dc.description.abstract | Sistem Peringatan Dini Iklim (Climate Early Warning System) telah
dibangun oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sejak
tahun 2013. Salah satu tujuan dibangunnya sistem ini adalah untuk memberikan
informasi awal terhadap potensi terjadinya kekeringan meteorologis di wilayah
Indonesia. Informasi kekeringan ini menjadi penting terutama terkait dengan isu
ketahanan pangan nasional. Sulawesi Selatan sebagai sentra produksi padi
nasional terbesar di luar pulau Jawa memiliki variabilitas iklim yang terpengaruh
oleh kejadian anomali iklim global sehingga berpotensi mengalami kekeringan
dan dapat mengancam produktivitas padi di wilayah ini. Sistem peringatan dini
kekeringan di Indonesia masih berupa pemantauan dan analisis kejadian yang
telah terjadi, sehingga perlu dikembangkan dan dilengkapi dengan informasi
prediksi kekeringan yang akan terjadi. Kekeringan meteorologis (meteorological
drought) dapat digunakan sebagai indikator awal terjadinya kekeringan pada
tahapan berikutnya yaitu, kekeringan pertanian (agricultural drought) dan
kekeringan hidrologis (hydrological drought).
Analisis pengaruh kejadian anomali iklim global terhadap karakteristik
kekeringan meteorologis di wilayah Sulawesi Selatan dilakukan untuk mengetahui
potensi dampak kekeringan yang ditimbulkan. Analisis ini dilakukan
menggunakan data berbeda yaitu data luaran penginderaan jauh, reanalysis dan
pemantauan (monitoring) hasil pengamatan hujan dari jaringan observasi BMKG
agar memperoleh gambaran komprehensif terkait karakteristik kekeringan di
wilayah ini. Nilai Vegetation Health Index (VHI) dibawah rata-rata teramati dari
awal tahun kejadian El Niño kuat, kecuali mulai teramati pada minggu ke-21
(Juni) saat kejadian El Niño tahun 1997. Terdapat karakteristik kekeringan
meteorologis yang khas di bagian timur, barat, selatan dan utara Sulawesi Selatan
berdasarkan nilai Average Drought Intensity (ADI) dan Consecutive Dry Days
(CDD) dari data observasi hujan dan data blended observasi dengan luaran
penginderaan jauh (Climate Hazards Group InfraRed Precipitation with Station
data atau CHIRPS).
Analisis Empirical Orthogonal Function (EOF) terhadap curah hujan
bulanan Indonesia dari The Japanese 55-year Reanalysis (JRA-55) selama periode
30 tahun (1981 – 2010) menunjukkan terdapatnya pola hujan monsunal di bagian
barat dan selatan, anti monsunal (lokal) di bagian timur, dan pola ekuatorial di
bagian tengah dan utara Sulawesi Selatan. Analisis EOF terhadap CDD juga
menunjukkan 3 pola dominan tersebut. Wilayah bagian barat dan selatan
umumnya memiliki tingkat kekeringan meteorologis yang lebih tinggi
dibandingkan dengan wilayah lainnya, terutama ketika terjadi El Niño. Data
jaringan observasi permukaan BMKG dan CHIRPS memiliki perspektif yang
relatif sama terhadap curah hujan bulanan (R2 = 0.63), CDD dan ADI di wilayah
kajian dengan nilai koefisien korelasi temporal 0.4 hingga 0.8 yang signifikan
pada tingkat kepercayaan 95%.
Setiap kejadian anomali iklim global memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap CDD. El Niño Modoki mempengaruhi CDD di bagian selatan,
tengah dan utara dengan intensitas yang lebih rendah dibandingkan dengan El
Niño konvensional. Dipole Mode positif lebih memberikan pengaruh terhadap
CDD di bagian tengah dan utara dengan intensitas yang paling lemah diantara
anomali iklim global lainnya. Pengaruh El Niño konvensional terhadap CDD
musiman umumnya tampak jelas pada periode September – Oktober – November
(SON) di seluruh wilayah kajian, El Niño Modoki pada periode Juni – Juli –
Agustus (JJA) di wilayah bagian tengah dan barat, dan Dipole Mode positif pada
periode SON di bagian tengah dan utara.
Verifikasi standar World Meteorological Organization (WMO) terhadap
luaran masing-masing 7 model iklim global The North American Multi-Model
Ensemble (NMME) dan ansambel multi model secara spesifik untuk prediksi
hujan bulanan wilayah Sulawesi Selatan telah dilakukan sehingga diperoleh
performa masing-masing model setiap bulan dan setiap lead time. Performa
terbaik diperoleh masing-masing model digunakan untuk memprediksi hujan
bulan Juni hingga November dengan lead time kurang dari 4 bulan. Peningkatan
performa ansambel multi model diperoleh ketika periode kering sehingga
menjanjikan untuk dapat digunakan untuk prediksi kekeringan.
Pengembangan monitoring kekeringan dilakukan terhadap CDD berbasis
grid dengan resolusi spasial 5 km x 5 km yang mencakup seluruh wilayah
Sulawesi Selatan berdasarkan data observasi hujan di 23 titik pengamatan dan
data CHIRPS. Evaluasi pendekatan interpolasi spasial dan metode geostatistik
dilakukan untuk mengetahui performa estimasi CDD di wilayah yang tidak
terdapat pengamatan hujan. Nilai koefisien korelasi tertinggi (0.79), RMSE
terendah (24.1 hari) dan standard deviasi yang paling mendekati observasi (32.3
hari) ditunjukkan oleh regression kriging dengan data CHIRPS sebagai covariabel
estimasi.
Pengembangan sistem peringatan dini kekeringan dilakukan dengan
membangun sekaligus mengevaluasi performa prediksi musiman CDD resolusi
tinggi berdasarkan luaran 9 model iklim global NMME dan hasil ansambel multi
model. Keseluruhan model menunjukkan nilai Mean Square Skill Score (MSSS)
positif di seluruh wilayah Sulawesi Selatan sehingga dapat diinterpretasikan
bahwa terdapat peningkatan performa prediksi model dibandingkan dengan
prediksi menggunakan pola klimatologisnya.
Model prediksi CDD resolusi tinggi selanjutnya diimplementasikan di
wilayah yang spesifik berupa 5 Kabupaten sentra produksi padi Sulawesi Selatan,
yaitu Bone (bagian timur Sulawesi Selatan), Wajo (bagian timur Sulawesi
Selatan), Pinrang (bagian barat Sulawesi Selatan), Sidrap (bagian tengah Sulawesi
Selatan) dan Maros (bagian barat Sulawesi Selatan). Hasil evaluasi performa
masing-masing model secara umum menunjukkan nilai terbaiknya pada periode
SON dan JJA. Periode ini bertepatan dengan fase vegetatif, reproduktif dan awal
fase pemasakan pada masa tanam padi musim kering pertama dan kedua sehingga
sangat krusial dalam produktivitas padi. | id |