Pengembangan Arahan Pengelolaan Hutan Berbasis Gugus Pulau di Provinsi Maluku
Date
2021-07-13Author
Papilaya, Patrich Phill Edrich
Jaya, Nengah Surati
Rusolono, Teddy
Puspaningsih, Nining
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini dilakukan dalam rangka menjawab sebagian dari tantangan
pengelolaan hutan di Provinsi Maluku melalui pengembangan Arahan Pengelolaan
Hutan Berbasis Gugus Pulau. Arahan pengelolaan hutan tradisional, lebih banyak
mempertimbangkan aspek bio-fisik kawasan yang sesuai dengan daya dukung,
daya tampung serta kelas-kelas kesesuaiannya.
Untuk wilayah kepulauan seperti Provinsi Maluku yang wilayah daratannya
berupa pulau-pulau kecil, arahan pengelolaan hutan tidak bisa semata-mata dibuat
dengan pendekatan bio-fisik dari wilayah daratannya, tetapi perlu
mempertimbangkan aspek lainnya, seperti aspek sosial, ekonomi dan waktu (trend).
Pada kajian ini penulis mengembangkan pendekatan hybrid, yang merupakan
kombinasi antara pendekatan biofisk, sosial, ekonomi dan waktu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan model arahan pengelolaan
hutan lestari di Provinsi Maluku yang bersifat menyeluruh dengan pendekatan
spasial dan temporal. Tujuan khusus dari penelitian ini untuk (1) membangun
Kelas-kelas tipologi gugus pulau di Provinsi Maluku; (2) membentuk pola spasial
tipologi gugus pulau yang dibangun; dan (3) Menganalisis Pola kecenderungan
spasial (spatial trend) perubahan hutan.
Kajian ini berangkat dari pengelompokkan gugus pulau yang telah ada
sebelumnya. Akan tetapi, atas pertimbangan perubahan kondisi dari berbagai faktor
dominan, kesederhanaan pengelompokkan gugus pulau serta aplikasi yang lebih
difokuskan pada aspek kehutanan, maka studi ini melakukan proses reklasifikasi
dengan pendekatan analisis diskriminan.
Penggunaan analisis diskriminan ini bertujuan melakukan penyederhanaan
gugus (kelas) dan mengukur relevansinya terhadap aspek pengelolaan hutan.
Analisis diskriminan yang pertama dilakukan untuk menguji penetapan duabelas
gugus pulau dengan menggunakan data biofisik, sosial dan ekonomi.
Pengelompokkan juga dilakukan dengan pendekatan analisis klaster, untuk
mengelompokkan unit-unit administrasi berdasarkan karakteristik alami dari setiap
unit klaster yang dianalisis. Pendekatan ini digunakan untuk menemukan tipologi
wilayah tanpa menghiraukan gugus pulau baru yang telah dihasilkan sebelumnya,
Analisis ini dilakukan sebagai pendekatan alternatif dalam mengembangkan arahan
pengelolaan hutan.
Arahan pengelolaan hutan berbasis gugus pulau disetiap kelas sebagai hasil
reklasifikasi sebelumnya dilakukan dengan pendekatan (1) spasial dan (2) temporal.
Pendekatan spasial mencakup pembangunan kelas-kelas kemampuan lahan yang
diturunkan dari beberapa faktor bio-fisik areal dari data-data statis, sedangkan
pendekatan temporal dikakukan dengan membangun informasi “spatial trend”
yang diturunkan dari data spasial runut waktu (time series), khususnya dari
perubahan tutupan hutan menjadi non hutan selama 18 tahun pada periode 2000 dan
2018.
Hasil analisis diskriminan menunjukan bahwa hanya lima gugus pulau yang
memiliki perbedaan secara biofisik dan sosial ekonomi dengan tingkat akurasi yang
tinggi. Peubah-peubah yang paling dominan dalam pembentukan wilayah
diskriminan lima gugus pulau adalah luas tanaman pangan, luas gugus, produksi
perikana tangkap dan produksi tanaman perkebunan.
Tiga kelas kemampuan lahan diperoleh pada 5 tipologi gugus pulau yaitu
rendah, sedang dan tinggi. Analisis perubahan tutupan lahan menunjukan bahwa
dalam kurun waktu 18 tahun Provinsi Maluku telah kehilangan tutupan hutan ±
77,102 ha atau rata-rata ± 4,283.4 ha/tahun. Secara global luasan penutup lahan
(land cover) yang hilang atau terdegradasi ± 422,805 ha atau rata-rata ± 23,489.06
ha/tahun. Analisis spatial trend dilakukan untuk menguj dan memonitor lokasi
terjadinya degradasi lahan serta besarannya. Analisis spatial trend menghasilkan
Lima kelas kategori yang menggambarkan kondisi perubahan yang terjadi pada tiap
tipologi 5 Gugus Pulau, yaitu : kelas I kategori sangat rendah; kelas II rendah; kelas
III sedang; kelas IV tinggi dan kelas V sangat tinggi. Trend ini menunjukan daerah
dengan tingkat degradasi tinggi sampai sangat tinggi ada pada beberapa Kabupaten
antara lain, Kabupaten Buru dan Buru Selatan, Seram bagian Barat, Maluku
Tengah dan Kota Ambon.
Berdasarkan hasil kajian diatas skenario pengelolaan hutan dapat dibuat
sebagai berikut :
a) Tipologi 1.
Tipologi 1 memiliki kelas kemampuan lahan rendah, sedang dan tinggi. Selain
itu tingkat kehilangan tutupan lahan hutan dan non-hutan yang terbesar.
Tipologi ini lebih cocok untuk pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan jasajasa
hutan, antara lain sumber daya air, perlindungan plasma nutfah, ekowisata,
dan kesehatan. Arahan pemanfaatannya di tingkat tapak direkomendasikan
kepada pengelolaan Kesatuan Pengelolaan Hutan Konsevasi (KPHK) dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL).
Untuk kemampuan lahan sedang dan rendah dapat diusahakan aktifitas
pemanfaatan sumberdaya hutan kayu dengan perencanaan yang terukur dan
pengawasan yang ketat. Arahan tingkat tapak direkomendasikan ke Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dalam proses pengelolaan sumberdaya
alam. Pemanfaatan sumberdaya hutan pada lahan kelas kemampuan lahan
rendah diarahkan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan
Perhutanan Sosial.
b) Tipologi 2.
Sama dengan Tipologi 1, tipologi ini memiliki 3 kelas kemampuan lahan
lahan. Tipologi ini memili persentse luas kemampuan lahan rendah lebih
besar dari tipologi 1 yaitu 54 % dari luas tipologinya. Dari aspek kelestarian,
hal ini harus mendapat perhatian yang serius dalam perencanaan pemanfaatan
lahan (hutan). Arahan pengelolaan lahan lebih mengarah ke jasa-jasa hutan
dan hasil hutan non kayu. Arahan pemanfaatan di tingkat tapak
direkomendasikan kepada Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK)
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). Selanjutnya untuk
kemampuan tingkat sedang sampai rendah di kelolah oleh Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Perhutanan Sosial.
c) Tipologi 3
Tipologi ini hanya memiliki 2 kelas kemampuan lahan, rendah dan sedang.
Luas lahan berkemampuan rendah hampir setengan dari luas tipologinya.
Luasan tutupan lahan hutan yang hilang ± 8 %. Arahan pemanfaatan lahan
pada tipologi ini yaitu hanya untuk hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa
lingkungan.
Arahan pemanfaatan di tingkat tapak direkomendasikan kepada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL). Selanjutnya untuk kemampuan tingkat sedang sampai tinggi
di kelolah oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan Perhutanan
Sosial
d) Tipologi 4.
Tipologi ini memiliki kesamaan dengan tipologi 3 hanya memiliki 2 kelas
kemampuan, yaitu rendah dan sedang. Tipologi ini cukup ekstrem disebabkan
karena ± 7213 % berada pada kelas kemampuan lahan rendah dan sisanya
(2787 %) pada kelas kemampuan lahan sedang. Tipologi ini didominasi oleh
tutupan lahan hutan ± 82 % dari luas tipologinya, dengan demikian aktivitas
yang mengarah kepada degradasi hutan menjadi prioritas penting.
Arahan pemanfaatan di tingkat tapak direkomendasikan kepada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL).
e) Tipologi 5.
Tipologi gugus pulau tetapi memiliki 3 kelas kemampuan lahan. Tutupan
lahan hutan mencakup ± 50 % dari luas tipologinya. Aktivitas konversi lahan
hutan ke non-hutan cukup tinggi. Tipologi ini memiliki kelas kemampuan
lahan sedang lebih tinggi dari 2 kelas lainnya. Skenario pemanfaatan lahan
diarahkan kepada hasil hutan non-kayu dan jasa-jasa hutan.
Arahan pemanfaatan di tingkat tapak direkomendasikan kepada Kesatuan
Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Lindung (KPHL). Selanjutnya untuk kemampuan tingkat sedang sampai
rendah di kelolah oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) dan
Perhutanan Sosial
Collections
- DT - Forestry [347]