Kelas dan potensi konflik nelayan di kota kupang (Studi kasus pada kalangan nelayan di Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur).
View/ Open
Date
2019Author
Sitepu, Petrus
Mudikdjo, Kooswardhono
Miraza, Bachtiar Hasan
Tarigan, Mena Uly
Metadata
Show full item recordAbstract
Tujuan penelitian yang ingin diperoleh dalam penelitian ini adalah: (1) Mengetahui bagaimana formasi kelas nelayan. (2) Mengetahui Potensi konflik nelayan. (3) Pengelolaan konflik nelayan. Penelitian dilakukan di nelayan Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, selama 7 bulan dari Agustus 2018-Maret 2019. Perubahan teknologi penangkapan yang terus terjadi setiap tahun lambat laun mengakibatkan perubahan pada sebagian besar masyarakat nelayan. Perubahan alat penangkapan dan armada penangkapan yang lebih modern berdampak posetif dan negatif. Dampak posetif ialah perubahan tersebut terbukti menjadikan pekerjaan nelayan lebih efektif dan efisien dalam menangkap. Nelayan dapat melaut sampai wilayah yang lebih jauh sehingga mendapatkan hasil yang memuaskan. Dampak negatif ialah perubahan yang terjadi memunculkan permasalahan baru pada masyarakat nelayan misalnya hanya nelayan pemilik modal yang mampu mengakses teknologi penangkapan modern sedangkan nelayan yang tidak memiliki modal untuk mengakses teknologi penangkapan modern tetap berada pada pada kelas bawah dan semakin termarjinalkan.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa awalnya nelayan Kecamatan Kelapa Lima menangkap menggunakan alat tangkap tradisional seperti perahu layar, perahu dayung, bubu dan bagan tanam. Relasi kerja nelayan pada masa itu bersifat kekeluargaan meskipun sudah terdapat klasifikasi kepemilikan alat tangkap dan armada penangkapan. Dalam proses penangkapan dilakukan secara bersamaan dan tidak terbentuk pola kerja yang bersifat eksploitasi. Pola pembagian hasil dilakukan secara merata sehingga tidak ada yang merasa dirugikan. Kehidupan sosial masyarakat nelayan sangat jauh dari sifat individualis baik masyarakat Bugis maupun masyarakat lokal, mereka hidup dalam satu komunitas yang memiliki rasa solidaritas tinggi dan rasa persaudaraan kuat. Seiring berjalannya waktu semakin bertambahnya nelayan membuat persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya laut semakin kuat. Hal ini memotifasi nelayan memodifikasi alat tangkap yang lebih modern untuk menangkap di wilayah yang lebih jauh. Dengan perubahan alat tangkap yang lebih modern membuat sistem kerja sangat berbeda dengan dari sebelumnya. Penggunaan alat tangkap yang modern membuat pola hubungan kerja yang terorganisir dengan baik dan perekrutan tenaga kerja yang lebih selektif dimana buruh nelayan tidak hanya memiliki fisik yang kuat tetapi memiliki keterampilan dan keahlian dalam mengoperasikan perahu. Penggunaan teknologi yang modern berpengaruh juga pada sistem pembagian hasil yang memperlihatkan eksploitasi karena hasil yang diterima buruh tidak sesuai dengan beban kerja mereka.
Perubahan teknologi penangkapan berdampak pada perubahan struktur social dan terbentuknya kelas nelayan yang terbagi menjadi 4 kelas yakni, buruh nelayan, nelayan kecil, nekayan menengah dan nelayan besar.. Penggunaan armada penangkapan modern membutuhkan modal yang sangat besar, tenaga kerja yang memiliki keahlian dan skil khusus dalam penangkapan. Hal ini membuat kelompok nelayan yang memiliki modal besar berada pada struktur social nelayan paling atas, begitupun bagi nelayan yang memiliki skill dan keahlian akan menempati posisi khusus dalam struktur sosial komunitas nelayan. Penelitian ini juga mengungkapkan bahwa dengan adanya perubahan alat penangkapan pada nelayan Kecamatan Kelapa Lima, pola hubungan produksi nelayan berubah menjadi hubungan yang cenderung bersifat eksploitasi terhadap nelayan kecil di Kelapa lima.
Adapun potensi konflik yang mengemuka yakni, pertama potensi konflik yang dipicu oleh hubungan produksi antara nelayan dan pemilik armada karena relasi kerja dan sistem bagi hasil yang bersifat eksploitasi dan hubungan antara nelayan dan papalele karena penentuan harga secara sepihak oleh papalele. Kedua, potensi konflik yang dipicu oleh cara produksi dan penggunaan alat penangkapan antara bagan apung dan bagan tanam. Penempatan bagan apung yang berdekatan dengan bagan tanam membuat hasil tangkapan bagan tanam berkurang dan nelayan pembom ikan yang dianggap merusak ekosistem laut. ketiga potensi konflik yang dipicu oleh tumpang tindih wilayah penangkapan antara nelayan purse seine dan nelayan pukat. Beroperasinya nelayan purse seine pada zonasi 3 mill membuat hasil tangkapan nelayan pukat berkurang dan menabrak pukat nelayan kecil. Untuk mengatasi konflik yang terjadi dibutuhkan peran dari pihak-pihak yang memiliki otoritas seperti pemerintah, tokoh agama, pemilik armada yang dapat berperan sebagai mediator.
Collections
- MT - Human Ecology [2189]