Analisis Efisiensi, Preferensi Risiko dan Keberlanjutan Usaha Budidaya Pembesaran Lobster di Pulau Lombok, Provinsi Nusa Tenggara Barat
View/ Open
Date
2019Author
Susanti, Ervin Nora
Oktaviani, Rina
Hartoyo, Sri
Proyarsono, Savio Dominicus
Metadata
Show full item recordAbstract
Salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan
potensial untuk dikembangkan di Indonesia adalah lobster. Pulau Lombok
merupakan salah satu daerah penghasil lobster yang memiliki potensi besar untuk
dikembangkan. Namun demikian, produktivitas budidaya pembesaran lobster di
Pulau Lombok masih rendah karena faktor manajemen. Sehingga diperlukan
upaya peningkatan produktivitas dan efisiensi untuk pengembangan budidaya
pembesaran lobster yang berkelanjutan.
Keberhasilan usaha pembesaran lobster yang berkelanjutan dipengaruhi
oleh keterlibatan beberapa pihak termasuk pembudidaya lobster. Pembudidaya
merupakan subjek yang terlibat langsung dalam pelaksanaan konsep
pembangunan pertanian berkelanjutan di lapangan. Persepsi pembudidaya
terhadap keberlanjutan usaha sangat penting dan bisa menjadi tolok ukur
keberhasilan konsep pertanian berkelanjutan di tingkat usahatani. Peningkatan
produktivitas usaha budidaya pembesaran lobster juga terkait dengan kemampuan
pembudidaya dalam mengelola kegiatan usaha. Apabila pembudidaya memiliki
persepsi yang baik terhadap keberlanjutan, maka pada akhirnya akan membantu
pemerintah dalam implementasi di lapangan dengan jalan melakukan pengelolaan
usaha dengan baik.
Budidaya lobster merupakan salah satu usaha yang memiliki risiko produksi
akibat pengaruh iklim, cuaca, kondisi perairan, ketersediaan pakan dan
kemungkinan serangan penyakit. Adanya risiko produksi akan mendapatkan
respon dari pembudidaya berupa preferensi terhadap risiko produksi, yang akan
memengaruhi keputusan pembudidaya dalam pengalokasian input produksi.
Karenanya sangat penting untuk menganalisis preferensi risiko produksi
pembudidaya lobster.
Berkenaan dengan produktivitas, efisiensi teknis, persepsi petani terhadap
keberlanjutan usaha dan preferensi risiko produksi tersebut maka penelitian ini
bertujuan untuk: (1) Mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi produksi
usaha pembesaran lobster, (2) Menganalisis indikator tingkat keberlanjutan usaha
berdasarkan persepsi pembudidaya lobster, (3) Menganalisis tingkat efisiensi dan
mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi inefisiensi teknis pada usaha
pembesaran lobster dengan memperhitungkan indikator keberlanjutan usaha, (4)
Menganalisis preferensi pembudidaya lobster terhadap risiko produksi.
Data primer diambil melalui survei terhadap 106 rumah tangga
pembudidaya lobster. Responden dipilih dengan menggunakan teknik sampling
snowball karena jumlah populasi secara pasti sulit untuk diketahui. Penelitian
dilakukan di Desa Jerowaru dan Desa Pare Mas Kecamatan Jerowaru Kabupaten
Lombok Timur. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan
pertimbangan bahwa lokasi terpilih merupakan sentra usaha budidaya lobster yang
masih berjalan di Pulau Lombok. Dalam penelitian ini digunakan model yang
dikembangkan oleh Kumbhakar (2002) untuk menganalisis efisiensi teknis, risiko
produksi, dan preferensi risiko petani. Penyebab inefisiensi teknis dianalisis
dengan menggunakan model efek inefisiensi teknis yang dikembangkan Battase
dan Coelli (1995). Untuk menganalisis indikator tingkat keberlanjutan usaha maka
data skala likert yang merupakan skala ordinal ditransformasikan ke dalam skala
interval menggunakan pendekatan Method of Succesive Interval (MSI).
Hasil analisis menunjukkan bahwa input produksi yang memiliki pengaruh
signifikan adalah jumlah benih, pakan dan lama waktu budidaya. Nilai indeks
persepsi keberlanjutan untuk dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan masingmasing
masuk pada katagori keberlanjutan “sedang” dengan nilai rata-rata adalah
0.58, 0.56 dan 0.54. Indeks gabungan yang merupakan interaksi antara ketiga
dimensi memiliki nilai rata-rata 0.56 juga masuk pada katagori “sedang”. Ratarata
pembudidaya efisien secara teknis dengan tingkat efisiensi teknis sebesar
0.89 (lobster pasir) dan 0.93 (lobster mutiara). Faktor yang memengaruhi
inefisiensi teknis adalah umur, pengalaman, pendidikan dan persepsi
pembudidaya terhadap keberlanjutan usaha pembesaran lobster. Meskipun secara
teknis sudah efisien, namun secara alokatif dan ekonomi usaha pembesaran
lobster masih belum efisien. Tingkat efisiensi alokatif adalah 0.61 (lobster pasir)
dan 0.59 (lobster mutiara), sedangkan efisiensi ekonomi berturut – turut sebesar
0.54 dan 0.55.
Preferensi risiko pembudidaya lobster di Pulau Lombok terhadap risiko
produksi adalah risk averse. Preferensi terhadap penggunaan input benih dan
pakan adalah risk taker, yang berarti bahwa pembudidaya berani mengambil
risiko mengalokasikan penggunakan input benih dan pakan dalam jumlah yang
lebih besar untuk meningkatkan produksi. Sedangkan preferensi risiko terhadap
penggunaan input tenaga kerja dan lama waktu produksi adalah risk averse.
Memanen lobster lebih cepat dibawah ukuran lobster dewasa adalah bukti
perilaku risk averse petani lobster. Belum adanya teknologi untuk menangani
penyakit yang mungkin menyerang lobster menyebabkan pembudidaya takut pada
risiko kematian atau penurunan kualitas jika waktu panen ditunda lebih lama.
Implikasi kebijakan untuk mendorong pembudidaya berani mengambil
risiko adalah dengan peningkatan teknologi terkait dengan penanganan penyakit
pada lobster. Pemerintah perlu meningkatkan peran penyuluh untuk memberikan
pengarahan dan pendampingan dalam mengatasi masalah penyakit lobster.
Teknologi pemberian pakan lobster yang tepat juga perlu ditingkatkan, hal ini
untuk meminimalisir risiko timbulnya penyakit yang diakibatkan oleh munculnya
bakteri dari pembusukan sisa pakan lobster. Sistem integrasi budidaya lobster
dengan hewan lain yang memiliki tingkatan lebih rendah seperti abalon juga bisa
menjadi alternatif untuk mengurangi risiko produksi. Diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengkaji bionomi usaha penangkapan benih lobster, menentukan
kuota penangkapan yang bisa menjaga potensi lestari benih di alam sehingga
usaha budidaya terus berkelanjutan.