Model Pengelolaan Subak Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal di Kawasan Sarbagita Bali
View/ Open
Date
2019Author
Geria, I Made
Sumardjo
Sutjahjo, Surjono H
Widiatmaka
Kurniawan, Rachman
Metadata
Show full item recordAbstract
Sistem tata kelola irigasi tradisional yang menjadi pilar kebudayaan
masyarakat Bali mulai mengalami masalah, terutama pada budaya subak.
Permasalahan yang terjadi adalah alam mulai terdegradasi dan berpotensi dalam
melemahkan harmonisasi manusia dan lingkungannya pada sejumlah subak.
Khususnya, budaya subak berkaitan erat dengan ritual, hanya efektif dalam
tataran ideologi. Masyarakat Bali menganut kepercayaan yang masih melekat
dengan konsep Tri Hita Karana (THK). Namun dalam tatarannya, konversi lahan
mengakibatkan implementasi sejumlah subak mulai terdegradasi, alih profesi,
ekonomi lemah, dan hilangnya minat generasi muda untuk melanjutkannya.
Pemenuhan kebutuhan hidup yang dialami masyarakat mulai dihadapkan pada
masalah ekonomi yang kurang baik.
Perubahan ekologi pada masyarakat Sarbagita dinilai akan mengancam
konsep keseimbangan antara manusia dan alamnya yang dikenal dengan
keseimbangan Buana Agung (bumi) dan Buana Alit (manusia). Perubahan ekologi
peradaban subak mencakup alih fungsi lahan, kawasan sumber resapan dan
pengelolaan pertanian yang tidak ramah lingkungan. Terjadinya alih fungsi lahan
yang meningkat didorong oleh perilaku hedoisme masyarakat yang relatif tinggi.
Pada tahun 2013 Bali memiliki lahan sawah sekitar 81,165 ha dari total luasan
penggunaan lahan. Pada tahun 2016 lahan sawah yang dimiliki Bali berkurang
menjadi 79,526 ha. Pada tahun 2013 sampai dengan tahun 2016 terjadi alih fungsi
lahan sawah di Bali seluas 1,639 ha atau sebesar 2.02 persen (BPS Bali 2016).
Kepercayaan mengenai adanya kayu larangan yang merupakan sumber resapan
dan pencegahan erosi juga mulai berkurang.
Permasalahan lain yang terjadi adalah adanya alih profesi dari bidang
pertanian ke bidang pariwisata. Berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional
(Sakernas), pada tahun 2013 dan 2016 penduduk Bali yang bekerja di bidang
pertanian berjumlah sebesar 547,750 dan 506,251, sedangkan penduduk Bali yang
bekerja di bidang pariwisata sebesar 616,610 dan 728,757. Terjadinya penurunan
pada sektor pertanian berjumlah 7.6 persen, sementara sektor pariwisata
mengalami peningkatan sebesar 18.2 persen (BPS 2017). Penurunan tersebut
disebabkan pekerjaan pertanian yang dilakukan merupakan pekerjaan tambahan
serta kurangnya minat generasi muda untuk bekerja di bidang pertanian.
Penelitian ini penting untuk dilakukan karena subak mempunyai peran
sebagai cagar budaya masyarakat Bali dan sebagai konservasi lingkungan.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk menyinergikan kearifan subak dengan
pengembangan ekowisata. Perubahan dan kemajuan pariwisata diyakini
memberikan pengaruh dan kontribusi yang baik. Namun melalui peraturan daerah,
perlu dipertimbangkan upaya peningkatan ekonomi masyarakat yang tetap
mengacu pada upaya keberlanjutan. Beberapa aspek penting bagi pariwisata di
antaranya berkaitan dengan perjalanan wisata, lingkungan alam, keterlibatan
masyarakat lokal, budaya lokal, dan kelestarian lingkungan. Tujuan penelitian ini
adalah (1) menganalisis eksistensi peran kearifan lokal subak dalam pelestarian
lingkungan di Sarbagita Bali; (2) menganalisis status keberlanjutan subak di
kawasan Sarbagita ditinjau dari enam dimensi keberlanjutan pembangunan, (3)
membangun model dinamik pengelolaan subak yang berkelanjutan di kawasan
Sarbagita Bali, dan (4) menyusun arah strategi kebijakan pengembangan subak
yang berkelanjutan berbasis wisata peradaban ekologi (eco cultur tourism) di
kawasan Sarbagita Bali.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) analisis deskriptif
yang digunakan untuk mengukur eksistensi dan efektivitas peradaban subak di
Sarbagita, (2) analisis Multi Dimensional Scaling yang digunakan untuk
mengetahui status keberlanjutan peradaban subak di Sarbagita, (3) pendekatan
sistem dinamis yang digunakan untuk membuat model pengelolaan peradaban
subak yang berkelanjutan, dan (4) analisis AWOT (AHP-SWOT) yang digunakan
untuk membuat strategi pengembangan peradaban subak sebagai wisata
peradaban ekologi (eco culture tourism).
Hasil analisis menunjukkan bahwa budaya subak masih terus berkembang
dan kuat pada tataran superstruktur. Namun, khususnya pada daerah perkotaan
mulai terjadi pelemahan pada tataran implementasi. Pelaksanaan dan pelestarian
masyarakat Sarbagita didasarkan tiga komponen yang diteliti efektif, bahkan
untuk komponen superstruktur, masuk kedalam kategori sangat efektif dengan
nilai efektivitas mencapai 83.84 persen. Dengan demikian, perlu dipertahankan
komponen superstruktur yang menjadi benteng peradaban di Sarbagita.
Komponen struktur sosial dan infrastruktur mempunyai nilai cukup rendah yaitu
59.55 persen dan 50.32 persen yang termasuk dalam kategori efektif, tetapi berada
pada titik kritis. Perbaikan perlu dilakukan pada tataran struktur sosial dan
infrastruktur agar ketiga komponen peradaban subak dapat berjalan efektif.
Peradaban subak Sarbagita secara umum berkelanjutan lemah pada setiap dimensi.
Dimensi sosial budaya memiliki nilai relatif tinggi dengan nilai keberlanjutan
mencapai 55.92 persen. Di sisi lain, dimensi ekonomi dan ekologi masih rendah
dengan nilai keberlanjutan sebesar 50.61 persen dan 52.78 persen.
Terdapat empat sub-modal pada model pengelolaan subak Sarbagita, yaitu
modal sosial, modal lingkungan, modal ekonomi, dan modal budaya. Simulasi
pada setiap model untuk keberlanjutan peradaban subak Bali dilakukan pada
model sosial dengan cara menghambat atau mengontrol laju pertumbuhan agar
luas pemukiman dapat terkontrol pada model lingkungan. Dampak yang terjadi
pada lahan sawah dapat ditekan pada pemukiman sehingga luas sawah dapat
dikendalikan, bahkan dapat bertambah luasnya. Luas sawah yang tetap terjaga
akan menghasilkan produksi padi. Peran peradaban subak dapat mendukung
penyelamatan budaya subak yang berkelanjutan dengan penguatan ekonomi di
bidang pariwisata. Intervensi perlu dilakukan terhadap kebijakan pemerintah
melalui regulasi, peran swasta, masyarakat, dan peran subak sebagai subjek.
Peradaban subak Sarbagita sebagai eco culture tourism memanfaatkan kekuatan
sistem religi yang masih dipegang oleh masyarakat Bali. Selain itu, penyerapan
tenaga kerja menjadi faktor penting terkait kebutuhan kehidupan dan peningkatan
perekonomian masyarakat Bali. Hal tersebut merupakan salah satu solusi yang
dapat diimplementasikan untuk menyinergikan pertanian dan pariwisata dengan
menerapkan eco culture tourism.