Spatial Classification of Java Island Based on Geographic Characteristics and the Level of Development
Date
2021Author
Priatama, Rista Ardy
Rustiadi, Ernan
Widiatmaka, Widiatmaka
Metadata
Show full item recordAbstract
The Indonesian academicians and technocrats understand that some Java’s regions with typical physical conditions tend to be underdeveloped. Unfortunately, such an understanding has not been quantitatively proven, so that it is still rarely considered in the formulation of regional policies. Regional physical conditions, also known as “first nature”, limit human activities. The spatial patterns of man-made factors, or “second nature”, are also influenced by the first nature. The areas with minor physical obstacles tend to be the concentration of the manufacturing industry, while others remain as agricultural hinterlands. This phenomenon leads to the disparity of regional development.
The objectives of this research were 1) to give quantitative proof of the role of first-nature geography in the regional disparity and 2) to develop regional typologies jointly incorporating first nature, second nature, and development level. The study executed correlation analysis, factor analysis, cluster analysis, and one-way ANOVA. The data employed were terrain ruggedness, soil parent materials, elevation, precipitation, coastal proximity, sea depth, distance to market centers, land covers, sectoral contribution, GRDP growth, per-capita GRDP, sector ratio, and HDI of 119 regencies/municipalities of Java Island.
We found that regional development level was related to terrain ruggedness, soil parent materials, sea depth, elevation, and precipitation. The more developed areas are generally located on land with mild terrain, alluvial parent material, low elevation, the shallow surrounding sea, and relatively low precipitation. Physical attributes appear in nature with typical associations. It allows the simplification of the Java regions into certain regional typologies, i.e., into lowland, volcanic, old volcanic, and calcareous dry regions. The resulting groups have significant differences in HDI, per-capita GRDP, sector ratio, and poverty rate. Lowland regions experienced the most satisfactory regional performance, followed by volcanic regions. Old volcanic and calcareous dry regions performed poorly in the development level. No municipality was formed in old volcanic and calcareous dry regions, implying their low regional carrying capacity to support regional performance and city formation.
By involving first nature, second nature, and development level together to build the more comprehensive regional typologies, Java’s regions could be grouped under seven typologies: 1) least developed calcareous dry regencies, 2) least developed old volcanic regencies, 3) less developed volcanic regencies, 4) less developed lowland regencies, 5) mildly developed volcanic regencies, 6) developed lowland regencies, 7) developed lowland municipalities, 8) developed basin municipalities, and 9) most developed alluvial-plain municipalities. Group 1 and 2 were at the lowest development level. Group 5 and 6 were relatively developed due to their proximity to the metropolitan. Group 7, 8, and 9 had higher development level than others. Dalam diskursus pembangunan di Pulau Jawa, Indonesia, para akademisi dan teknokrat faham bahwa beberapa wilayah dengan kondisi fisik tertentu cenderung tertinggal dalam pembangunan. Namun pemahaman ini belum dibuktikan secara kuantitatif sehingga masih jarang dipertimbangkan dalam penyusunan kebijakan wilayah. Aktivitas-aktivitas manusia sesungguhnya turut dibatasi oleh kondisi fisik wilayah, atau dikenal pula sebagai alam pertama. Sebaran konsentrasi aktivitas manusia, atau bisa disebut alam kedua, pada dasarnya turut dipengaruhi oleh kondisi fisik wilayah yang kemudian ada wilayah yang menjadi konsentrasi industri manufakatur, sedangkan lainnya tetap menjadi hinterland.
Penelitian ini bertujuan untuk 1) memberi bukti kuantitatif terkait peran alam pertama (kondisi fisik wilayah) terhadap disparitas wilayah, dan 2) membangun tipologi wilayah dengan melibatkan alam pertama, alam kedua, dan tingkat pembangunan. Penelitian ini mengoperasikan analisis korelasi, factor analysis, cluster analysis, dan one-way ANOVA. Data yang digunakan meliputi terrain, bahan induk tanah, elevasi, presipitasi, kedalaman laut, jarak ke pantai, jarak ke pusat pasar, tutupan-tutupan lahan, kontribusi sektoral, pertumbuhan PDRB, PDRB per kapita, rasio sektor, dan IPM 119 kabupaten dan kota di Pulau Jawa.
Kami menemukan bahwa tingkat perkembangan wilayah berasosiasi dengan kekasaran medan, bahan induk tanah, kedalaman laut, elevasi, dan presipitasi. Wilayah yang lebih maju umumnya berada di lahan dengan medan yang ringan, bahan induk aluvial, elevasi rendah, laut sekitarnya yang dangkal, dan presipitasi yang relatif rendah. Atribut-atribut fisik juga muncul di alam dalam asosiasi yang khas. Hal ini memungkinkan penyederhanaan wilayah Jawa ke dalam tipologi tertentu, yaitu menjadi kelompok daerah dataran rendah, vulkanik, vulkanik tua, dan kering berkapur. Kelompok-kelompok tersebut memiliki perbedaan yang signifikan dalam hal IPM, PDRB per kapita, rasio sektor, dan tingkat kemiskinan. Daerah dataran rendah memiliki tingkat perkembangan yang paling baik, disusul daerah vulkanik. Tingkat pembangunan yang rendah terjadi di daerah vulkanik tua dan kering berkapur. Tidak ada kota yang terbentuk di wilayah-wilayah ini, yang menyiratkan rendahnya daya dukung wilayah kedua daerah tersebut.
Dengan melibatkan dimensi alam pertama, alam kedua, dan tingkat pembangunan untuk membangun tipologi yang lebih komprehensif, wilayah Jawa terkelompok ke dalam tujuh tipologi: 1) kabupaten kering berkapur tertinggal, 2) kabupaten vulkanik tua tertinggal, 3) kabupaten vulkanik kurang berkembang, 4) kabupaten dataran rendah kurang berkembang, 5) kabupaten vulkanik agak berkembang, 6) kabupaten dataran rendah berkembang, 7) kota dataran rendah berkembang, 8) kota cekungan berkembang, dan 9) kota dataran aluvial paling berkembang. Grup 1 dan 2 memiliki tingkat perkembangan terendah. Grup 5 dan 6 relatif maju karena dekat dengan metropolitan. Grup 7, 8, dan 9, mengalami tingkat perkembangan yang lebih baik daripada kelompok lainnya.
Collections
- MT - Agriculture [3781]