Daya Saing dan Kinerja Perdagangan Kopi Indonesia di Pasar Internasional
Date
2020-04-20Author
Manalu, Doni Sahat Tua
Harianto, Harianto
Suharno, Suharno
Hartoyo, Sri
Metadata
Show full item recordAbstract
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan Indonesia setelah kelapa sawit, karet dan kakao dengan jumlah ekspor kopi yang lebih tinggi dibandingkan dengan konsumsi domestik. Produksi kopi Indonesia sebagian besar di ekspor dari pada dikonsumsi dalam negeri. Pada tahun 1980 volume ekspor kopi Indonesia sebesar 238 677 ton kemudian tahun 2016 volume ekspor meningkat menjadi 412 370 ton. Kopi yang diekspor dalam bentuk biji (green bean) sebesar 97,1 persen dan sisanya dalam bentuk olahan (roasted dan bubuk) sebanyak 2,9 persen. Sebagian besar kopi yang diekspor yaitu jenis kopi robusta sebesar 76,7 persen sedangkan jenis kopi arabika sebesar 23,3 persen.
Produksi kopi dunia sebagian besar dihasilkan oleh negara Brazil, Vietnam, Colombia dan Indonesia. Dari ke empat negara eksportir utama tersebut kontribusi Indonesia adalah yang paling rendah. Rendahnya kontribusi Indonesia dibandingkan negara kompetitor yaitu produsen sekaligus eksportir utama dunia diakibatkan adanya permasalahan yang dihadapi, diantaranya semakin berkurangnya luas areal lahan perkebunan kopi di Indonesia, hal ini dikarenakan luas areal kopi menurut status pengusahaannya pada tahun 1980-2018 terdiri dari perkebunan rakyat (95,37 persen) perkebunan besar negara (2,25 persen) perkebunan besar swasta (2,48 persen) dengan luas tanaman menghasilkan kopi di Indonesia yang semakin menurun dalam kurun waktu 2009-2018 rata-rata sebesar -0,06 persen pertahun. Permasalahan lain adalah rendahnya produktivitas kopi Indonesia dan sebesar 65 persen ekspor kopi Indonesia tergolong pada Grade IV ke atas, termasuk pada kopi mutu rendah yang terkena larangan ekspor.
Dari sisi kebijakan perdagangan internasional, masing-masing negara importir menerapkan kebijakan tarif yang berbeda-beda dan penerapan kebijakan non tarif diberlakukan pada masing-masing negara importir yaitu Amerika Serikat, Jepang dan Jerman. Pada tahun 1995 Amerika Serikat telah mengeluarkan peraturan tentang Hazard Analytical Critical Control Point (HACCP) untuk melindungi warga Amerika Serikat dari produk pangan impor yang berbahaya. Jepang juga melarang masuk impor produk yang tidak sehat melalui food sanitary law dan the quarantine law. Penerapan non tarif impor di Jerman dilakukan melalui penerapan kebijakan food label & food safety pada produk yang mengandung kafein. Selain itu, pemerintah juga mencanangkan target peningkatan volume ekspor kopi biji sebesar 24,3 persen (462 497 421 kg) pada tahun 2025 yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Berdasarkan uraian tersebut, sehingga perlu mengetahui bagaimana kondisi persaingan ekspor kopi Indonesia dengan negara eksportir utama dunia lainnya di negara importir utama dunia serta pengaruh kebijakan non tarif yang diberlakukan di negara importir utama dunia, selanjutnya bagaimana posisi daya saing serta upaya melakukan perbaikan daya saing dan kinerja perdagangan kopi Indonesia di pasar internasional. Maka penelitian ini bertujuan untuk 1) Menganalisis persaingan ekspor kopi Indonesia dengan negara eksportir utama dunia lainnya di negara importir utama dunia serta pengaruh kebijakan non tarif yang diberlakukan di negara importir utama dunia, 2) Menganalisis daya saing kopi Indonesia dibandingkan dengan negara eksportir utama dunia lainnya. Metode analisis data yang digunakan untuk menjawab tujuan pertama pada penelitian ini adalah model Linear Approximate Almost Ideal Demand System (LA/AIDS). Selanjutnya tujuan kedua dijawab dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA), Export Product Dynamis (EPD), Dynamic Revealed Comparative Advantage Index (DRCA Index) dengan menggunakan data time series dari tahun 1995 hingga 2017 dengan kode HS 090111.
Hasil penelitian berdasarkan estimasi pangsa pasar masing-masing negara produsen utama ditemukan bahwa yang menjadi primadona di pasar Amerika Serikat adalah kopi dari Colombia dan Brazil. Jenis kopi yang diproduksi pada dua negara ini adalah kopi arabika, sehingga dapat dikatakan bahwa kopi arabika menjadi primadona di pasar Amerika Serikat jika dibandingkan dengan kopi robusta. Hal ini dapat menjadi gambaran bagi Indonesia, untuk dapat melihat posisi kopi yang dimiliki karena hal ini menggambarkan bahwa kopi Indonesia yang dominan berjenis robusta belum dapat menjadi pilihan utama di pasar Amerika Serikat.
Hasil estimasi pangsa kopi Indonesia, Colombia, Vietnam dan Brazil di pasar Jepang, menunjukkan bahwa di pasar Jepang kopi Indonesia cenderung berkaitan dengan kopi Vietnam, apabila terjadi kenaikan pada harga kopi Vietnam, maka akan mengakibatkan terjadinya peningkatan pangsa kopi Indonesia di pasar Jepang dan demikian sebaliknya, apabila dibandingkan berdasarkan jenis kopi arabika dan robusta, maka yang menjadi primadona (pilihan) adalah kopi arabika, sementara kopi robusta yang berasal dari Vietnam dan Indonesia memang tetap menjadi pilihan di pasar Jepang namun digunakan sebagai campuran pada kopi arabica, mengingat jenis kopi pada penelitian ini adalah kopi biji, maka dalam bentuk olahan di Jepang maka mungkin saja kopi yang di impor oleh Jepang dari berbagai negara dilakukan pengolahan kembali hingga menjadi produk akhir yang siap dikonsumsi.
Hasil estimasi pangsa kopi Indonesia, Colombia, Vietnam dan Brazil di pasar Jerman menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara signifikan terhadap pangsa kopi Indonesia lebih sedikit jika dibandingkan dengan variabel yang berpengaruh pada pangsa kopi Colombia, Vietnam dan Brazil. Dapat dilihat bahwa kopi Indonesia lebih cenderung berkompetisi (substitusi) dengan kopi Vietnam di pasar Jerman. Kopi Colombia dan kopi Brazil di pasar Jerman saling berkompetisi (bersubstitusi), sementara kopi Vietnam dengan kopi Brazil bersifat komplementer karena di pasar Jerman kopi robusta asal Vietnam dan Indonesia hanya dijadikan sebagai campuran kopi arabika yang berasal dari Colombia dan Brazil. Indikasi lainnya juga ditunjukkan dengan adanya sifat yang saling bersubstitusi antara kopi Indonesia dan kopi Vietnam (produsen kopi robusta) di pasar Jerman.
Adapun variabel kebijakan non tarif (SPS dan TBT) dengan pendekatan Covarage Area (Carea NTM) pada model penelitian menunjukkan bahwa di pasar Amerika Serikat variabel Carea NTM hanya signifikan pada kopi Vietnam, sementara di pasar Jepang variabel Carea NTM signifikan pada kopi Vietnam dan Brazil dan di pasar Jerman variabel Carea NTM signifikan pada kopi Vietnam. Adapun variabel Carea NTM tidak signifikan pada kopi Indonesia di masing-masing negara importir utama dunia.
Selanjutnya, berdasarkan analisis daya saing diperoleh bahwa kopi Indonesia memiliki keunggulan komparatif di negara tujuan ekspor berdasarkan metode RCA, hal ini memberikan gambaran bahwa kopi Indonesia masih memiliki kedudukan yang diperhitungkan di pasar internasional, namun jika dibandingkan dengan kopi negara eksportir utama dunia lainnya maka diperoleh nilai RCA Indonesia berada pada urutan terakhir yang dapat diartikan bahwa daya saing kopi Indonesia perlu di tingkatkan di pasar internasional, kemudian hasil dari metode EPD diperoleh bahwa produk kopi Indonesia berada pada posisi falling star di negara tujuan ekspor Amerika Serikat dan Jerman, sedangkan di diperoleh bahwa posisi pasar kopi Indonesia pada posisi lost opportunity. Selanjutnya, dinamika perdagangan yang terjadi berdasarkan analisis DRCA diperoleh bahwa posisi perdagangan kopi Indonesia di pasar internasional pada periode 1 adalah Leading retreat, pada periode 2 adalah Falling star, pada periode 3 adalah Lost opportunity, dan pada periode 4 adalah Lost opportunity.
Rekomendasi kebijakan yang dapat dikemukakan dari penelitian ini adalah perlu adanya upaya peningkatan daya saing dan kinerja perdagangan kopi Indonesia di pasar internasional melalui beberapa hal yaitu dalam bidang kebijakan perdagangan internasional upaya untuk melakukan kerjasama bilateral dengan negara importir khususnya dalam peningkatan promosi kopi sehingga kopi Indonesia dapat lebih dikenal dan menjadi primadona (pilihan) di pasar internasional. Untuk dapat meningkatkan jumlah ekspor kopi Indonesia, perlu upaya peningkatan mutu kopi yang di eskpor hal ini akan berimplikasi pada penerapan sertifikasi pada komoditas kopi mulai dari budidaya, pemeliharaan, panen dan pasca panen dalam hal ini diperlukan upaya pemerintah melalui adanya penyuluhan (pendampingan) yang lebih serius dilakukan kepada petani maupun pengusaha kopi (pedagang dan eksportir) sehingga mutu kopi yang diekspor lebih baik lagi agar dapat diterima di pasar internasional. Daya saing dan kinerja kopi Indonesia di ketiga negara importir utama dunia menunjukkan kondisi yang kurang berkembang, sehingga dalam hal ini Indonesia perlu berupaya mencari pasar tujuan yang lebih potensial seperti negara-negara di Asia selain Jepang yang menjadikan kopi Indonesia sebagai primadona sehingga target yang dicanangkan oleh pemerintah dalam RPJPN yaitu peningkatan ekspor kopi sebesar 24,3 persen pada tahun 2025 dapat tercapai. Coffee is one of Indonesia's leading plantation commodities after palm oil, rubber and cocoa with a higher number of coffee exports compared to domestic consumption. Most of Indonesia's coffee production is exported rather than consumed domestically. In 1980, the export volume of Indonesian coffee was 238 677 tons, then in 2016 the export volume increased to 412 370 tons. 97,1 percent of exported coffee in the form of beans (green beans) and 2,9 percent of the rest in processed form (roasted and powder). Most of the exported coffee was robusta coffee at 76,7 percent, while arabica coffee was 23,3 percent.
Most of the world's coffee production is produced by Brazil, Vietnam, Colombia and Indonesia. Of the four main exporting countries, Indonesia's contribution is the lowest. Indonesia's low contribution compared to competing countries, namely the world's main producers and exporters, is due to the problems faced, including the reduced area of coffee plantation areas in Indonesia, this is because the area of coffee in accordance with its concession status in 1980-2018 consists of smallholder plantations 37 percent) large state plantations (2,25 percent) large private plantations (2,48 percent) with an area of coffee-producing crops in Indonesia which decreased in the period 2009-2018 by an average of -0,06 percent per year. Another problem is the low productivity of Indonesian coffee and 65 percent of Indonesia's coffee exports are classified as Grade IV and above, including low quality coffee which is subject to export bans.
In terms of international trade policies, each importing country applies a different tariff policy and the application of a non-tariff policy is enforced in each importing country, namely the United States, Japan and Germany. In 1995 the United States issued a regulation on Hazard Analytical Critical Control Points (HACCP) to protect US citizens from dangerous imported food products. Japan also prohibits imports of unhealthy products through the food sanitary law and the quarantine law. The application of non-import tariffs in Germany is carried out through the application of a food label & food safety policy on products containing caffeine. In addition, the government has also set a target of increasing the volume of bean coffee exports by 24,3 percent (462 497 421 kg) in 2025 base on the Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN).
Based on this description, it is necessary to know how the competitive conditions of Indonesian coffee exports with other major exporting countries in the world's major importing countries and the influence of non-tariff policies imposed in the world's main importing countries, then what is the position of competitiveness and efforts to improve competitiveness and performance Indonesian coffee trade in international markets. So this study aims to 1) Analyze the competition of Indonesian coffee exports with other major world exporting countries in the world's major importing countries and the effect of non-tariff policies imposed in the world's major importing countries, 2) Analyze the competitiveness of Indonesian coffee compared to other major world exporting countries . The data analysis method used to answer the first objective of this study is the Linear Approximate Almost Ideal Demand System (LA / AIDS) model. Then the second objective is answered by the Revealed Comparative Advantage (RCA) method, Dynamic Export Product (EPD), Dynamic Revealed Comparative Advantage Index (DRCA Index) using time series data from 1995 to 2017 with the HS code 090111.
The results of the study based on the estimated market share of each of the main producing countries found that coffee from Colombia and Brazil were the prima donna in the US market. The type of coffee produced in these two countries is Arabica coffee, so it can be said that Arabica coffee is the prima donna in the United States market when compared to Robusta coffee. This can be an illustration for Indonesia, to be able to see the position of coffee it has because it illustrates that Indonesia's dominant robusta coffee has not yet become the main choice in the US market.
The estimation results of the share of Indonesian, Colombian, Vietnamese and Brazilian coffee in the Japanese market show that in the Japanese market Indonesian coffee tends to be related to Vietnamese coffee, if there is an increase in the Vietnamese coffee price, it will result in an increase in the share of Indonesian coffee in the Japanese market and vice versa , when compared based on the types of arabica and robusta coffee, the preferred option is arabica coffee, while robusta coffee originating from Vietnam and Indonesia is still the choice in the Japanese market but is used as a mixture in arabica coffee, given the type of coffee in the study. This is coffee beans, so in processed form in Japan it is possible that coffee imported by Japan from various countries is reprocessed until it becomes a final product that is ready for consumption.
The estimation results of the share of coffee in Indonesia, Colombia, Vietnam and Brazil in the German market show that there are fewer variables that have a significant effect on the share of Indonesian coffee compared to the variables that affect the share of Colombian, Vietnamese and Brazilian coffee. It can be seen that Indonesian coffee is more likely to compete (substitute) with Vietnamese coffee in the German market. Colombian coffee and Brazilian coffee in the German market compete with each other (substitutes), while Vietnamese coffee and Brazilian coffee are complementary because in the German market robusta coffee from Vietnam and Indonesia is only used as a mixture of Arabica coffee originating from Colombia and Brazil. Another indication is also shown by the mutually substituting nature of Indonesian coffee and Vietnamese coffee (robusta coffee producer) in the German market.
The non-tariff policy variables (SPS and TBT) with the Covarage Area (Carea NTM) approach in the research model show that in the United States market the Carea NTM variable is only significant for Vietnamese coffee, while in the Japanese market the Carea NTM variable is significant for Vietnamese and Brazilian coffee and in the German market the Carea NTM variable is significant in Vietnamese coffee. The Carea NTM variable is not significant for Indonesian coffee in each of the world's main importing countries.
Furthermore, based on the competitiveness analysis, it is found that Indonesian coffee has a comparative advantage in the export destination country based on the RCA method, this illustrates that Indonesian coffee still has a calculated position in the international market, but when compared to coffee from other major exporting countries in the world, the value is obtained. Indonesia's RCA is in the last order, which means that the competitiveness of Indonesian coffee needs to be improved in the international market, then the results of the EPD method show that Indonesian coffee products are in a falling star position in the export destination countries of the United States and Germany, while it is obtained that the position Indonesian coffee market is in a lost opportunity position. Furthermore, the trade dynamics that occur based on the DRCA analysis show that the position of Indonesian coffee trade in the international market in period 1 is Leading retreat, in period 2 it is a Falling star, in period 3 it is a Lost opportunity, and in period 4 it is a Lost opportunity.
Policy recommendations that can be put forward from this research are the need for efforts to increase the competitiveness and performance of Indonesian coffee trade in the international market through several things, namely in the field of international trade policy efforts to carry out bilateral cooperation with importing countries, especially in increasing the promotion of coffee so that Indonesian coffee can be more known and become the prima donna (choice) in the international market. To be able to increase the number of Indonesian coffee exports, it is necessary to improve the quality of the exported coffee, this will have implications for the application of certification for coffee commodities ranging from cultivation, maintenance, harvesting and post-harvest, in this case government efforts are needed through more counseling (assistance). This is seriously done to farmers and coffee entrepreneurs (traders and exporters) so that the quality of the exported coffee is even better so that it can be accepted in the international market. The competitiveness and performance of Indonesian coffee in the three main importing countries of the world show less developed conditions, so in this case Indonesia needs to seek more potential destination markets such as countries in Asia other than Japan which make Indonesian coffee the prima donna so that the target set by the government in the RPJPN, namely that an increase in coffee exports by 24,3 percent in 2025 can be achieved.