Model Keberlanjutan Biodiesel berbasis Kelapa Sawit di Indonesia
View/ Open
Date
2019Author
Nuva
Fauzi, Akhmad
Dharmawan, Arya Hadi
Putri, Eka Intan Kumala
Metadata
Show full item recordAbstract
Pengembangan biodiesel merupakan langkah penting dalam mewujudkan rencana Pemerintah Indonesia dalam transisi sumber energi, dari energi fosil yang cenderung tidak ramah lingkungan kepada energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Pemanfaatan biodiesel juga dapat dilihat sebagai salah satu cara untuk mengurangi permasalahan perubahan iklim dan meningkatkan keamanan pasokan energi. Penggunaan biodiesel di dalam negeri diharapkan meningkat sejalan dengan ditetapkannya mandatori BBN (biodiesel) sebesar 20 persen (B20) pada tahun 2016 oleh Pemerintah sebagai substitusi BBM/campuran BBM pada sektor BBM PSO, BBM Non PSO, Industri dan Komersial, serta Pembangkit Listrik.
Sebagai negara penghasil kelapa sawit terbesar dengan produksi yang terus meningkat dan sekaligus fokus pada pengembangan bioenergi, saat ini Indonesia memprioritaskan bahan baku utama biodiesel bersumber dari kelapa sawit. Potensi bahan baku kelapa sawit sangat melimpah di Indonesia dengan rata-rata produksi CPO ± 43,24 juta ton di tahun 2017, dimana sebagian besar produksi minyak sawit Indonesia ditujukan untuk ekspor (berupa crude export dan refined serta oleo export), yaitu mencapai 68 persen. Dilihat dari total produksi kelapa sawit tersebut, sebanyak 17 persen dimanfaatkan di dalam negeri untuk kebutuhan pangan lokal dan 5,03 persen diperuntukkan bagi biodiesel dalam dan luar negeri.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah sejauh mana biodiesel berbasis kelapa sawit berkelanjutan dalam jangka panjang guna mendukung target bauran energi primer yang dicanangkan oleh Pemerintah. Dalam menilik tingkat keberlanjutan biodiesel berbasis kelapa sawit di Indonesia, tentu perlu difahami apa saja yang menjadi faktor pendorong maupun penghambat yang ada. Selain daya saing harga jual biodiesel yang terus turun terhadap harga solar akibat naiknya harga TBS dan CPO, persoalan yang dihadapi oleh industri biodiesel berbasis kelapa sawit di Indonesia juga dikaitkan dengan aspek sosial dan lingkungan yang berpotensi timbul akibat pengembangan perkebunan kelapa sawit, maupun permasalahan kelembagaan dan ekonomi politik dalam dan luar negeri. Walaupun tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia terus mengalami perbaikan, persoalan lingkungan tentu masih perlu menjadi perhatian semua pihak. Adanya trade-off pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit juga menimbulkan beragam pendapat. Pengembangan dan pemanfaatan biodiesel pada satu sisi merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil impor, mengurangi emisi gas rumah kaca dalam konteks life cycle, merangsang pertumbuhan ekonomi melalui kesempatan kerja baru, serta peningkatan pendapatan rumah tangga petani sawit di berbagai daerah produsen kelapa sawit.
Berdasarkan hasil analisis faktor yang mempengaruhi keberlanjutan biodiesel berbasis kelapa sawit, diketahui bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi keberlanjutan biodiesel berbasis kelapa sawit tidak mebentuk “L-shape” yang berarti dapat dinyatakan bahwa biodiesel berbasis kelapa sawit Indonesia
cenderung tidak stabil atau unsustainable. Mayoritas variabel berada pada kuadran relay variable yang dicirikan oleh pengaruh dan ketergantungannya yang kuat. Kondisi ini menunjukkan biodiesel berbasis kelapa sawit cenderung memiliki ketidakpastian yang tinggi, dimana variabel-variabel yang ada di dalamnya cenderung memainkan peran yang ambigu dalam sistem. Variabel-variabel relay ini adalah harga TBS (E1), harga CPO (E2), insentif BPDP-KS (E4), eskpor biodiesel ke EU dan Amerika (P1), penegasan kepastian (enforcement) penggunaan biodiesel dalam target energi terbarukan (P2), penggunaan oleh PSO (P3), penggunaan oleh non-PSO (P4), dan jumlah pabrik biodiesel (K2).
Selanjutnya, dilihat dari indeks keberlanjutan untuk enam (6) dimensi biodiesel planning (ekonomi, sosial, lingkungan, politik, teknologi, dan kelembagaan), diketahui bahwasanya dimensi lingkungan menunjukkan tingkat keberlanjutan yang paling rendah, terutama di sektor hulu (kebun kelapa sawit). Walaupun di hilir dan dalam konteks life cycle, biodiesel diyakini mampu mengurangi emisi gas rumah kaca, akan tetapi persoalan lingkungan lainnya seperti alih fungsi lahan, kebakaran hutan, dan pencemaran sumber air yang masih terjadi juga perlu menjadi perhatian semua pihak.
Oleh karena itu, keberlanjutan biodiesel berbasis kelapa sawit akan sulit berhasil tanpa arahan kebijakan yang tepat, kuat, dan coherence, baik untuk pasar dalam negeri guna mendukung target bauran energi pemerintah maupun untuk pasar ekspor. Diplomasi dan kekuatan politik luar negeri Indonesia diperlukan dalam memastikan bahwasanya biodiesel berbasis kelapa sawit Indonesia sustainable. Guna mendukungnya, tentu perlu keseriusan pemerintah, pengusaha kelapa sawit, dan petani sawit dalam menjamin produksi kelapa sawit Indonesia tidak mengandung permasalahan di berbagai dimensi keberlanjutan.