Show simple item record

dc.contributor.advisorKoesmaryono, Yonny
dc.contributor.advisorFaqih, Akhmad
dc.contributor.advisorGunawan, Dodo
dc.contributor.authorSetiawan, Amsari Mudzakir
dc.date.accessioned2019-07-03T06:27:10Z
dc.date.available2019-07-03T06:27:10Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/98219
dc.description.abstractSistem Peringatan Dini Iklim (Climate Early Warning System) telah dibangun oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak tahun 2013. Salah satu tujuan dibangunnya sistem ini adalah untuk memberikan informasi awal terhadap potensi terjadinya kekeringan meteorologis di wilayah Indonesia. Informasi kekeringan ini menjadi penting terutama terkait dengan isu ketahanan pangan nasional. Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi padi nasional terbesar di luar pulau Jawa memiliki variabilitas iklim yang terpengaruh oleh kejadian anomali iklim global sehingga berpotensi mengalami kekeringan dan dapat mengancam produktivitas padi di wilayah ini. Sistem peringatan dini kekeringan di Indonesia masih berupa pemantauan dan analisis kejadian yang telah terjadi, sehingga perlu dikembangkan dan dilengkapi dengan informasi prediksi kekeringan yang akan terjadi. Kekeringan meteorologis (meteorological drought) dapat digunakan sebagai indikator awal terjadinya kekeringan pada tahapan berikutnya yaitu, kekeringan pertanian (agricultural drought) dan kekeringan hidrologis (hydrological drought). Analisis pengaruh kejadian anomali iklim global terhadap karakteristik kekeringan meteorologis di wilayah Sulawesi Selatan dilakukan untuk mengetahui potensi dampak kekeringan yang ditimbulkan. Analisis ini dilakukan menggunakan data berbeda yaitu data luaran penginderaan jauh, reanalysis dan pemantauan (monitoring) hasil pengamatan hujan dari jaringan observasi BMKG agar memperoleh gambaran komprehensif terkait karakteristik kekeringan di wilayah ini. Nilai Vegetation Health Index (VHI) dibawah rata-rata teramati dari awal tahun kejadian El Niño kuat, kecuali mulai teramati pada minggu ke-21 (Juni) saat kejadian El Niño tahun 1997. Terdapat karakteristik kekeringan meteorologis yang khas di bagian timur, barat, selatan dan utara Sulawesi Selatan berdasarkan nilai Average Drought Intensity (ADI) dan Consecutive Dry Days (CDD) dari data observasi hujan dan data blended observasi dengan luaran penginderaan jauh (Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station data atau CHIRPS). Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) terhadap curah hujan bulanan Indonesia dari The Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55) selama periode 30 tahun (1981 – 2010) menunjukkan terdapatnya pola hujan monsunal di bagian barat dan selatan, anti monsunal (lokal) di bagian timur, dan pola ekuatorial di bagian tengah dan utara Sulawesi Selatan. Analisis EOF terhadap CDD juga menunjukkan 3 pola dominan tersebut. Wilayah bagian barat dan selatan umumnya memiliki tingkat kekeringan meteorologis yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya, terutama ketika terjadi El Niño. Data jaringan observasi permukaan BMKG dan CHIRPS memiliki perspektif yang relatif sama terhadap curah hujan bulanan (R2 = 0.63), CDD dan ADI di wilayah kajian dengan nilai koefisien korelasi temporal 0.4 hingga 0.8 yang signifikan pada tingkat kepercayaan 95%. Setiap kejadian anomali iklim global memberikan pengaruh yang berbeda terhadap CDD. El Niño Modoki mempengaruhi CDD di bagian selatan, tengah dan utara dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan El Niño konvensional. Dipole Mode positif lebih memberikan pengaruh terhadap CDD di bagian tengah dan utara dengan intensitas yang paling lemah diantara anomali iklim global lainnya. Pengaruh El Niño konvensional terhadap CDD musiman umumnya tampak jelas pada periode September – Oktober – November (SON) di seluruh wilayah kajian, El Niño Modoki pada periode Juni – Juli – Agustus (JJA) di wilayah bagian tengah dan barat, dan Dipole Mode positif pada periode SON di bagian tengah dan utara. Verifikasi standar World Meteorological Organization (WMO) terhadap luaran masing-masing 7 model iklim global The North American Multi-Model Ensemble (NMME) dan ansambel multi model secara spesifik untuk prediksi hujan bulanan wilayah Sulawesi Selatan telah dilakukan sehingga diperoleh performa masing-masing model setiap bulan dan setiap lead time. Performa terbaik diperoleh masing-masing model digunakan untuk memprediksi hujan bulan Juni hingga November dengan lead time kurang dari 4 bulan. Peningkatan performa ansambel multi model diperoleh ketika periode kering sehingga menjanjikan untuk dapat digunakan untuk prediksi kekeringan. Pengembangan monitoring kekeringan dilakukan terhadap CDD berbasis grid dengan resolusi spasial 5 km x 5 km yang mencakup seluruh wilayah Sulawesi Selatan berdasarkan data observasi hujan di 23 titik pengamatan dan data CHIRPS. Evaluasi pendekatan interpolasi spasial dan metode geostatistik dilakukan untuk mengetahui performa estimasi CDD di wilayah yang tidak terdapat pengamatan hujan. Nilai koefisien korelasi tertinggi (0.79), RMSE terendah (24.1 hari) dan standard deviasi yang paling mendekati observasi (32.3 hari) ditunjukkan oleh regression kriging dengan data CHIRPS sebagai covariabel estimasi. Pengembangan sistem peringatan dini kekeringan dilakukan dengan membangun sekaligus mengevaluasi performa prediksi musiman CDD resolusi tinggi berdasarkan luaran 9 model iklim global NMME dan hasil ansambel multi model. Keseluruhan model menunjukkan nilai Mean Square Skill Score (MSSS) positif di seluruh wilayah Sulawesi Selatan sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat peningkatan performa prediksi model dibandingkan dengan prediksi menggunakan pola klimatologisnya. Model prediksi CDD resolusi tinggi selanjutnya diimplementasikan di wilayah yang spesifik berupa 5 Kabupaten sentra produksi padi Sulawesi Selatan, yaitu Bone (bagian timur Sulawesi Selatan), Wajo (bagian timur Sulawesi Selatan), Pinrang (bagian barat Sulawesi Selatan), Sidrap (bagian tengah Sulawesi Selatan) dan Maros (bagian barat Sulawesi Selatan). Hasil evaluasi performa masing-masing model secara umum menunjukkan nilai terbaiknya pada periode SON dan JJA. Periode ini bertepatan dengan fase vegetatif, reproduktif dan awal fase pemasakan pada masa tanam padi musim kering pertama dan kedua sehingga sangat krusial dalam produktivitas padi.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB Universityid
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)
dc.subject.ddcApplied Climatologyid
dc.subject.ddcClimateid
dc.subject.ddc2017id
dc.subject.ddcSulawesi Selatanid
dc.titlePengembangan Sistem Peringatan Dini Kekeringan Meteorologis Menggunakan Ansambel Multi Model di Sulawesi Selatanid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordkekeringanid
dc.subject.keywordprediksi Consecutive Dry Daysid
dc.subject.keywordgeostatistikid
dc.subject.keywordansambel multi modelid
dc.subject.keywordsentra produksi padiid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record