Penggerombolan Provinsi di Indonesia Berdasarkan Indikator Pelayanan Kesehatan Tahun 2015 dengan Metode K-Means, Fuzzy CMeans, dan Fuzzy C-Shell.
Abstract
Indikator pelayanan kesehatan terdiri dari sarana kesehatan, tenaga
kesehatan, dan pembiayaan kesehatan. Indikator ini sangat mempengaruhi derajat
kesehatan suatu negara. Akan tetapi, nilai indikator tersebut belum tersebar secara
merata di seluruh wilayah Indonesia khususnya di wilayah terpencil. Oleh karena
itu, pengelompokan provinsi di Indonesia perlu dilakukan agar terlihat kelompok
provinsi yang belum memiliki pelayanan kesehatan yang cukup. Pada analisis
peubah ganda salah satu metode pengelompokan yang sering digunakan adalah
analisis gerombol. Salah satu metode analisis ini adalah K-Means, yang
menggelompokkan objek menjadi anggota gerombol tertentu dan tidak menjadi
anggota gerombol yang lainnya. Metode ini dikenal dengan hard clustering.
Pendekatan lain dalam melakukan penggerombolan didasarkan pada teori
himpunan fuzzy yang dikenal dengan penggerombolan fuzzy. Pada
penggerombolan ini setiap elemen berpeluang untuk menjadi anggota pada setiap
gerombol, seperti Fuzzy C-Means (FCM) dan Fuzzy C-Shell (FCS). Kedua metode
ini berbeda dalam algoritmanya, FCM dicirikan oleh pusat gerombol, sedangkan
FCS dicirikan oleh pusat gerombol dan jari-jari. Oleh sebab itu, tujuan penelitian
ini adalah membandingkan hasil penggerombolan dengan metode K-Means, FCM,
dan FCS pada kasus penggerombolan provinsi di Indonesia berdasarkan indikator
pelayanan kesehatan tahun 2015.
Data yang digunakan merupakan data sekunder diambil dari profil
kesehatan Indonesia 2015, bersumber dari hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional
(Susenas). Peubah yang digunakan adalah rasio puskesmas per 30.000 penduduk,
rasio rumah sakit per 100.000 penduduk, rasio dokter per puskesmas, rasio
perawat per puskesmas, rasio bidan per puskesmas, rasio lima jenis tenaga
kesehatan promotif dan preventif per puskesmas, rasio dokter umum per 100.000
penduduk, rasio dokter gigi per 100.000 penduduk, rasio tenaga kesehatan
masyarakat per 100.000 penduduk, rasio tenaga kesehatan lingkungan per 100.000
penduduk, persentase realisasi dana dekonsentrasi kesehatan terhadap pagu RKAKL
DIPA, persentase realisasi dana tugas pembantuan kesehatan terhadap pagu
RKA-KL DIPA, dan persentase realisasi dana kesehatan terhadap APBD. Pada
penelitian ini Provinsi DKI Jakarta tidak dimasukkan kedalam analisis
penggerombolan. Hal ini dikarenakan sebagian besar data pada setiap peubah dari
Provinsi DKI Jakarta tidak dilaporkan secara lengkap.
Hasil analisis gerombol menunjukkan bahwa provinsi di Indonesia
dikelompokkan menjadi lima gerombol. Banyaknya gerombol tersebut
berdasarkan kriteria gerombol optimum yang diberikan oleh rata-rata indeks
validitas Xie Beni (XB) pada metode FCM dan FCS. Metode FCM menghasilkan
rata-rata indeks XB minimum sebesar 0.013 dan metode FCS sebesar 0.00019.
Terdapat perbedaan anggota gerombol dari setiap metode. Perbedaan anggota
gerombol yang dihasilkan metode FCM dan metode K-Means adalah sebesar
9.09%. Sedangkan metode FCS dan K-Means adalah sebesar 60.6%. Pada kasus
ini metode penggerombolan menggunakan derajat keanggotaan memberikan hasil
yang lebih baik dibandingkan metode K-Means. Metode FCM memberikan hasil
yang lebih baik dalam menggelompokkan provinsi di Indonesia berdasarkan
indikator pelayanan kesehatan tahun 2015, dengan rasio simpangan baku dalam
dan antar gerombol terkecil, yaitu sebesar 1.248. Gerombol 1 terdiri dari tujuh
provinsi, yaitu Aceh, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,
Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua. Gerombol 1 mencirikan indikator sarana
kesehatan yang tinggi. Selanjutnya, sebagian peubah indikator tenaga kesehatan
dan pembiayaan kesehatan tergolong tinggi. Gerombol 2 beranggotakan sembilan
provinsi, yaitu Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, NTT, Kalimantan
Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Gerombol 2 memiliki
karakteristik dominan pada indikator pembiayaan kesehatan yang tinggi.
Selanjutnya, gerombol ini mencirikan sebagian peubah indikator sarana kesehatan
dan tenaga kesehatan tergolong tinggi setelah gerombol 1.
Gerombol 3 terdiri dari lima provinsi, yaitu Kep. Bangka Belitung, Kep.
Riau, Bali, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Barat. Gerombol 3 mempunyai
karakteristik paling dominan pada peubah rasio dokter per puskesmas, rasio lima
jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif per puskesmas, dan rasio dokter
gigi per 100.000 penduduk yang tergolong tingggi. Akan tetapi, peubah pada
indikator pembiayaan kesehatan tergolong rendah. Gerombol 4 beranggotakan
sembilan provinsi, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jawa Tengah, DI
Yogyakarta, Banten, NTB, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur. Provinsi
tersebut memiliki persamaan karakteristik pada peubah rasio dokter per
puskesmas, rasio lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif per
puskesmas, dan rasio dokter gigi per 100.000 penduduk yang tergolong tingggi
setelah gerombol 3.
Gerombol 5 terdiri dari tiga provinsi, yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, dan
Maluku. Gerombol 5 dicirikan oleh peubah rasio dokter per puskesmas dan rasio
lima jenis tenaga kesehatan promotif dan preventif per puskesmas tergolong
rendah. Selanjutnya, peubah pada indikator pembiayaan kesehatan terendah
dibanding gerombol lain, kecuali persentase realisasi dana tugas pembantu
kesehatan terhadap pagu RKA-KL DIPA.