Model Pengelolaan Sagu (Metroxylon sp.) Berkelanjutan di Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau
View/Open
Date
2019Author
Murod, Mamun
Kusmana, Cecep
Bintoro, Mochamad Hasjim
Widiatmaka
Hilmi, Endang
Metadata
Show full item recordAbstract
Pangan merupakan kebutuhan yang kuantitas, kualitas maupun
kontinuitasnya harus tersedia setiap saat. Kebutuhan pangan semakin meningkat
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Ketersedian pangan terutama beras
semakin berkurang karena alih fungsi lahan sawah dan menurunnya produktivitas.
Kebutuhan pangan yang melebihi ketersediannya akan menimbulkan krisis pangan,
sehingga diperlukan diversifikasi pangan terutama di wilayah penghasil bahan
pangan non beras, misalnya sagu. Sagu tumbuh di Kabupaten Kepulauan Meranti,
namun karena masih ditemukan permasalahan ekologi, ekonomi dan sosial, maka
perlu pengelolaan secara berkelanjutan.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik kesesuaian lahan
sagu, menganalisis status berkelanjutan, menganalisis struktur kendala dan
menyusun model pengelolaan sagu yang berkelanjutan. Metode penelitian yang
dilakukan untuk menilai karakteristik lahan adalah dengan menggunakan analisis
laboratorium dan Arc Gis; keberlanjutan pengelolaan sagu diukur dengan Rapsago
yang merupakan modifikasi Rapfish menggunakan multidimensional scaling
(MDS); struktur kendala dianalisis dengan menggunakan interpretive structural
modeling (ISM); sedangkan untuk menyusun model pengelolaan sagu
berkelanjutan dilakukan permodelan dengan sistem dinamik.
Hasil penelitian karakteristik lahan melalui analisis laboratorium diperoleh
kelas kesesuaian lahan : sangat sesuai (S1) seluas 41 996 ha, cukup sesuai (S2)
seluas 25 335 ha, sesuai marjinal (S3) seluas 244 938 ha, dan tidak sesuai (N)
seluas 51 528 ha. Areal tanaman sagu saat ini seluas 53 494 ha, sedangkan potensi
pengembangannya seluas 24 440.12 ha.
Status keberlanjutan pengelolaan sagu masuk dalam kategori kurang
berkelanjutan dengan indeks berkisar 30.42 – 37.74, yang menunjukkan semua
dimensi perlu diperbaiki. Faktor pengungkit prioritas yang perlu diperbaiki pada
dimensi ekologi : luas lahan sagu, tata kelola air, salinitas, jarak tanam dan tingkat
pencemaran; dimensi ekonomi : stabilitas harga, sistem ijon, sumber modal,
ketersediaan, distribusi dan segmentasi pasar, produktivitas sagu; dimensi sosial
dan budaya : budaya pemanenan sagu, dan persentase penduduk di bawah garis
kemiskinan; bidang teknologi : pemanfaatan dan pengolahan limbah; pengolahan
produk turunan dan design kemasan; penggunaan teknologi pengolahan air;
dimensi kelembagaan : regulasi tata guna lahan, akses kelompok tani ke lembaga
keuangan; pola kemitraan dan pemantapan kelembagaan petani.
Analisis struktur kendala dengan menggunakan interpretive structural
modeling (ISM) menghasilkan 6 (enam) sub elemen penting. Sub elemen tersebut
merupakan kunci keberhasilan dalam pengelolaan sagu berkelanjutan. Sub elemen
kunci tersebut terdiri atas pemanfaatan dan pengolahan limbah, sistem ijon,
ketersediaan distribusi dan segmentasi pasar, tata kelola air, pengolahan produk
turunan dan design kemasan serta stabilitas harga.
Model pengelolaan sagu berkelanjutan menggunakan pendekatan sistem
dinamis diimplementasikan pada sub model lingkungan, sosial dan ekonomi.
Model tersebut menskenariokan (moderat dan optimis) dengan input terkontrol
berupa harga jual sagu, investasi industri, pemilihan lahan dan pemanfaatan produk
samping. Skenario tersebut diharapkan mampu menghasilkan rumusan strategi
untuk meningkatkan pendapatan petani, penyerapan tenaga kerja, pengembangan
industri hilir dan meminimalkan limbah.