Pengembangan Kelembagaan Kepariwisataan Lanskap Perdesaan di Desa Tarumajaya, Kecamatan Kertasari, Kabupaten Bandung
Date
2022-02-04Author
Nurysyifa, farhana
Kaswanto
Kartodihardjo, Hariadi
Metadata
Show full item recordAbstract
Sejak era pemerintahan Hindia Belanda hingga saat ini, lanskap perdesaan di pegunungan Bandung Selatan masih mengalami masalah erosi tanah, marginalisasi spasial, eksklusi, dan kemiskinan. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya erosi di Desa Tarumajaya. Permasalahan erosi yang menginisiasi berbagai program rehabilitasi DAS telah dilakukan oleh berbagai instansi, termasuk program Citarum harum yang awalnya mengedepankan program penanaman kopi untuk menanggulangi erosi dan memperbaiki perekonomian masyarakat desa. Fokus desa saat ini mulai berubah sejak adanya ketetapan dari Disparbud yang menyatakan bahwa Desa Tarumajaya akan menjadi salah satu target pengembangan kepariwisataan. Hal ini juga menunjukkan adanya pergeseran dan kontestasi diskursus yang terjadi pada antaraktor untuk bisa mendapat akses terhadap lahan melalui narasi wisata lanskap perdesaan. Kesempatan ini tentu dimanfaatkan oleh petinggi desa maupun penggiat desa untuk mengembangkan wisata secara mandiri agar masyarakat desa mendapat manfaat ekonomi secara adil. Penggiat desapun berencana untuk mengembangkan konsep wisata lanskap perdesaan yang berbasis lingkungan untuk mendukung tujuan negara memulihkan hulu DAS Citarum. Hal ini menjadi salah satu cara agar masyarakat tidak hanya mengandalkan hidupnya dari aktivitas pertanian konvensional. Kebijakan yang baru tersebut kian memperbanyak aktor dari luar desa untuk terlibat dalam pengembangan kepariwisataan. Namun disisi lain, tuntutan masyarakat selama ini akan akses lahan ternyata kian dipermudah seiring dengan berkembangnya rencana pengembangan kepariwisataan. Penelitian mengacu pada Critical Institutional Analysis Development (CIAD) Framework yang dikembangkan oleh Whaley (2018) untuk bisa melihat permasalahan secara komprehensif sehingga pengembangan alokasi maupun penyediaan kewisataan dapat dilakukan secara lebih adil dan berdampak terhadap rehabilitasi lahan. Selain itu, untuk memastikan outcome sesuai dengan tujuan pengembangan kepariwisataan yang berkelanjutan dan berkeadian, konsep collective action dapat digunakan. Atraksi wisata, yang terbagi dalam beberapa sektor bisnis wisata lanskap perdesaan, namun saling mempengaruhi satu sama lain dalam program paket wisata desa, dikoordinasikan secara terpusat oleh BUMDes dan sistem bagi hasil mengadopsi prinsip wirakoperasi. Sehingga, anggota tidak hanya berperan sebagai pekerja yang berfokus pada keuntungan, tetapi juga berperan sebagai pemilik. Since the Dutch East Indies administration to date, the upland agriculture of South Bandung has long been associated with soil erosion, spatial marginalization, exclusion, and poverty. This is the cause of erosion in Tarumajaya Village. The problem of erosion that initiated various watershed rehabilitation programs have been carried out by various agencies, including the Citarum Fragrant program which initially prioritized the coffee planting program to reduce erosion and improve the economy of rural communities. However, the focus of the village is currently starting to change since the decision from the Disparbud stating that Tarumajaya Village will be one of the targets for tourism development. This also shows that there is a shift and contestation of discourse that occurs between actors to be able to gain access to land through rural landscape tourism narratives. This opportunity is certainly used by village officials and village activists to develop tourism independently so that village communities can get economic benefits fairly. Village activists also plan to develop an environmentally-based rural landscape tourism concept to support the state's goal of restoring the upper Citarum watershed. This is one way so that people do not only rely on their lives from conventional agricultural activities. The new policy will increase the number of actors from outside the village to be involved in tourism development. But on the other hand, the community's demands for land access have been made easier along with the development of tourism development plans. The research refers to the Critical Institutional Analysis Development (CIAD) Framework developed by Whaley (2018) to be able to see the problem comprehensively so that the development of allocation and provision of tourism could be more fairly and has an impact on land rehabilitation. Besides, to ensure outcomes are in line with the objectives of sustainable and equitable tourism development, the concept of collective action can be used. Tourist attractions, which are divided into several rural landscape tourism business sectors, but influence each other in the village tour package program, are coordinated centrally by BUMDes and the profit-sharing system adopts the principle of entrepreneurship. Thus, members not only as profit- focused workers, but also as owners
Collections
- MT - Agriculture [3682]