dc.description.abstract | Menolak globalisasi bukanlah pilihan yang tepat, karena dapat menghambat
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sesederhana alat komunikasi massa
ataupun masuknya media elektronik seperti televisi, radio, internet, film, majalah,
surat kabar, dan lainnya ke suatu daerah, sudah cukup mampu menciptakan pola
homogenisasi. Masyarakat mulai memakan makanan yang sama, menonton film
yang sama, mendengarkan musik yang sama, mengacu pada tren pakaian yang sama,
ataupun menggunakan bahasa yang sama. Dari sinilah dimulainya fenomena
perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan suatu keniscayaan karena setiap
generasi senantiasa berkontribusi menghasilkan perubahan sesuai dengan porsinya
masing-masing.
Perubahan sikap juga sedang terjadi pada masyarakat Minang Darek di Luhak
Agam. Budaya Minang Darek salah satunya dianut oleh daerah yang secara
administratif terletak di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera
Barat. Masyarakat di Luhak Agam menganggap bahwa budaya Minang Darek
sudah kurang praktis karena kebanyakan penyelenggaraan ritual relatif rumit dan
mahal. Ajaran dari kearifan lokal yang kebanyakan menggunakan peribahasa
mengandung kata-kata kiasan, sulit untuk dipahami. Selain nilai-nilai budaya,
sistem kekerabatan Minang Darek dirasa cukup rumit, juga sulit untuk dipahami,
dan hubungan keluarga inti sudah mulai dianggap lebih bermanfaat.
Sistem matrilineal Minang Darek yang mengalami pergeseran dan perubahan
pada unsur-unsur yang mendukungnya memiliki nilai inti yang tidak akan berubah
dari waktu ke waktu, disebut sebagai adat nan sabana adat. Sedangkan unsur adat
yang selama ini mengalami perubahan merupakan bagian perifer dari adat yang
terdiri atas: adat istiadat, adat nan diadatkan, serta adat nan teradatkan. Di antara
berbagai perubahan, salah satu tata cara adat yang masih dipertahankan adalah
sistem perkawinan eksogami dan tradisi merantau. Penelitian ini membuktikan
bahwa konsep merantau dapat mengganggu upaya pewarisan budaya. Sementara
itu, keluarga eksogami yang selama ini dikuatirkan dapat berpengaruh buruk pada
pola asuh orang tua terhadap anaknya, ternyata berkontribusi positif dalam
pewarisan budaya Minang Darek di Luhak Agam.
Standing point dari penelitian ini adalah tidak ingin menyatakan bahwa
pemahaman adat dengan cara lama lebih baik daripada pemahaman cara baru,
ataupun sebaliknya. Hal ini karena budaya manapun akan senantiasa mengalami
penyesuaian dengan perkembangan zaman, dan itu tidak dapat dicegah. Jadi
pemahaman adat di zaman manapun sama baiknya. Penelitian ini menggunakan
studi deskriptif tentang adanya keluarga inti yang mengajarkan norma keteladanan
kepada anaknya terinspirasi dari ajaran budaya Minang Darek, namun ada juga
yang mengacu pada common sense. Studi ini menggunakan berbagai penelitian
pendukung untuk mencari ciri khas dari budaya Minang Darek dari waktu ke waktu.
Konsep Hofstede digunakan sebagai instrument ilmiah untuk mengkonfirmasi
apakah ciri ini masih melekat pada tipe keluarga tertentu. Pendekatan Hofstede
menggunakan enam dimensi budaya, yaitu: (1) power distance, (2) individualism
vs collectivism, (3) uncertainty avoidance, (4) masculinity vs femininity, (5) long
term orientation, dan (6) indulgence vs restraint. penelitian ini juga
memperlihatkan bahwa pranata sosial yang saat ini berlaku dapat mempengaruhi
pola komunikasi keluarga di Luhak Agam. Pada kenyataannya masih ada yang
mempertahankan pola lama dan ada juga yang sudah mengadaptasi pola baru. Pola
ini dijabarkan dengan menggunakan teori SPEAKING milik Hymes.
Penelitian ini menjelaskan bahwa keluarga dengan ajaran yang tidak
menyerupai ajaran budaya Minang Darek (keluarga dengan ayah Minang) justru
mengaku telah mengajarkan budaya Minang Darek kepada anaknya. Diketahui
bahwa latar belakang pola pewarisannya berbeda dengan keluarga yang memiliki
kemiripan ajaran dengan budaya Minang Darek. Pemahaman mereka tentang
budaya Minang lebih lembut, selain mengajarkan persamaan hak antara laki-laki
dan perempuan, anak harus pintar mengambil hati orang lain, menghormati orang
yang lebih tua, dan tidak egois. Kerja keras tidak diikuti dengan penanaman sikap
pragmatis, berorientasi pada masa depan, penghargaan, penghematan, dan
ketekunan. Sementara keluarga yang mengajarkan norma keteladanan yang mirip
dengan ajaran budaya Minang Darek (keluarga dengan ayah non-Minang)
mengajarkan nilai survival dan common sense kepada anak karena keberadaannya
di Maninjau adalah sebagai perantau. Keteladanan yang ditanamkan kepada anak
adalah tentang kesadaran diri sebagai kaum pendatang, harus bisa beradaptasi, dan
mudah diterima oleh masyarakat setempat. Oleh karena itu, anak harus mampu
bekerja keras, bersaing tanpa meninggalkan sopan santun, menghargai dan
menghormati tetangga bahkan diperlakukan sebagai keluarga baru. Anak harus
rajin menabung, dan mengatur pengeluaran karena mereka sesekali harus pulang ke
kampung halamannya ketika lebaran tiba. Tanpa disadarinya, norma-norma inilah
yang sesungguhnya ditanamkan oleh budaya Minang Darek, namun pada
kenyataannya diterapkan oleh keluarga dengan ayah non-Minang. Studi ini
membuktikan bahwa perbedaan interpretasi dari beberapa tipologi keluarga tentang
makna keteladanan yang diajarkan kepada anak tidak membuat seseorang menjadi
individu yang “kurang Minangkabau” karena masing-masing memiliki
pertimbangan tersendiri atas keputusannya. | id |