Pengaruh Garis Pantai Berbentuk Teluk Terhadap Peningkatan Curah Hujan Pesisir di Benua Maritim Indonesia
View/Open
Date
2019Author
Alfahmi, Furqon
Boer, Rizaldi
Hidayat, Rahmat
Perdinan
Sopaheluwakan, Ardhasena
Metadata
Show full item recordAbstract
Benua Maritim Indonesia (BMI) memiliki panjang garis pantai terpanjang
kedua di dunia setelah Kanada, namun karakteristik curah hujan pesisir dan
pengaruh bentuk garis pantai terhadap distribusi curah hujan pesisir hingga saat
ini belum dipahami dengan jelas. Sebagai daerah dengan luas wilayah delapan
puluh persen berupa lautan, pengetahuan tentang curah hujan di pesisir sangat
penting untuk aktivitas perekonomian masyarakat pesisir khususnya perikanan
dan keselamatan transportasi laut. Terdapat 816 pelabuhan dengan jumlah
tangkapan ikan sekitar 30 juta ton per tahun yang selalu membutuhkan informasi
cuaca kelautan setiap harinya. Ketidakakuratan informasi cuaca kelautan akan
berdampak terhadap ketidaknyamanan, efisiensi dan bahkan keselamatan aktivitas
pelayaran pada umumnya dan nelayan tradisional yang berjuang mencari ikan di
tengah laut pada khususnya.
Ada tiga cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan akurasi prakiraan
cuaca yang dapat dilakukan oleh prakirawan. Pertama, dengan meningkatkan
jumlah stasiun pengamatan sehingga data yang tersedia mampu menangkap
fenomena cuaca sesuai dengan skala cuaca yang dibutuhkan. Kedua, dengan
mengembangkan model numerik yang lebih akurat, baik model analisis maupun
model prakiraan yang sesuai dengan kebutuhan (WRF dengan resolusi tinggi).
Ketiga, meningkatkan pemahaman prakirawan terhadap fenomena cuaca yang
pada umumnya terbentuk di wilayah tersebut. Meningkatkan jumlah pengamatan
cuaca di laut mempunyai keterbatasan dan kesulitan yang lebih jika dibandingkan
dengan pengamatan cuaca yang dilakukan di darat. Ketersediaan lahan, sumber
energi listrik, dan ketahanan alat menjadi kesulitan yang utama. Dalam penelitian
ini, penulis ingin berkontribusi dengan memberikan pemahaman tentang
karakteristik cuaca pesisir khususnya di wilayah teluk yang disajikan dalam
skematik pembentukan curah hujan pesisir. Skematik tersebut diharapkan dapat
dimanfaatkan prakirawan khususnya dibidang maritim sebagai salah satu panduan
dalam membuat prakiraan cuaca kelautan khususnya wilayah teluk.
Curah hujan pesisir dicirikan sebagai curah hujan intensitas lebat di sekitar
pesisir dengan pergerakan curah hujan yang dominan baik dari pesisir ke tengah
darat maupun dari pesisir ke tengah laut. Hasil analisis klimatologi curah hujan
berdasarkan data TRMM 3B42 selama 1998 – 2015 menunjukan bahwa distribusi
curah hujan pesisir sangat tergantung terhadap bentuk garis pantai. Intensitas
curah hujan akan meningkat di sekitar wilayah dengan garis pantai berbentuk
teluk (Teluk Manado, Teluk Tomini, Teluk Tolo, Teluk Bone, Teluk Berau dan
Teluk Cendrawasih) dan selat (Selat Malaka (Fujita et al. 2012)). Teluk
Cendrawasih merupakan teluk dengan intensitas curah hujan paling besar (16,5
mm per hari) dibandingkan dengan daerah teluk lainnya. Adanya pegunungan di
sekitar Teluk Cendrawasih yang lebih tinggi dari teluk–teluk lainnya
diindikasikan sebagai penyebab terbentuknya curah hujan yang cukup lebat di
wilayah Teluk Cendrawasih (Pegunungan Weyland 3750 m). Topografi yang
tinggi dapat membentuk curah hujan orografi yang cukup besar di sekitar
pegunungan. Pada malam hari, awan konvektif tersebut bergerak ke tengah teluk
dan berkontribusi terhadap peningkatan intensitas curah hujan di tengah teluk
dengan adanya merger cumulus. Pegunungan yang relatif tinggi juga dapat
meningkatkan intensitas angin darat sehingga konvergensi angin darat di tengah
teluk menjadi lebih besar.
Arah hadap teluk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
pembentukan variasi curah hujan bulanan. Pada teluk yang menghadap utara
(Teluk Cendrawasih), puncak curah hujan terjadi pada periode angin monsun asia
sedangkan pada teluk yang menghadap ke arah timur (Teluk Tolo dan Teluk
Tomini), puncak curah hujan bulanan terjadi pada periode angin monsun australia.
Pada angin monsun asia, angin bertiup dari Barat Laut-Utara, pegunungan di sisi
selatan Teluk Cendrawasih akan berperan sebagai blocking dari angin tersebut.
Angin monsun asia dipaksa naik ke area depan pegunungan sehingga terjadi
pendinginan adiabatik dan terbentuk hujan orografi. Hujan tersebut berpindah ke
tengah laut pada malam hari karena adanya pengaruh angin darat. Karena daerah
berbentuk teluk, maka curah hujan akan berkumpul di satu lokasi tengah teluk
membentuk merger cumulus. Mekanisme yang sama juga terjadi di Teluk Tolo
dan Teluk Tomini.
Hasil simulasi dari WRF-ARW menunjukkan perpindahan konvergensi
angin lapisan bawah mempunyai peranan besar dalam pembentukan variasi curah
hujan diurnal di pesisir. Pada siang hari, intrusi angin laut ke darat membentuk
daerah konvergensi di sekitar daerah pegunungan sehingga terbentuk curah hujan
lebat di wilayah darat. Menjelang malam hari, sistem konvergensi bergeser ke
daerah pesisir dan membentuk sistem curah hujan di wilayah pesisir. Pada malam
hari, angin darat mendorong daerah konvergensi tersebut lebih jauh ke tengah laut
sehingga terbentuk curah hujan yang cukup lebat di tengah laut. Penguatan
intensitas konvergensi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin darat serta
pertemuan awan-awan konvektif di tengah laut menyebabkan curah hujan malam
hari di teluk lebih besar dari wilayah sekitarnya. Pada pagi hari, meskipun angin
darat sudah melemah, daerah konvergensi masih terbentuk di wilayah laut karena
adanya cold pool flow dari peluruhan awan-awan konvektif pada malam hari
sebelumnya. Cold pool flow tersebut membentuk konvergensi dengan prevailing
wind sehingga terbentuk sel konvektif baru di sisi luar daerah konvektif
sebelumnya. Daerah konvergensi tersebut bergerak ke arah luar teluk menjauhi
wilayah pesisir hingga intensitas cold pool flow melemah. Sel konvektif yang
terbentuk pada umumnya berupa squall lines. Suhu cold pool lebih rendah 2 – 3
K dari suhu di lingkungan sekitarnya.
Perbedaan suhu udara wilayah darat dan laut pada saat terjadinya angin laut
dan angin darat maksimum mencapai 5°C. Infiltrasi angin laut ke wilayah daratan
mencapai 30 km di pesisir Teluk Cendrawasih dan 55 km di sekitar pesisir Teluk
Tolo. Perubahan angin darat dan angin laut juga merubah komposisi udara secara
vertikal di pesisir. Pada saat terjadi angin laut, uap air di wilayah pesisir terdorong
ke arah daratan sehingga kelembapan udara menjadi lebih kering dari rata-ratanya.
Perubahan kelembapan pada awalnya hanya terjadi di sekitar permukaan hingga
750 mb. Pada saat angin laut cukup kuat, penurunan kelembapan udara mencapai
ketinggian 150 mb. Pada malam hari, kelembapan udara di pesisir kembali naik
saat terjadi angin darat. Kondisi tersebut mendukung terbentuknya awan konvektif
pada malam hari.
Ketinggian LCL dan LFC mengalami penurunan (LCL: 400 m, LFC: 500
m) pada saat terjadi angin darat sehingga mendukung terbentuknya awan
konvektif pada malam hari. Ketinggian LCL dan LFC sangat berdampak terhadap
pembentukan awan-awan konvektif. Selisih ketinggian LCL dan LFC yang cukup
rendah dapat memicu terjadinya curah hujan lebat bahkan kejadian ekstrem.
Updraft yang terbentuk karena konvergensi angin darat dapat memicu
pembentukan awan jika ketinggian updraft tersebut mencapai ketinggian LCL.
Curah hujan dengan intensitas sedang-lebat terbentuk jika updraft mencapai
ketinggian LFC dan intensitas ringan jika mencapai ketinggian LCL. Convective
avaibility juga mengalami peningkatan energi pada malam hari yang dapat
mendorong terbentuknya ketidakstabilan atmosfer. Nilai CAPE pada malam hari
mencapai 2000 J/Kg dapat membentuk awan cumulonimbus.
Perbandingan hasil simulasi WRF-ARW dengan skenario tanpa topografi –
garis pantai (OCE) dengan model topografi yang representatif (TER)
menunjukkan bahwa pola variasi curah hujan diurnal model OCE tidak terbentuk.
Aktivitas konveksi dan sistem konvergensi juga tidak terbentuk. Hasil
perbandingan nilai curah hasil OCE dengan TER pada wilayah Teluk
Cendrawasih, nampak curah hujan karena adanya pengaruh bentuk garis pantai
lebih besar 6 mm per jam dibandingkan dengan simulasi tanpa garis pantai.
Secara umum, pembentukan curah hujan di pesisir teluk dapat terbagi
menjadi empat tahapan, pertama adalah pembentukan curah hujan yang kuat di
darat karena adanya angin laut yang cukup kuat, kedua adalah pergerakan curah
hujan ke pesisir karena pelemahan angin laut, ketiga adalah peningkatan curah
hujan di tengah teluk karena adanya angin darat, dan keempat adalah pergerakan
curah hujan ke sisi luar teluk karena adanya konvergensi dari cold pool flow.