Show simple item record

dc.contributor.advisorTatik, Chikmawati
dc.contributor.advisorWalujo, Eko Baroto
dc.contributor.advisorZuhud
dc.contributor.authorNasution, Aswarina
dc.date.accessioned2019-05-13T07:49:54Z
dc.date.available2019-05-13T07:49:54Z
dc.date.issued2019
dc.identifier.urihttp://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/97329
dc.description.abstractSuku Mandailing merupakan penduduk asli yang tinggal di desa sekitar kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara. Mereka telah memiliki pengetahuan tentang satuan lingkungan dan sumber daya hayati yang terdapat didalamnya. Pengetahuan lokal tersebut penting untuk digali dan dianalisis karena dapat memberikan informasi mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati yang dilakukan masyarakat serta dampak ekologi dari kegiatan pengelolaan hutan dan keanekaragaman hayati tersebut sehingga pengetahuan tersebut dapat menjadi masukan bagi upaya konservasi dan pengembangan kawasan TNBG secara berkelanjutan. Untuk mengungkap pengetahuan lokal tersebut diperlukan suatu kajian etnobiologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap, menganalisis dan mensintesis pengetahuan lokal (corpus) masyarakat suku Mandailing dalam memanfaatkan dan mengelola (praxis) satuan-satuan lingkungan, tumbuhan dan hewan di sekitar TNBG. Penelitian dilaksanakan selama bulan September 2015 sampai dengan Desember 2016. Penelitian dilaksanakan di empat desa yang tercakup dalam tiga kecamatan yaitu Sibanggor Jae dan Hutabaringin Julu (Kecamatan Puncak Sorik Marapi); Pastap Jae (Kecamatan Tambangan) dan Botung (Kecamatan Kotanopan), Provinsi Sumatera Utara. Data penelitian terdiri dari data etnoekologi, etnobotani dan etnozoologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara bebas, semi struktural, struktural, survey lapangan serta observasi partisipatif. Penilaian ekologis praktek pemanfaatan lingkungan dilakukan melalui pendekatan etik menggunakan metode analisis vegetasi, kemudian dihitung nilai INP masingmasing spesies di setiap satuan lingkungan. Analisis indeks kepentingan spesies tumbuhan dikaitkan dengan budaya setempat menggunakan pendekatan etik dengan menghitung Index of Cultural Significance (ICS). Hasil penelitian etnoekologi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki pengetahuan terkait pembagian satuan lingkungan yaitu: rumah (bagas), pekarangan (alaman), sawah (saba), kebun (kobun) dan hutan (harangan). Masyarakat Mandailing mempertimbangkan keberadaan hutan dan sumber air dalam membuka pemukiman (desa). Hal ini tercermin dalam ungkapan ganopganop banua martano rura yang artinya setiap banua (kesatuan wilayah) mempunyai tanah dan sumber airnya sendiri. Sebanyak 126 spesies tercatat di pekarangan yang tercakup dalam 55 famili. Famili yang memiliki anggota terbanyak yaitu Solanaceae (8 spesies) dan Compositae (8 spesies). Kebun umumnya memadukan tanaman introduksi dengan tanaman pertanian. Sistem agroforestry tersebut berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Hasil analisis vegetasi pohon di hutan sekitar Desa Sibanggor Jae menunjukkan bahwa apea atau karet (Hevea brasiliensis) memiliki nilai INP tertinggi (149.33), diikuti oleh tanaon atau kemiri (Aleurites mollucanus). Hutan di Hutabaringin Julu didominasi oleh pohon hoteng batu (Salacia miquelina) dengan nilai INP 107.06 diikuti bargot (Arenga pinnata) dengan nilai INP 39.90 dan hoteng (Quercus gemelliflora) dengan nilai INP 31.51. Apea/karet (Hevea brasiliensis) juga mendominasi hutan di sekitar Desa Pastap Jae dengan nilai INP 81.25, diikuti ingul (Toona sureni) dengan INP 29.88. Desa Botung didominasi oleh hayu raja (Acer laurinum) dengan nilai INP 76.4 diikuti oleh melinjo hutan (Polyscias elliptica) dengan nilai INP 52.43. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di atas, spesies yang memiliki nilai INP tertinggi adalah spesies yang sering dimanfaatkan masyarakat serta memiliki nilai ekonomi tinggi. Suku Mandailing menggunakan sebanyak 262 spesies tumbuhan. Pemanfaatan terbanyak adalah untuk kebutuhan bahan pangan (106 spesies). Pemanfaatan lain meliputi: bahan obat tradisional (81 spesies), bahan bangunan (35 spesies), kayu bakar (29 spesies), pakan ternak (25 spesies), bahan ritual (20 spesies), bahan peralatan rumah tangga (9 spesies), bahan kesenian (6 spesies), peralatan pertanian (4 spesies), bahan serat dan tali (4 spesies), bahan pengendalian hama (4 spesies) dan bahan racun (1 spesies). Tingginya pemanfaatan spesies tumbuhan untuk pangan dan obat menunjukkan bahwa pangan dan kesehatan merupakan prioritas masyarakat. Spesies tumbuhan berguna yang mempunyai nilai ICS paling tinggi di empat desa adalah eme/padi (Oryza sativa). Spesies ini memiliki nilai kegunaan dan intensitas penggunaan sangat tinggi serta merupakan spesies yang paling disukai masyarakat dengan nilai eksklusivitas tinggi. Kegunaan utama spesies ini adalah sebagai makanan pokok. Kegunaan lain adalah sebagai pakan ternak, pupuk serta bahan ritual. Masyarakat Suku Mandailing mengenal 57 spesies hewan liar serta 15 spesies hewan peliharaan dan ternak. Berdasarkan peran dan pemanfaatannya, hewan dapat dikelompokkan sebagai sumber protein (12 spesies), hewan peliharaan untuk kesenangan (8 spesies), hewan untuk pengobatan (2 spesies) dan hewan untuk ritual (3 spesies). Pemanfaatan (praxis) hewan terutama sebagai sumber pangan. Namun masyarakat jarang mengkonsumsi hewan sapi maupun kambing. Hewan-hewan tersebut hanya dikonsumsi saat ada horja (pesta) maupun saat hari raya umat Islam. Pengetahuan masyarakat Mandailing terkait lingkungan serta sumberdaya hayati di dalamnya baik tumbuhan maupun hewan berperan positif dalam mendukung kesejahteraan masyarakat. Mereka menjadi masyarakat yang mandiri dan berdaulat karena telah mampu mengolah sumberdaya hayati tersebut untuk memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Etnobiologi juga berperan dalam konservasi kawasan terutama kawasan TNBG. Konservasi yang didasarkan pada pengetahuan lokal umumnya lebih sustainable. Berdasarkan hal tersebut, kawasan TNBG harus dihargai, dihormati dan dilindungi. Namun kearifan lokal masyarakat Mandailing dapat hilang seiring dengan kemajuan zaman, maka perlu adanya pemberian pemahaman kepada masyarakat untuk memiliki pandangan yang realistis yang dikuatkan dengan peran agama serta peran pengetahuan modern dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian agar mereka tetap menjaga keberadaan hutan meskipun kepercayaan mereka telah bergeser karena kemajuan zaman.id
dc.publisherIPB (Bogor Agricultural University)id
dc.subjectBogor Agricultural University (IPB)id
dc.subject.ddcPlant Biologyid
dc.subject.ddcEternobiologyid
dc.subject.ddc2016id
dc.subject.ddcMandailing Natal-Sumatera Utaraid
dc.titleEtnobiologi Masyarakat Suku Mandailing di Desa Sekitar Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utaraid
dc.subject.keywordetnobotaniid
dc.subject.keywordetnoekologiid
dc.subject.keywordetnozoologiid
dc.subject.keywordkonservasi tradisionalid
dc.subject.keywordpengetahuan lokalid


Files in this item

Thumbnail

This item appears in the following Collection(s)

Show simple item record