dc.description.abstract | Perikanan adalah sektor perekonomian yang penting untuk mengatasi ancaman
kelaparan dan kemiskinan di dunia, khususnya di Asia Tenggara dan Indonesia
yang pada tahun 2014 dilaporkan menduduki urutan ke-dua sebagai negara
penghasil ikan tangkap terbesar di dunia. Penelitian terbaru telah menunjukan
pentingnya perikanan skala kecil dalam hal banyaknya ikan yang didaratkan dan
ketahanan pangan, bahkan diyakini bahwa jumlah hasil tangkapan dari perikanan
ini yang dilaporkan jauh dari yang sesungguhnya. Perikanan skala kecil merupakan
sub-sektor perikanan yang penting yang menyediakan sumber mata pencaharian
dan pemenuhan pangan bagi jutaan nelayan kecil, masyarakat setempat dan
penyuka makanan dari laut di Indonesia dan dunia. Hingga tahun 2000, nelayan
skala kecil di Asia Tenggara menyumbang lebih banyak ikan konsumsi bagi
manusia daripada perikanan skala industri (tidak termasuk ikan yang digunakan
sebagai pakan ikan), dan di Indonesia mempekerjakan sekitar 85% dari semua
pekerja di sektor perikanan. Disertasi ini meneliti tentang pengelolaan perikanan di
bagian Timur Indonesia yang mencakupi tiga topik yaitu: a) menelaah tentang
definisi hukum dari nelayan kecil dan perikanan skala kecil dikaitkan dengan
mandat perikanan yang berkelanjutan dan penguatan penduduk miskin dan
mengajukan sebuah definisi baru nelayan kecil dan perikanan skala kecil di
Indonesia, b) meneliti tentang kecenderungan tangkapan kerapu (Serranidae) dan
kakap (Lutjanidae) di Indonesia dan mencoba kegunaan dari metoda pendugaan
stok ikan, Length-Based Spawning Potential Ratio (LB-SPR), untuk perikanan
kerapu dan kakap dengan data terbatas di Teluk Saleh, Nusa Tenggara Barat dan
Laut Timor, Nusa Tenggara Timur, dan c) menelaah pengelolaan perikanan
berbasis hak untuk perikanan skala kecil dan mengajukan sebuah konsep
pengelolaan perikanan berbasis hak yang diberi istilah Hak Pengelolaan Perikanan
(HPP) sebagai alat pengelolaan perikanan skala kecil di Indonesia. Metoda
penelitian deskriptif dan kuantitatif termasuk analisa perundang-undangan dan studi
pustaka, yang ditriangulasi melalui diskusi-diskusi kelompok terfokus dan
pengumpulan data lapangan diterapkan untuk mencapai tujuan dari penelitian ini.
Perikanan skala kecil di Indonesia saat ini tidak diatur dan dikecualikan dari
instrumen pengelolaan perikanan yang ada, menjadikannya penting dalam
menentukan keberhasilan seluruh upaya-upaya pengelolaan perikanan jangka
panjang di Indonesia (Bab 3). Definisi nelayan kecil yang ada saat ini (sesuai
undang-undang tahun 2016) meliputi kapal ikan < 10 GT, lebih besar dari
sebelumnya < 5 GT, menimbulkan masalah karena meningkatkan jumlah kapalkapal
dan tangkapan dari perikanan yang tidak diatur. Melalui penelitian ini, saya
mengusulkan sebuah definisi perikanan skala kecil yang baru sebagai “suatu (satu)
unit kegiatan perikanan, dikelola pada skala rumah tangga, tanpa atau dengan
menggunakan kapal ikan < 5 GT dan menggunakan alat tangkap yang tidak
dioperasikan oleh mesin”. Definisi ini memadukan atribut kapal ikan (GT), atribut
alat tangkap (mekanisasi) dan unit usaha dimana pengambilan keputusan terjadi
(yakni pada skala rumah tangga), dan bertujuan untuk meminimalisir penangkapan
ikan yang ilegal, tidak dilaporkan dan tidak diatur dan mengarahkan program
bantuan pemerintah kepada orang-orang yang benar-benar miskin dan
terpinggirkan. Penelitian ini merekomendasikan pemerintah mempertimbangkan
dua istilah yang saling terkait, kedalam undang-undang yang berlaku untuk
memperbaiki pengelolaan perikanan: “nelayan kecil” dipergunakan dalam undangundang
perlindungan dan pemberdayaan nelayan dan “perikanan skala kecil”
kedalam undang-undang perikanan.
Keberlanjutan populasi ikan kerapu dan kakap yang menjadi target tangkapan
perikanan termasuk oleh perikanan skala kecil telah mengalami ancaman akibat dari
perluasan armada penangkapan ikan yang terus menerus, khususnya di bagian timur
Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini (Bab 4). Kecenderungan tangkapan
dan upaya (catch and effort) di bagian timur Indonesia periode tahun 2000-2014
menunjukkan bahwa tangkapan kerapu (Epinephelus dan Plectropomus) dan kakap
(Lutjanus spp.) masing-masing meningkat dua kali lipat pada periode awal tahun
2000-an hingga 2014, dimana kerapu meningkat dari 21,300 menjadi 48,300 ton
dan kakap dari 62,300 menjadi 137,300 ton. Total jumlah kapal tanpa atau dengan
mesin berukuran < 5 GT juga meningkat drastis, hampir duakali lipat dari 201,800
menjadi 391,500 kapal pada periode tahun 2000-2014, sementara jumlah kapal
berukuran lebih besar relatif tetap. Peningkatan hasil tangkapan dan jumlah armada
kapal di wilayah dengan populasi yang relatif sedikit di bagian timur Indonesia ini
jauh lebih besar daripada di bagian barat Indonesia. Analisa terhadap 10,621 data
panjang dari enam spesies ikan (tiga di Teluk Saleh: Plectropomus leopardus,
Variola albimarginata dan P. maculatus; dan tiga di Laut Timor: Lutjanus gibbus,
L. boutton and Epinephelus areolatus) yang diukur selama waktu 12 bulan
menunjukkan bahwa estimasi rasio pemijahannya (spawning potential ratio/SPR),
sebuah nilai acuan biologis yang umum digunakan untuk menggambarkan kondisi
dari populasi ikan, sangat rendah untuk semua spesies (0.03-0.14) terkecuali untuk
E. areolatus (0.58) dan rasio mortalitas penangkapan terhadap mortalitas alami
(F/M) sangat tinggi (1.7-15.1). Model Length-Based Spawning Potential Ratio
(LB-SPR) menunjukkan bahwa semua spesies terkecuali E. areolatus, telah banyak
ditangkap sebelum mencapai usia ikan dewasa. Peningkatan hasil tangkapan,
perluasan upaya penangkapan perikanan skala kecil yang terus menerus, dan
rendahnya rasio potensi pemijahan ikan di dua lokasi penelitian menggarisbawahi
pentingnya dengan segera mencari dan menerapkan tindakan untuk meningkatkan
kembali rasio potensi pemijahan dari spesies-spesies ikan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi ini.
Penyebab utama terjadinya penangkapan ikan berlebih adalah tingginya
permintaan pasar akan makanan dari laut (seafood) yang memicu peningkatan
upaya penangkapan yang berakibat pada tingginya tekanan terhadap populasi ikan,
terkadang hingga pada ambang kepunahan. Sebuah alat pengelolaan perikanan
berbasis hak, diberi istilah “Hak Pengelolaan Perikanan” (HPP) yang bisa
mengatasi akar masalah penangkapan ikan berlebih yakni motivasi manusia yang
tidak terbatas untuk menangkap ikan, ditelaah dan dirumuskan untuk pengelolaan
perikanan skala kecil di Indonesia (Bab 5). Sebuah hak pengelolaan serupa yang
dikenal dengan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3) diperkenalkan oleh
Undang-Undang No.27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil, tetapi kemudian dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011.
Analisa terhadap perundang-undangan dan dokumen terkait lainnya yang
ditriangulasi melalui diskusi-diskusi kelompok terfokus melibatkan para ahli,
pembuat keputusan dan praktisi diterapkan untuk merumuskan HPP. HPP
berpotensi sebagai alat pengelolaan untuk memulihkan kembali populasi ikan dan
mencegah berlanjutnya penangkapan berlebih. Konsep ini selaras dengan praktekpraktek
tradisional di Maluku yang dikenal dengan petuanan laut, dimana
kepemilikan secara komunal terhadap sebagian wilayah pesisir dan laut diakui dan
dihormati. Atribut utama dari HPP adalah ‘terlindungi dan eksklusif’ yang
melegitimasi entitas pemegang HPP untuk mengamankan hak pemanfaatannya dan
mencegah orang lain melakukan exploitasi sumberdaya ikan di wilayah tertentu.
Pembelajaran dari berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa pendekatan ini,
jika dipadukan kedalam rencana pengelolaan perikanan, didukung oleh nilai-nilai
kearifan lokal dan ilmu pengetahuan moderen, berhasil mengatasi permasalahan
akses terbuka (open access) perikanan karena mencegah motivasi nelayan dalam
perlombaan menangkap ikan.
Dalam pengelolaan perikanan, terdapat unsur ketidakpastian dari berbagai
aspek sosial, legal dan ekologis perikanan. Memahami dimensi manusia di dalam
sistem perikanan adalah penting karena setiap peraturan dan kebijakan yang
sekalipun telah disusun dengan kaidah yang baik dan ilmiah, bisa berdampak
kurang baik, termasuk tingkah laku dari pengguna sumberdaya (manusia) yang
tidak selaras dengan maksud dari peraturan dan kebijakan tersebut. Dengan
demikian, pengelolaan perikanan yang adaptif menjadi sangat perlu agar tercipta
pilihan-pilihan pengelolaan yang baik untuk keberlanjutan perikanan skala kecil
dan mata pencaharian penduduk wilayah pesisir yang sangat tergantung pada
sumberdaya perikanan. Ini memerlukan keterkaitan yang erat dalam mengevaluasi
kerangka perundang-undangan dan kebijakan dengan pemahaman terhadap
populasi dan dinamika sumberdaya ikan, dengan menempatkan dimensi manusia
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah ekosistem perikanan. | id |