Ketahanan Nasional dan Resiliensi Iklim
View/Open
Date
2019Author
Subiyanto, Adi
Boer, Rizaldi
Aldrian, Edvin
Perdinan
Kinseng, Rilus
Metadata
Show full item recordAbstract
Fenomena perubahan iklim telah diakui sebagai fenomena global yang
mengancam kehidupan manusia dan menyebabkan kondisi lingkungan yang
semakin memburuk. Penanganan perubahan iklim harus ditempatkan sebagai
agenda penting yang harus direspon dalam mewujudkan masyarakat yang lebih
tangguh (community resilience). Oleh karena itu, penelitian terkait resiliensi iklim
menjadi topik menarik untuk dilakukan. Sampai saat ini belum ada konsensus
tentang bagaimana mengukur resiliensi iklim sehingga tetap menjadi tantangan
tersendiri bagi peneliti. Perubahan fokus penelitian dari kerentanan maupun risiko
ke resiliensi lebih didasari oleh makna resiliensi yang mengusung narasi positif
sehingga bisa diintegrasikan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan. Dalam
penelitian ini digali berbagai konsep dan teori sehingga menghasilkan metode
yang dapat diterapkan untuk mengukur resiliensi iklim.
Tujuan penelitian ini adalah (i) menganalisis isu perubahan iklim dalam
konteks ketahanan nasional (Tannas), (ii) mengembangkan metode pengukuran
indeks resiliensi iklim berdasarkan konektivitas faktor pembentuk kerentanan dan
risiko berdasarkan perubahan konsep IPCC (AR4 ke AR5), dan (iii) mengukur
indeks resiliensi iklim berdasarkan metode yang dikembangkan dan indeks risiko
iklim yang diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi pada level provinsi.
Manfaat utama dari penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam
menentukan prioritas provinsi untuk dibangun dan menjadi rujukan dalam
mempelajari faktor-faktor yang melemahkan resiliensi iklim pada tiap-tiap
provinsi.
Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kualitatif dan
kuantitatif dengan penekanan pada deskriptif-eksploratif, sehingga bahaya dari
perubahan iklim tidak dibahas secara detil namun ditunjukkan melalui indeks
risiko iklim yang terjadi di tiap-tiap provinsi. Penelitian ini lebih difokuskan pada
pengembangan metode pengukuran indeks resiliensi iklim berdasarkan
konektivitas antara faktor kerentanan (AR4), risiko/dampak (AR5) dan konsep
resiliensi. Isu perubahan iklim terhadap Tannas juga menjadi salah satu bahasan
penting, terlebih lagi adanya kemiripan dari sisi konsep dan faktor-faktor yang
mempengaruhi Tannas dan resiliensi.
Dalam perpektif Tannas, perubahan iklim (PI) dapat digolongkan sebagai
gangguan/ancaman. Kondisi resiliensi provinsi dapat menjadi gambaran secara
nasional tentang ketangguhannya dalam menghadapi berbagai gangguan dan
ancaman. Ancaman PI sering dikaitkan sebagai pemicu terjadinya konflik atau
kekerasan di beberapa negara. Namun, menyimpulkan bahwa PI sebagai penyebab
terjadinya konflik hanya akan menghilangkan tanggung jawab pemerintahan
setempat dalam mengelola negara. Konflik yang terjadi lebih disebabkan oleh
kemerosotan ekonomi dan tata pemerintahan yang buruk. Di sisi lain, dampak
langsung maupun tidak langsung dari PI adalah memicu terjadinya kelangkaan
kebutuhan dasar hidup (basic needs), terutama air dan makanan.
Konsep resiliensi dapat diaplikasikan melalui konektivitas faktor pembentuk
kerentanan dan risiko sehingga mampu menghasilkan formulasi pengukuran
indeks resiliensi iklim (RI). Untuk menghasilkan RI, diukur berdasarkan bobot
dan skala masing-masing indikator. Hasil pengukuran RI pada 2010 dan 2018
menunjukkan peningkatan rata-rata sebesar 0,436 dan tiga provinsi yang memiliki
nilai RI tinggi yaitu: DKI Jakarta, Kep. Bangka Belitung, dan Bali. Besarnya
kenaikan RI tersebut, selain menunjukkan kemampuannya untuk pulih kembali
(bounce back) terhadap ancaman perubahan iklim dan bahaya hidrometeorologi,
dapat digunakan sebagai indikator kemajuan pembangunan provinsi. Kenaikan
tertinggi dicapai oleh Sulawesi Selatan sebesar 0,764 sedangkan terendah adalah
Papua yang hanya naik sebesar 0,041.
Sementara itu, indeks risiko iklim (CRI) dapat digunakan sebagai indikator
besarnya risiko iklim di suatu provinsi. Metode perankingan dan analisis klaster
digunakan sebagai dasar dalam memetakan tinggi rendahnya risiko dan kapasitas
adaptasi. Terdapat tiga provinsi yang memiliki risiko iklim tinggi yaitu Jawa
Tengah, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat. Demikian juga dengan
kapasitas adaptasi (AC), tiga provinsi yang mampu meningkatkan indeks AC
tahun 2010 ke 2018 yang tertinggi adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur,
dan Kep. Bangka Belitung. Selanjutnya, berdasarkan analisis trend bencana
hidrometeorologi menunjukkan bahwa banjir, tanah longsor, dan puting beliung
akan semakin sering terjadi di masa depan.