dc.description.abstract | Ekosistem mangrove merupakan urat nadi kehidupan bagi masyarakat di Pulau Tanakeke. Secara ekologi, ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke berperan sebagai pelindung perkampungan. Secara ekonomi, dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai sumber mata pencaharian. Dalam kurun waktu tahun 1980an-2000an awal, sebanyak 60% tutupan mangrove di Pulau Tanakeke hilang dari luasan awalnya + 1.770 hektar. Hilangnya tutupan mangrove tersebut disebabkan oleh adanya penebangan mangrove untuk membuka lahan menjadi tambak dan untuk bahan baku arang. Berkurangnya tutupan mangrove dalam jumlah yang signifikan tersebut menyebabkan menurunnya fungsi fisik ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke. Meskipun hal tersebut sudah terjadi beberapa dekade yang lalu, akan tetapi dampak negatif dari degradasi mangrove masih dapat dirasakan oleh sebagian masyarakat hingga saat ini. Untuk mencegah terjadinya kembali pemanfaatan yang tidak terkendali seperti sebelumnya, masyarakat dibantu oleh organisasi non-pemerintah menyusun peraturan desa yang khusus mengatur tentang pengelolaan ekosistem mangrove di level desa sebagai bentuk penguatan kelembagaan lokal. Kelembagaan merupakan salah satu aspek yang penting dalam mendukung suatu pengelolaan. Kelembagaan diperlukan untuk mengawal pengelolaan suatu sumberdaya agar tetap pada jalurnya. Selain itu, upaya-upaya rehabilitasi juga mulai didorong di beberapa daerah di wilayah Pulau Tanakeke sebagai bentuk usaha perbaikan lingkungan.
Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis keterkaitan kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove saat ini di Pulau Tanakeke terhadap keberlanjutan pemanfaatan mangrove. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk : (1) mengestimasi nilai manfaat ekonomi dan nilai kerugian yang secara langsung diterima oleh masyarakat dari adanya pemanfaatan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke; (2) menelaah aturan lokal yang berkaitan dengan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke dan implementasinya di lapangan; (3) menganalisis kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove yang ada dan kaitannya terhadap keberlanjutan pemanfaatan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik valuasi ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan untuk mengestimasi nilai ekonomi pemanfaatan dan nilai kerugian yang secara langsung diterima oleh masyarakat, analisis isi dan analisis kesenjangan untuk menganalisis kinerja peraturan lokal di lapangan, dan konsep dinamika perkembangan kelembagaan pengelolaan sumberdaya (Ostrom 1990) untuk memetakan kondisi kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke saat ini dan kaitannya terhadap keberlanjutan pemanfaatan mangrove.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke dimanfaatkan masyarakat dalam bentuk pemanfaatan perikanan (tambak dan perikanan tangkap) dan hasil kayu mangrove (pembuatan arang, kayu bakar, bahan bangunan, patok rumput laut), sedangkan kerugian yang timbul dalam bentuk kerusakan pematang tambak, hilangnya ikan yang dipelihara di tambak, dan
iv
kerusakan bangunan rumah. Dari hasil valuasi ekonomi, diperoleh total estimasi nilai ekonomi pemanfaatan langsung ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke oleh masyarakat sebesar Rp169.294.439.961,-/tahun, sedangkan total estimasi nilai kerugian langsung yang dialami masyarakat di Pulau Tanakeke sebesar Rp1.316.482.933,/tahun. Dari selisih kedua nilai tersebut, diperoleh nilai manfaat bersih langsung (net benefit) sebesar Rp167.977.957.028,-/tahun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke masih memberikan nilai manfaat yang positif bagi masyarakat.
Implementasi pengelolaan ekosistem mangrove di lapangan dianalisis menggunakan 5(lima) aspek. Dari kelima aspek yang dianalisis, terdapat satu aspek dalam kategori sejalan (aspek pengawasan mangrove dengan nilai kesenjangan 0%), tiga aspek yang cukup sejalan (aspek keterlibatan stakeholder, aspek pengelolaan mangrove, dan aspek pelanggaran dan sanksi dengan nilai kesenjangan berturut-turut : 13,25%, 21,86%, dan 6,67%), dan satu aspek yang tidak sejalan (aspek koordinasi dengan nilai kesenjangan 100%). Secara keseluruhan, diperoleh hasil rata-rata nilai kesenjangan antara Perdes dengan implementasi di lapangan sebesar 28,36% yang dapat diartikan bahwa implementasi pengelolaan ekosistem mangrove di lapangan (Pulau Tanakeke) sudah cukup sejalan dengan peraturan lokal yang mengatur.
Pada saat penelitian ini dilakukan, kondisi di lapangan (Pulau Tanakeke) sudah terdapat aturan yang mengatur pengelolaan mangrove dan kegiatan rehabilitasi. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke saat ini berada pada tahap institutional self-governing period menurut konsep dinamika perkembangan kelembagaan sumberdaya Ostrom (1990). Dari hasil tersebut dapat diartikan bahwa saat ini kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke sedang menuju ke arah pengelolaan yang mandiri (self-governing) karena sudah mulai mampu untuk mengelola sumberdaya mangrove secara mandiri. Ketika kelembagaan yang ada sudah mendukung ke arah pengelolaan yang mandiri, maka keberlanjutan pengelolaan akan lebih terjamin sehingga keberlanjutan pemanfaatan juga semakin baik. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hingga saat penelitian ini dilakukan, kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Pulau Tanakeke masih mendukung ke arah keberlanjutan pemanfaatan mangrove. | id |