelitian ini dapat membuktikan bahwa pengaruh lingkungan keluarga sangat besar terhadap agresivitas remaja. Remaja melakukan proses modeling perilaku, baik dari sumber eksternal maupun internal. Proses modeling dari sumber eksternal dapat dilihat dari keberhasilan remaja meneladani (modeling) komunikasi agresi verbal dan nonverbal orangtua. Remaja dan orangtua juga ditemukan cenderung saling mengabaikan komunikasi. Selain itu, remaja juga mempelajari agresivitas dari keyakinan stereotipi gender dengan melakukan proses mirroring, yaitu menyamakan perilaku remaja dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penelitian ini menunjukkan bahwa nilai dan norma yang menisbatkan orangtua pada posisi kekuasaan atas anak, kuasa laki-laki, dan kuasa perempuan merupakan budaya yang mendukung agresivitas remaja. Meskipun pada faktanya lingkungan keluarga dan norma budaya memiliki pengaruh yang sangat besar pada agresivitas remaja, pembuat keputusan untuk melakukan agresi ada pada sumber internal diri remaja, setelah melalui tahap evaluasi diri. Sumber internal remaja pada penelitian ini, diukur dari frekuensi agresi, agresi verbal/nonverbal, kemarahan, dan kekejaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa remaja adalah pelaku perilaku agresi, walaupun remaja sudah mengevaluasi dirinya.
Remaja perkotaan dan remaja laki-laki ditemukan lebih sering melakukan agresi dan lebih termotivasi untuk melakukan agresi fisik dibandingkan remaja di perdesaan. Remaja perkotaan juga meyakini bahwa kuasa laki-laki adalah sesuatu yang sewajarnya di masyarakat dan bahwa agresi orangtua kepada anak adalah hal yang wajar terjadi. Remaja perempuan lebih sering dikasari secara verbal dari ibu dibandingkan remaja laki-laki, sedangkan remaja laki-laki lebih sering dikasari fisik oleh ayah. Interaksi sistem remaja yang berada pada level sistem meso adalah komunikasi konflik orangtua-remaja. Ada pengaruh gender, tempat tinggal dan pendapatan, juga kohesivitas keluarga terhadap komunikasi konflik orangtua-remaja. Interaksi lainnya berada pada level sistem interaksi mikro-makro
Collections
- DT - Human Ecology [566]