Show simple item record

dc.contributor.advisorSolihin, Dedy Duryadi
dc.contributor.advisorMardiastuti, Ani
dc.contributor.advisorPrasetyo, Lilik Budi
dc.contributor.authorJarulis
dc.date.accessioned2019-06-25T06:53:43Z
dc.date.available2019-06-25T06:53:43Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/98038
dc.description.abstractPenurunan populasi burung rangkong di Indonesia cukup tajam dalam dua dekade terakhir. Penurunan tersebut disebabkan dua faktor yaitu hilangnya habitat dan perdagangan illegal. Kehilangan habitat rangkong disebabkan oleh tingginya laju deforestasi yang pada tahun 2000 – 2009 mencapai 1.68 juta ha/tahun dan periode 2009 - 2013 1.1 juta ha/tahun. Pada bidang perdagangan, rentang 2012 – 2014 1037 kepala dan casque Rangkong Gading disita di Kalimantan Barat, Jakarta, dan Padang. Jumlah Rangkong Gading yang terbunuh pada 2012 – 2015 sebanyak 2313 individu atau 500 individu lebih setiap tahunnya. Perburuan dan perdagangan illegal terhadap jenis rangkong lainnya juga marak terjadi di Indonesia. Sementara burung ini sangat penting di hutan sebagai pemencar biji tumbuhan dan penyeimbang ekosistem. Pemberian nama takson rangkong pada tingkat jenis dan genus masih menjadi perdebatan di kalangan ornitolog dunia sampai saat ini. Hal ini terjadi karena kebanyakan peneliti rangkong masih menggunakan karakter morfologi dalam identifikasi. Penggunaan karakter morfologi untuk identifikasi jenis memiliki kelemahan terutama terhadap jenis-jenis yang tidak mempunyai karakter spesifik (cryptic and complex species), sebaliknya untuk jenis-jenis yang memiliki karakter spesifik. Akibatnya, nama jenis dan genus suatu takson yang didapatkan berbeda antar peneliti, misalnya pada genus Aceros, Rhyticeros, Buceros, dan Anthracoceros. Masalah ini dapat diselesaikan dengan uji molekuler, sehingga didapatkan identitas definitif rangkong Indonesia. Marka molekuler yang telah dikembangkan untuk determinasi spesies hewan adalah gen cytochrome oxidase sub unit I (COI) dan cytochrome b (Cyt b) DNA mitokondria (mtDNA). Kedua gen ini umum digunakan untuk barcode spesies dan kajian filogenetik intra dan interspesies hewan. Selain debat tentang nama tersebut, informasi distribusi spasial rangkong juga belum tersedia, datanya sangat dibutuhkan dalam penyusunan kebijakan konservasi di Indonesia. Berdasarkan masalah di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk (1) menganalisis variasi morfologi dan karakter spesifik spesies rangkong, (2) menganalisis keragaman genetik rangkong berdasarkan gen COI dan Cyt b mtDNA, dan (3) memetakan sebaran rangkong di Indonesia. Hasil analisis morfologi menunjukkan bahwa pemisahan antar genus rangkong terjadi pada kombinasi terbaik antara PC1 (karakter panjang tubuh) dan PC3 (karakter paruh) dalam analisis PCA. Karakter yang memisahkan antara genus Rhyticeros, Buceros, dan Anthracoceros pada PC1 (karakter panjang tubuh) adalah panjang ekor, panjang paruh, panjang tanduk, panjang total, dan panjang sayap. Sedangkan pada PC3 (karakter paruh) adalah lebar paruh, lebar tanduk, dan panjang tarsus. Karakter yang memisahkan antar jenis di dalam genus Anthracoceros dan Rhyticeros adalah kombinasi panjang ekor dan panjang kepala. Variasi karakter morfologi antar ketiga genus Anthracoceros, Rhyticeros, dan Buceros ditemukan pada bagian kepala dan ekor. Bagian kepala yang membedakan antar genus adalah bentuk casque dan kantong leher. Perbedaan karakter morfologi antar jenis di dalam genus yang sama terdapat pada kepala, sayap, dan ekor. Dendogram tujuh jenis rangkong yang direkonstruksi menggunakan nisbah 14 karakter morfometrik menunjukkan tiap jenis mengelompok pada kluster yang sama, kecuali kluster Rhyticeros undulatus yang terbagi menjadi dua sub kluster dan diantaranya terdapat sub kluster Aceros cassidix. Data genetik tujuh jenis rangkong Indonesia mendukung kajian morfometrik. Gen Cyt b tujuh jenis rangkong Indonesia lebih bervariasi dan mengalami subsitusi lebih sering dibandingkan gen COI. Masing-masing jenis rangkong Indonesia memiliki nukleotida spesifik (SNP) sebagai DNA barcode pembeda antar jenis berdasarkan kedua gen tersebut. Jarak genetik interspesies berdasarkan gen COI dan Cyt b mtDNA rata-rata diatas batas ambang (COI >3.0% dan Cyt b >4.0%) pembeda spesies. Sekuen kedua gen ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi rangkong di Indonesia, baik terhadap sampel utuh yang dikoleksi dari individu dengan organ lengkap maupun tidak utuh seperti bulu, tulang, paruh, dan bahkan dari barang-barang komersil yang bahan bakunya dari organ tubuh rangkong. Tiap jenis dari tujuh jenis yang dianalisis mengelompok satu kluster pada pohon filogenetik NJ dan terbagi ke dalam dua group, dan rangkong Indonesia terpisah dari outgroup asal Filipina dan Tulsa Zoo, USA. Tiga belas jenis rangkong di Indonesia telah dipetakan dan diteliti kesesuaian habitatnya. Hasil pemodelan kesesuaian habitat menggunakan perangkat maxent dari 347 titik kehadiran rangkong menyimpulkan bahwa model yang dibangun dapat diterima dengan nilai area under the receiver operating characteristic (ROC) curve atau AUC 0.749 ± 0.0245. Variabel lingkungan yang berkontribusi kuat mempengaruhi distribusi rangkong yaitu NDVI (tutupan vegetasi) (23.1%), jarak dari tepi hutan (23.9%), dan jarak dari lahan pertanian (19.4%). Luas habitat tidak sesuai mencapai 99.45 juta ha (53.62%) dari luas daratan Indonesia dan habitat sesuai 86.04 juta ha (46.38%). Habitat dengan kelas kesesuaian rendah seluas 53.62 juta ha (28.91%) dari luas daratan Indonesia, kesesuaian sedang 29.15 juta ha (15.7%), dan kesesuaian tinggi 3.28 juta ha (1.77%). Ancaman kepunahan burung rangkong tergolong tinggi yang ditunjukkan oleh rendahnya persentase kelas kesesuaian habitat sedang dan tinggi yang hanya 17.47%) (32.42 juta ha) dari luas daratan Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian ini, pencegahan penurunan populasi rangkong di Indonesia sudah harus dilakukan. Beberapa usulan upaya konservasi rangkong yang dapat dilakukan adalah (1) meningkatkan kualitas habitat hutan yang masih tersisa di Indonesia, (2) menyusun tata ruang secara detil di setiap daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi se-Indonesia, (3) menegakkan supremasi hukum bagi oknum yang melanggar aturan tentang kehutanan dan perdagangan satwa liar, (4) meningkatkan kualitas dan kuantitas riset tentang burung rangkong Indonesia, (5) membangun kapasitas sumberdaya manusia di tiap instansi terkait bidang kehutanan dan penegakan hukum, (6) membangun kerjasama dengan masyarakat adat yang bermukim dekat dari kawasan hutan, dan (7) mengembangkan upaya konservasi ex-situ untuk meningkatkan populasi.id
dc.language.isoidid
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)
dc.subject.ddcAnimal Biosciencesid
dc.subject.ddcHornbillid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcIndonesiaid
dc.titleKarakter Morfologi Dan Genetik Burung Rangkong (Aves: Bucerotidae) Serta Penyebarannya di Indonesiaid
dc.typeDissertationid
dc.subject.keywordrangkongid
dc.subject.keywordmorfologiid
dc.subject.keywordbiometrikid
dc.subject.keywordidentitas spesiesid
dc.subject.keywordgen COIid
dc.subject.keywordgen Cyt bid
dc.subject.keywordfilogenetikid
dc.subject.keyworddistribusi spasialid
dc.subject.keywordkesesuaian habitatid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record