Evaluasi Pemenuhan Hak Atas Pangan dengan Pendekatan Sistem Pangan di Tingkat Provinsi di Indonesia
View/ Open
Date
2021Author
Maulad, Akber
Martianto, Drajat
Ekayanti, Ikeu
Metadata
Show full item recordAbstract
Setiap negara yang menjadi anggota kovenan internasional hak asasi bidang ekonomi, sosial dan budaya mempunyai kewajiban melindungi, menghormati dan memenuhi hak atas pangan bagi setiap individu. Undang-undang No. 18/2012 tentang Pangan telah menjabarkan kebijakan untuk mewujudkan hak atas pangan melalui pasal-pasal yang diaturnya dengan menggunakan kerangka sistem pangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pemenuhan hak atas pangan melalui pengembangan indeks pemenuhan hak atas pangan di tingkat wilayah dengan menggunakan indikator struktural, proses dan outcome. Pendekatan evaluasi pemenuhan hak atas pangan di tingkat wilayah diambil sebagai konsekuensi penerapan desentralisasi wilayah (otonomi daerah). Melalui pembandingan antar wilayah dapat diperoleh pembelajaran dan praktek baik (best practices dan lessons learnt) yang dilakukan oleh tiap wilayah yang dapat digunakan wilayah lain untuk perbaikan kebijakan dan program pangan dan gizinya.
Studi ini memanfaatkan data sekunder yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia dengan desain cross sectional study. Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran laman instansi terkait di tiap provinsi, yang dilakukan pada bulan Maret sampai September 2020. Data dan informasi yang digunakan terdiri dari peraturan, program dan capaian kinerja untuk tiap indikator dalam subsistem pangan. Data dalam bentuk kualitatif, dikuantifikasi dengan metode scoring dan dianalisis secara deskriptif untuk mengetahui tingkat pemenuhan hak atas pangan.
Tahap pertama penelitian yaitu mengidentifikasi calon indikator melalui studi literatur indikator yang dikembangkan di tingkat global dan nasional, kemudian menghasilkan 65 calon indikator potensial dari FAO Right to Food Handbooks, Hunger and Nutrition Commitment Index (HANCI) dan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RAN-PG). Selanjutnya, calon indikator diseleksi secara kualitatif dengan tiga kriteria: 1) relevan dengan sistem pangan, 2) tidak serupa (tumpang tindih dan independen), 3) dan ketersediaan data di tingkat provinsi. Terdapat 36 indikator terseleksi yang digunakan dalam evaluasi hak atas pangan dengan komposisi 13 indikator pada subsistem ketersediaan pangan, 12 indikator pada subsistem akses pangan dan 11 indikator pada subsistem pemanfaatan pangan. Tahap pemberian skor tiap indikator dihitung dengan proporsi yang sama sehingga menghasilkan agregat skor per provinsi. Agregat skor digunakan untuk membuat peringkat provinsi berdasarkan upaya pemenuhan hak atas pangan. Pengkategorian provinsi terbagi menjadi tinggi, sedang dan rendah.
Berdasarkan analisis karakteristik pemenuhan hak atas pangan provinsi secara deskriptif dapat diketahui indikator yang sudah tercapai/baik dan indikator yang masih rendah sehingga dapat digunakan sebagai bahan penetapan kebijakan ke depan. Untuk indikator subsistem ketersediaan pangan yang umumnya baik/tercapai adalah peningkatan produksi pertanian, sedangkan yang masih rendah adalah penyuluhan pertanian; untuk subsistem akses pangan, indikator yang umumnya baik adalah stabilitas harga pangan dan penanggulangan kemiskinan, sedangkan yang masih rendah adalah pemberdayaan penyandang masalah kesejahteraan sosial; dan indikator pada subsistem pemanfaatan pangan yang umumnya baik adalah peningkatan kualitas konsumsi pangan, sedangkan yang masih rendah adalah peningkatan akses masyarakat terhadap air bersih. Indikator yang sudah baik/tercapai pada tiap subsistem disebabkan pemerintah provinsi memiliki komitmen tinggi yang ditunjukkan dengan ketersediaan peraturan di tingkat wilayah serta pelaksaanan program dengan dukungan anggaran yang memadai, sedangkan komitmen yang rendah dan tidak adanya dukungan anggaran memadai menyebabkan rendahnya capaian indikator di tiap subsistem pangan.
Berdasarkan kategori tingkat pemenuhan hak atas pangan, hasil studi menunjukkan sebagian besar provinsi termasuk dalam kategori sedang (25 provinsi) dan kategori tinggi diraih oleh 3 provinsi, serta kategori rendah terjadi pada 6 provinsi. Skor tertinggi diraih oleh Provinsi Jawa Tengah, sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki skor terendah. Pemenuhan hak atas pangan tertinggi di Provinsi Jawa Tengah disebabkan tercapainya indikator peningkatan produksi pertanian, ketersediaan energi dan protein, cadangan pangan pemerintah, stabilitas harga pangan, peningkatan kualitas konsumsi pangan dan peningkatan mutu dan keamanan pangan, sedangkan untuk Provinsi Papua Barat, hampir seluruh indikator tidak tercapai, yaitu produksi pertanian, ketersediaan energi dan protein, cadangan pangan pemerintah, penyuluhan pertanian, stabilitas harga pangan, pemberdayaan PMKS, peningkatan kualitas konsumsi pangan, peningkatan mutu dan keamanan pangan serta akses masyarakat terhadap air bersih.
Analisis klaster digunakan untuk mengelompokkan provinsi dengan tingkat pemenuhan hak atas pangan yang mirip. Setelah dilakukan iterasi, penelitian ini mengelompokkan 34 provinsi ke dalam lima klaster. Hasil studi menunjukkan klaster satu sampai tiga termasuk kategori sedang, sedangkan klaster empat dan lima termasuk kategori rendah. Kinerja pemerintah provinsi dalam pelaksanaan kewajiban pemenuhan hak atas pangan ditentukan oleh ketersediaan peraturan (indikator struktural) dan pelaksanaan program dengan dukungan anggaran yang memadai (indikator proses). Klaster 1 adalah provinsi dengan tingkat pemenuhan hak atas pangan tertinggi, sedangkan klaster 4 termasuk kategori terendah. Karakteristik klaster 1 dicirikan oleh tercapainya indikator peningkatan produksi pertanian, cadangan pangan pemerintah, penanggulangan kemiskinan, perlindungan tenaga kerja, kualitas konsumsi pangan dan akses air bersih. Hal ini menunjukkan provinsi di klaster 1 telah memenuhi hak atas pangan penduduk dengan baik dan lengkap di tiga subsistem pangan. Karakteristik pada klaster 3 dicirikan oleh indikator ketersediaan energi dan protein, cadangan pangan pemerintah, kualitas konsumsi pangan dan akses air bersih. Subsistem akses pangan perlu menjadi perhatian provinsi di klaster 3. Untuk klaster 2, dicirikan oleh indikator peningkatan produksi pertanian dan penyuluhan pertanian, yang lebih berorientasi pada peningkatan ketersediaan pangan. Karakteristik pada klaster 5 hanya dicirikan oleh indikator penyuluhan pertanian, dan klaster 4 tidak memiliki indikator dengan capaian baik. Hal ini dikarenakan rendahnya komitmen pemerintah provinsi dengan tidak adanya peraturan dan dukungan anggaran yang memadai. Berdasarkan studi ini disarankan agar provinsi yang termasuk klaster rendah dapat melakukan perbaikan dengan memperhatikan indikator yang telah dicapai baik oleh provinsi dengan klaster tinggi.
Collections
- MT - Human Ecology [2257]