Analisis segregan transgresif untuk perbaikan potensi hasil gandum (Triticum aestivum L.) di dataran tinggi tropika
Date
2021Author
Putri, Nurwanita Ekasari
Kusumo, Yudiwanti Wahyu Endro
Sutjahjo, Surjono Hadi
Trikoesoemaningtyas
Nur, Amin
Suwarno, Willy Bayuardi
Metadata
Show full item recordAbstract
Fenomena segregasi transgresif dapat dimanfaatkan dalam perakitan varietas baru pada tanaman menyerbuk sendiri, seperti gandum. Segregasi transgresif adalah fenomena pada populasi bersegregasi yang menghasilkan fenotipe ekstrim dibandingkan tetuanya. Segregan transgresif ini memiliki fenotipe superior yang diduga memiliki alel-alel homozigot. Pemuliaan tanaman menyerbuk sendiri bertujuan untuk memperoleh galur homozigot. Oleh karena itu, seleksi segregan transgresif membantu menduga individu homozigot pada generasi awal (F2, F3). Identifikasi segregan transgresif dapat dilakukan mulai generasi F2 jika pengaruh lingkungan tidak terlalu besar dan karakter seleksinya dikendalikan oleh gen-gen aditif. Verifikasi segregan transgresif dapat dilakukan pada generasi berikutnya, yaitu generasi F3 atau F4. Seleksi segregan transgresif lebih cepat memperoleh galur homozigot dibandingkan seleksi pedigree yang membutuhkan 6-7 generasi untuk memfiksasi alel-alel homozigot.
Penelitian ini bertujuan memperoleh karakter seleksi untuk daya hasil tinggi dan informasi kendali genetik yang mengontrol segregan transgresif gandum di dataran tinggi tropika. Penelitian ini diawali dengan pembentukan populasi dengan menggunakan persilangan topcross, yaitu persilangan genotipe tertentu dengan jantan yang sama. Materi genetik yang digunakan adalah Guri1, Guri2, Guri3, Guri6, HP1744, IS-Jarissa sebagai tetua betina dan Selayar sebagai tetua jantan. Selanjutnya, kombinasi F1 yang berpotensi menghasilkan segregasi transgresif diduga dengan formula rasio [d]/√D, yaitu membandingkan selisih kedua tetua dengan ragam aditifnya. Semakin kecil nilai rasionya maka semakin besar peluang mendapatkan segregan transgresif pada kombinasi F1 tertentu. Pendugaan parameter genetik dilakukan pada setiap populasi F2 seperti ragam, heritabilitas, dan aksi gen. Selain itu, segregan transgresif dapat diduga dengan menggunakan indeks transgresif. Semakin besar indeks transgresif maka semakin banyak segregan transgresif yang akan ditemukan pada suatu populasi. Kemudian identifikasi segregan transgresif pada populasi F2 dilakukan dengan membandingkan fenotipe setiap segregan yang melebihi kisaran kedua tetuanya. Dua populasi F2 dengan jumlah individu terbanyak dilanjutkan pada generasi F3. Populasi terpilih selanjutnya ditanam menggunakankan augmented design. Setiap famili F2:3 dievaluasi keragaannya, keragamannya dan kemajuan genetiknya.
Karakter yang sama pada setiap populasi tidak selalu memiliki nilai heterosis yang positif. Hal ini disebabkan oleh background genetik dari tetua yang membentuk setiap populasinya berbeda-beda. Selanjutnya, aksi gen over dominan umumnya ditemukan mengendalikan banyak karakter pada semua kombinasi tetua F1. Aksi gen ini menyebabkan nilai fenotipe dari individu F1 melebihi dari nilai tetuanya. Analisis [d]/√D menunjukkan kombinasi F1 HP1744/Selayar lebih potensial menghasilkan segregan transgressif adalah Guri3/Selayar, Guri6/Selayar, HP1744/Selayar, Jarissa/Selayar, dan Vee/Selayar pada generasi berikutnya.
Peningkatan produksi tanaman dapat dilakukan dengan melakukan seleksi langsung pada karakter bobot biji per tanaman pada setiap populasi F2. Bobot biji per tanaman pada semua populasi menunjukan heritabilitas arti luas yang tinggi (> 50%) dengan keragaman genetik yang luas pada karakter ini. Hal ini mendukung dilaksanakannya seleksi yang efektif. Bobot biji per tanaman dikendalikan oleh aksi gen aditif pada populasi Guri3/Selayar, dan aksi gen non aditif pada lima populasi F2 lainnya. Indeks transgresif menyatakan bahwa populasi yang menghasilkan segregan transgresif terbanyak secara berurutan adalah HP1744/Selayar, Vee/Selayar, Guri2/Selayar, Guri1/Selayar, Guri3/Selayar, dan Jarissa/Selayar. Hasil identifikasi segregan transgresif pada setiap populasi F2 diperoleh terbanyak pada populasi Vee/Selayar, Guri1/Selayar, HP1744/Selayar, Guri2/Selayar, Guri3/Selayar, dan Jarissa/Selayar. Pendugaan ini hampir sejalan dengan jumlah segregan transgresif yang ditemukan pada populasi F2 tersebut. Bobot biji setiap individu menunjukkan kemampuan adaptasinya pada lingkungan tropika. Jumlah individu yang termasuk sangat adaptif dan adaptif adalah 3 dan 12 pada Guri1/Selayar, 2 dan 5 pada Guri2/Selayar, 6 dan 12 pada Guri3/Selayar, 3 dan 6 pada HP1744/Selayar, 7 dan 11 pada Jarissa/Selayar serta 5 dan 14 pada Vee/Selayar. Segregan yang termasuk dalam kelompok sangat adaptif dan adaptif merupakan segregan transgresif.
Keragaman pada populasi F2:3 terdiri atas keragaman antar dan dalam famili. Keragaman dalam famili F2:3 menunjukkan tingkat heterozigositas lokus-lokus pada individu yang diduga sebagai segregan transgresif pada generasi F2. Aksi gen dominan yang mengendalikan bobot biji per tanaman pada kedua populasi menyebabkan rata-rata famili F2:3 umumnya tidak berhubungan dengan rata-rata F2. Populasi Vee/Selayar dan HP1744/Selayar memiliki famili-famili dengan bobot biji per tanaman yang lebih tinggi dari tetuanya namun keragaman dalam familinya masih tinggi dibandingkan pembandingnya. Segregan transgresif masih berpotensi ditemukan pada generasi berikut dengan melakukan seleksi pedigree.
Penelitian ini menghasilkan famili berdaya hasil tinggi dan potensial yang dilanjutkan pada generasi berikutnya, yaitu 25 segregan pada populasi Vee/Selayar dan 47 segregan pada populasi HP1744/Selayar. Selain itu, terdapat 4 famili pada populasi F2:3 Vee/Selayar dan 3 famili pada F2:3 HP/Selayar yang konsisten adaptif dengan menunjukkan bobot biji per tanaman yang tinggi pada generasi F2 dan F3. The phenomenon of transgressive segregation can be used to develop new varieties of self-pollinated crops, such as wheat. Transgressive segregation is a phenomenon in segregated populations that produces extreme phenotypes as compared to their parents. These transgressive segregants have a superior phenotype, which possibly has homozygous alleles. One of the objectives of breeding self-pollinated crops is to obtain superior homozygous lines. For this purpose, transgressive segregation selection has the capability to identify homozygous lines in the early generations (F2, F3). The transgressive segregants could be identified starting from the F2 generations if the environmental influence was low and the trait was mainly controlled by additive gene action. Transgressive segregants verification could be performed in the next generation, namely the F3 or F4 generations. Transgressive segregation selection could produce homozygous lines faster than pedigree selection, which the latter required 6-7 generations for fixing homozygous alleles.
This study aimed to identify characters for high yield selection and obtain information on genetic controls of transgressive segregation of wheat in the tropical highlands. This research began with a population using topcross mating design, i.e., crosses of some genotypes as females with the same male parent. The genetic material used was Guri1, Guri2, Guri3, Guri6, HP1744, IS-Jarissa as female parents, and Selayar as the male parent. Furthermore, the potential of an F1 population to produce transgressive segregation was estimated using the ratio formula [d] /√D, comparing the two parents’ difference and their additives variance. The smaller the value, the greater the chance of producing transgressive segregants. The genetic parameters estimation was carried out in each F2 population, such as variances, broad-sense heritability, and gene action. Besides, transgressive segregants can be estimated using a transgressive index. The greater the transgressive index, the more transgressive segregants will be found in a population. Identification of transgressive segregants in the F2 population was carried out by comparing each segregant phenotypes that exceeded their parents’s range. We chose two F2 populations that produced the largest number of F3 individuals. The F2:3 families were evaluated for their performance, variance, and genetic gains using an augmented design.
The same character in each population did not always have a positive heterosis value. This was due to the genetic background of the parents that make up each population differently. Furthermore, the over-dominant gene action was found to control many characters in all F1’s parents combinations. This type of gene action caused the phenotypic value of the F1 combination to exceed the parent values. Genetic analysis on the F1 combinations showed that Guri3/Selayar, Guri6/Selaya, HP1744/Selayar, Jarissa/Selayar, dan Vee/Selayar were more potential to produce transgressive segregants in the later generation.
Direct selection on character of seed weight per plant may increase crop production in each F2 population. All populations showed a high broad-sense heritability (> 50%) with wide genetic variability in this character. These attributes supported the implementation of an effective selection. The seed weight per plant was controlled by additive gene action in the Guri3/Selayar population and non-additive gene action in the other five F2 populations. HP1744/Selayar, Vee/Selayar, Guri2/Selayar, Guri1/Selayar, Guri3/Selayar, and Jarissa/Selayar populations, had a big chance to produce transgressive segregants according to the transgressive index. The transgressive segregants were observed in Vee/Selayar, Guri1/Selayar, HP1744/Selayar, Guri2/Selayar, Guri3/Selayar, and Jarissa/Selayar populations. The prediction was in line with observed transgressive segregants. The seed weight per plant showed its ability to adapt to tropical environments. The number of highly adaptive and adaptive individuals were 3 and 12 on Guri1/Selayar, 2 and 5 on Guri2/Selayar, 6 and 12 on Guri3/Selayar, 3 and 6 on HP1744/Selayar, 7 and 11 on Jarissa/Selayar, and 5 and 14 on Vee/Selayar. The individuals, which belonged to the highly adaptive and adaptive groups, were transgressive segregants.
The variations of F2:3 populations consisted of between and within families variance. The variance within F2:3 families indicated they were derived from a heterozygous F2 individual. The dominant gene action controlling seed weight per plant in both Vee/Selayar and HP1744/Selayar populations caused no relationship between the means of the F2:3 family and their F2 progenitor in general. Vee/Selayar and HP1744/Selayar populations have families with higher seed weight per plant than their parents, but unfortunately, the within-family variance was also higher. Transgressive segregants should then be found in a later generation using a pedigree selection approach.
This study resulted in high yield, and potential families continued in the next generation, namely 25 segregants in the Vee/Selayar population and 47 segregants in the HP1744/Selayar population. Four families in the Vee/Selayar population and three families in HP/Selayar were consistently adaptive by showing high seed weight per plant in both F2 and F3 generations.
Collections
- DT - Agriculture [728]