Integrasi Pasar Pangan Strategis di Indonesia
Date
2021Author
Sinaga, Jan Piter
Firdaus, Muhammad
Arsanti, Idha Widi
Fauzi, Akhmad
Metadata
Show full item recordAbstract
Pengendalian disparitas dan flukuasi harga yang tinggi dari harga pangan
strategis harus dilakukan oleh pemerintah karena ketidakseimbangan antarwaktu
dan antarwilayah antara supply dari produsen pertanian dan permintaan konsumen.
Salah satu caranya adalah melalui kebijakan stabilisasi harga. Daerah produsen
pangan berada di Jawa, Sumatera dan Sulawesi sedangkan wilayah konsumen yang
tersebar di seluruh Indonesia. Selain itu infrastruktur distribusi pangan juga masih
belum memadai terutama di Indonesia Timur dapat menghambat kelancaran arus
distribusi pangan antarwilayah. Kondisi ini harus diperbaiki melalui proses
perdagangan antarwilayah yang lebih efektif dan efisien. Hubungan perdagangan
antarwilayah sangat penting untuk memastikan ketersediaan pangan di semua
wilayah terutama di wilayah konsumen (defisit). Koordinasi antarwilayah dalam
rangka peningkatan perdagangan dan pemenuhan kebutuhan pangan antarwilayah
dari wilayah produsen ke wilayah konsumen harus menjadi perhatian dari
pemerintah. Oleh karena itu dibutuhkan intervensi pemerintah dalam
mengendalikan disparitas harga antarwilayah yang tinggi misalnya melalui
kebijakan stabilisasi harga.
Pendekatan dalam menjawab tujuan penelitian dilakukan dengan analisis
yang berbeda untuk masing-masing tujuan. Analisis integrasi pasar pangan antar
waktu dan antar wilayah dilakukan melalui tahapan analisis sebagai berikut: (1) uji
akar unit, (2) uji kointegrasi, (3) analisis Impulse Response Function (IRF), dan (4)
analisis dekomposisi ragam atau Forecast Error Decomposition Variance (FEDV).
Hasil pengujian menunjukkan bahwa terdapat integrasi spasial baik pada
komoditas beras medium maupun cabai merah analisis wilayah maupun nasional
yang ditunjukkan oleh adanya kointegrasi jangka panjang. Namun demikian secara
vertikal integrasi pasar beras medium hanya terjadi pada wilayah Pulau Jawa,
sementara pada wilayah di luar Pulau Jawa terjadi ketidakseimbangan antara harga
produsen, grosir dan eceran. Berdasarkan pengaruh kekuatan pasar, jumlah
produksi, surplus/defisit dan keterkaitan spasial maka: (a) PIBC menjadi pasar
acuan beras medium Indonesia, (b) Palembang menjadi pasar acuan beras medium
di wilayah Sumatera, (c) Bandung dan Surabaya menjadi pasar acuan beras medium
di wilayah Pulau Jawa, (d) Makassar menjadi pasar acuan beras medium di wilayah
Indonesia Timur.
Sementara itu, keterkaitan spasial antar wilayah dibahas melalui metode
analisis Uji Efek Spasial dengan menggunakan model regresi yang terboboti atau
Geographically Weighted Regression (GWR) yang menghasilkan model yang lebih
baik daripada OLS. Hal ini ditandai dengan R2 dan Adj R2 GWR yang lebih tinggi,
serta nilai AIC dan AICc yang lebih rendah. Beberapa poin penting dalam
penelitian ini adalah (1) harga grosir paling berpengaruh terhadap harga eceran
beras medium dan cabai merah baik pada periode panen raya maupun non panen
raya; (2) pola panen mengakibatkan pengaruh produksi dan harga produsen
terhadap harga eceran periode panen raya dan non panen raya berbeda. Pengelolaan
distribusi antarwilayah harus dilakukan untuk menjaga stabilitas pasokan dan
disparitas harga pangan antarwilayah; (3) harga produsen terintegrasi dengan
harga pedagang di kabupaten sentra produksi dan sekitarnya sedangkan integrasi
harga pangan di tingkat konsumen terjadi pada daerah pusat ekonomi utama
wilayah.
Aspek spasial yang muncul dalam penelitian ini adalah produksi, harga, dan
PDRB. Produksi menjadi aspek yang terkait dengan stabilisasi pasokan (termasuk
stok) sehingga perbedaan periode produksi antarwaktu dan perbedaan jarak suatu
wilayah terhadap sentra produksi mempengaruhi tingkat stabilisasi pasokan dan
harga. Harga yang ada ditingkat produsen, grosir dan eceran menjadi aspek yang
paling mempengaruhi stabilisasi harga. PDRB wilayah yang lebih besar
mengakibatkan daya tarik aliran pasokan ke wilayah tersebut juga lebih besar
daripada wilayah yang memiliki PDRB yang lebih kecil. Pengambilan kebijakan
stabilisasi pasokan dan harga pangan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah hendaknya
mempertimbangkan aspek lokasional atau pendekatan spasial yang mampu
memberikan gambaran secara akurat mengenai variasi harga secara geografis
sehingga kebijakan dapat diimplementasikan fokus dan terarah tepat pada sasaran.