Pengelolaan Pemanfaatan Ruang Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Tiworo Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara
Date
2019Author
Ketjulan, Romy
Boer, Mennofatria
Imran, Zulhamsyah
Siregar, Vincentius P
Metadata
Show full item recordAbstract
Kepulauan Tiworo merupakan salah satu gugus pulau-pulau kecil yang
berada di Selat Tiworo, Kabupaten Muna Barat, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Beberapa persoalan mendasar terkait dengan pemanfaatan ruang di Kepulauan
Tiworo yang menjadikan penelitian ini penting dilakukan antara lain adalah: (1)
perairan Selat Tiworo merupakan area fishing ground bagi nelayan lokal
penangkap ikan telah mengalami over eksploitasi dan dapat mengakibatkan
pendapatan menurun. Untuk meningkatkan kegiatan perikanan dalam rangka
meningkatkan pendapatan nelayan lokal, Pemerintah Kabupaten Muna Barat
berupaya memanfaatkan perairan dengan mengembangkan usaha budidaya laut
sebagaimana yang dimuat dalam RPJMD tahun 2017-2022. Dalam perspektif
ruang, kebijakan tersebut memiliki implikasi terhadap rencana alokasi
pemanfaatan ruang karena harus memetakan kawasan yang sesuai untuk budidaya
dan kawasan peruntukan lain; (2) pemukiman penduduk di pulau-pulau yang telah
berlangsung sejak puluhan tahun silam dikhawatirkan memberikan tekanan yang
lebih besar terhadap perubahan fungsi lahan dan mutu perairan; (3) pengaruh
daerah mainland berupa material padatan tersuspensi yang masuk melalui daerah
aliran sungai juga menjadi ancaman terhadap kelestarian sumberdaya di
pulau-pulau kecil. Untuk mengatasi berbagai persoalan tersebut tentunya tidak
cukup hanya dengan melakukan penataan ruang (zonasi) sebagai satu-satunya
pendekatan dalam mengelola pemanfaatan ruang, tetapi dibutuhkan kebijakan
pengelolaan berdasarkan kajian yang lebih komprehensif sebagai dasar
pengambilan keputusan.
Berdasarkan uraian ringkas tersebut, penelitian ini dilakukan dengan
maksud menghasilkan kebijakan pengelolaan pemanfaatan ruang pulau-pulau
kecil di Kepulauan Tiworo. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan beberapa
kajian, yakni: (1) memetakan perairan pulau-pulau kecil yang sesuai untuk
pengembangan budidaya laut. (2) menghitung daya dukung pulau-pulau kecil
untuk pemukiman penduduk. (3) menilai keberlanjutan pemanfaatan ruang pulau
kecil berdasarkan dimensi ekologi, ekonomi, sosial, dan hukum dan kelembagaan.
(4) menentukan atribut pengungkit skala prioritas dan penunjang dalam
merumuskan kebijakan pengelolaan.
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pengembangan
budidaya laut sangat potensial dilakukan di Kepulauan Tiworo, khususnya
budidaya rumput laut, budidaya KJA, dan KJT. Total luas perairan yang sesuai
untuk budidaya sebesar 24.109.9 ha. Total luasan tersebut terdiri dari lahan untuk
budidaya rumput laut sebesar 17.461 ha, lahan untuk budiaya ikan di keramba
jaring apung (KJA) sebesar 6 528 ha, dan lahan untuk keramba jaring apung
(KJT) sebesar 115.9 ha.
Berdasarkan analisis rasio baku mutu (RBM) menunjukan bahwa penduduk
Kepulauan Tiworo berpengaruh secara nyata terhadap ion amonia di perairan.
Setiap penduduk pulau kecil berkontribusi meningkatkan nilai RBM amonia
v
sebesar 4.2 x 10-5. Daya dukung perairan setiap pulau-pulau kecil berdasarkan
nilai RBM berkisar antara 25.850 - 29.929. Daya dukung lahan pemukiman
penduduk di pulau-pulau kecil bervariasi mulai dari 695 - 20 519 jiwa. Pulau Balu
memiliki daya dukung terbesar yakni sebesar 20 519 jiwa, sedangkan pulau yang
memiliki daya dukung terkecil adalah Pulau Tasipi, sebesar 695 jiwa.
Keberlanjutan pemanfaatan ruang Kepulauan Tiworo berada pada kategori
kurang berkelanjutan dan kategori cukup berkelanjutan. Kategori kurang berlanjut
berada di Pulau Tasipi, sedangkan lima pulau lainnya tergolong cukup berlanjut.
Beberapa variabel yang menyebabkan Pulau Tasipi kurang berkelanjutan adalah
tingkat pemanfaatan lahan yang telah mencapai 100%, jumlah penduduk yang
melebihi daya dukung lahan, dan daya dukung lahan yang relatif kecil.
Berdasarkan dimensi ekologis keberlanjutan pemanfaatan ruang Kepulauan
Tiworo tergolong cukup berlanjut, kecuali di Pulau Tasipi yang tergolong kurang
berlanjut. Berdasarkan dimensi sosial tergolong baik, sedangkan berdasarkan
dimensi ekonomi tergolong kurang berlanjut, dan berdasarkan dimensi
kelembagaan semua pulau-pulau kecil termasuk dalam kategori yang buruk.
Atribut-atribut sensitif pada dimensi ekologi adalah kenaikan suhu
permukaan laut dan material padatan tersuspensi. Pada dimensi sosial adalah
atribut tingkat pendidikan, dan kejadian konflik antar warga. Pada dimensi
ekonomi adalah atribut ketersediaan modal usaha, rata-rata pendapatan, dan
atribut produksi tangkapan. Sedangkan pada dimensi kelembagaan, atribut yang
sensitif adalah status kepemilikan lahan oleh masyarakat, dan atribut zonasi
kawasan. Hasil analisis prospektif terhadap atribut-atribut sensitif tersebut
menunjukan bahwa suhu permukaan laut, materil padatan tersuspensi, status
kepemilikan lahan, zonasi kawasan, ketersediaan modal usaha, dan atribut hasil
tangkapan merupakan atribut yang memiliki pengaruh yang kuat, dan memiliki
ketergantungan yang kecil. Sementara itu atribut rata-rata pendapatan, tingkat
pendidikan, dan atribut potensi konflik antar warga adalah atribut yang memiliki
pengaruh yang kecil, dan ketergantungannya besar.
Berdasarkan beberapa tahapan analisis yang dilakukan, maka kebijakan
pengelolaan pemanfaatan ruang pulau-pulau kecil yang dihasilkan adalah:
(1) meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat, (2) mengendalikan pemanfaatan
lahan di daerah mainland, (3) mengembangkan diversifikasi usaha, (4)
menertibkan penggunaan ruang, dan (5) meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia.
Collections
- DT - Fisheries [711]