Etnobiologi Masyarakat Suku Mandailing di Desa Sekitar Taman Nasional Batang Gadis Sumatera Utara
View/Open
Date
2019Author
Nasution, Aswarina
Tatik, Chikmawati
Walujo, Eko Baroto
Zuhud
Metadata
Show full item recordAbstract
Suku Mandailing merupakan penduduk asli yang tinggal di desa sekitar
kawasan Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), Kabupaten Mandailing Natal
Provinsi Sumatera Utara. Mereka telah memiliki pengetahuan tentang satuan
lingkungan dan sumber daya hayati yang terdapat didalamnya. Pengetahuan lokal
tersebut penting untuk digali dan dianalisis karena dapat memberikan informasi
mengenai pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan keanekaragaman hayati yang
dilakukan masyarakat serta dampak ekologi dari kegiatan pengelolaan hutan dan
keanekaragaman hayati tersebut sehingga pengetahuan tersebut dapat menjadi
masukan bagi upaya konservasi dan pengembangan kawasan TNBG secara
berkelanjutan. Untuk mengungkap pengetahuan lokal tersebut diperlukan suatu
kajian etnobiologi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengungkap, menganalisis
dan mensintesis pengetahuan lokal (corpus) masyarakat suku Mandailing dalam
memanfaatkan dan mengelola (praxis) satuan-satuan lingkungan, tumbuhan dan
hewan di sekitar TNBG.
Penelitian dilaksanakan selama bulan September 2015 sampai dengan
Desember 2016. Penelitian dilaksanakan di empat desa yang tercakup dalam tiga
kecamatan yaitu Sibanggor Jae dan Hutabaringin Julu (Kecamatan Puncak Sorik
Marapi); Pastap Jae (Kecamatan Tambangan) dan Botung (Kecamatan
Kotanopan), Provinsi Sumatera Utara. Data penelitian terdiri dari data etnoekologi,
etnobotani dan etnozoologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara
bebas, semi struktural, struktural, survey lapangan serta observasi partisipatif.
Penilaian ekologis praktek pemanfaatan lingkungan dilakukan melalui pendekatan
etik menggunakan metode analisis vegetasi, kemudian dihitung nilai INP masingmasing
spesies di setiap satuan lingkungan. Analisis indeks kepentingan spesies
tumbuhan dikaitkan dengan budaya setempat menggunakan pendekatan etik
dengan menghitung Index of Cultural Significance (ICS).
Hasil penelitian etnoekologi menunjukkan bahwa masyarakat telah memiliki
pengetahuan terkait pembagian satuan lingkungan yaitu: rumah (bagas),
pekarangan (alaman), sawah (saba), kebun (kobun) dan hutan (harangan).
Masyarakat Mandailing mempertimbangkan keberadaan hutan dan sumber air
dalam membuka pemukiman (desa). Hal ini tercermin dalam ungkapan ganopganop
banua martano rura yang artinya setiap banua (kesatuan wilayah)
mempunyai tanah dan sumber airnya sendiri. Sebanyak 126 spesies tercatat di
pekarangan yang tercakup dalam 55 famili. Famili yang memiliki anggota
terbanyak yaitu Solanaceae (8 spesies) dan Compositae (8 spesies). Kebun
umumnya memadukan tanaman introduksi dengan tanaman pertanian. Sistem
agroforestry tersebut berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati. Hasil
analisis vegetasi pohon di hutan sekitar Desa Sibanggor Jae menunjukkan bahwa
apea atau karet (Hevea brasiliensis) memiliki nilai INP tertinggi (149.33), diikuti
oleh tanaon atau kemiri (Aleurites mollucanus). Hutan di Hutabaringin Julu
didominasi oleh pohon hoteng batu (Salacia miquelina) dengan nilai INP 107.06
diikuti bargot (Arenga pinnata) dengan nilai INP 39.90 dan hoteng (Quercus
gemelliflora) dengan nilai INP 31.51. Apea/karet (Hevea brasiliensis) juga
mendominasi hutan di sekitar Desa Pastap Jae dengan nilai INP 81.25, diikuti
ingul (Toona sureni) dengan INP 29.88. Desa Botung didominasi oleh hayu raja
(Acer laurinum) dengan nilai INP 76.4 diikuti oleh melinjo hutan (Polyscias
elliptica) dengan nilai INP 52.43. Berdasarkan hasil analisis vegetasi di atas,
spesies yang memiliki nilai INP tertinggi adalah spesies yang sering dimanfaatkan
masyarakat serta memiliki nilai ekonomi tinggi.
Suku Mandailing menggunakan sebanyak 262 spesies tumbuhan.
Pemanfaatan terbanyak adalah untuk kebutuhan bahan pangan (106 spesies).
Pemanfaatan lain meliputi: bahan obat tradisional (81 spesies), bahan bangunan
(35 spesies), kayu bakar (29 spesies), pakan ternak (25 spesies), bahan ritual (20
spesies), bahan peralatan rumah tangga (9 spesies), bahan kesenian (6 spesies),
peralatan pertanian (4 spesies), bahan serat dan tali (4 spesies), bahan
pengendalian hama (4 spesies) dan bahan racun (1 spesies). Tingginya
pemanfaatan spesies tumbuhan untuk pangan dan obat menunjukkan bahwa
pangan dan kesehatan merupakan prioritas masyarakat. Spesies tumbuhan berguna
yang mempunyai nilai ICS paling tinggi di empat desa adalah eme/padi (Oryza
sativa). Spesies ini memiliki nilai kegunaan dan intensitas penggunaan sangat
tinggi serta merupakan spesies yang paling disukai masyarakat dengan nilai
eksklusivitas tinggi. Kegunaan utama spesies ini adalah sebagai makanan pokok.
Kegunaan lain adalah sebagai pakan ternak, pupuk serta bahan ritual.
Masyarakat Suku Mandailing mengenal 57 spesies hewan liar serta 15
spesies hewan peliharaan dan ternak. Berdasarkan peran dan pemanfaatannya,
hewan dapat dikelompokkan sebagai sumber protein (12 spesies), hewan
peliharaan untuk kesenangan (8 spesies), hewan untuk pengobatan (2 spesies) dan
hewan untuk ritual (3 spesies). Pemanfaatan (praxis) hewan terutama sebagai
sumber pangan. Namun masyarakat jarang mengkonsumsi hewan sapi maupun
kambing. Hewan-hewan tersebut hanya dikonsumsi saat ada horja (pesta) maupun
saat hari raya umat Islam.
Pengetahuan masyarakat Mandailing terkait lingkungan serta sumberdaya
hayati di dalamnya baik tumbuhan maupun hewan berperan positif dalam
mendukung kesejahteraan masyarakat. Mereka menjadi masyarakat yang mandiri
dan berdaulat karena telah mampu mengolah sumberdaya hayati tersebut untuk
memenuhi kebutuhan subsisten mereka. Etnobiologi juga berperan dalam
konservasi kawasan terutama kawasan TNBG. Konservasi yang didasarkan pada
pengetahuan lokal umumnya lebih sustainable. Berdasarkan hal tersebut, kawasan
TNBG harus dihargai, dihormati dan dilindungi. Namun kearifan lokal
masyarakat Mandailing dapat hilang seiring dengan kemajuan zaman, maka perlu
adanya pemberian pemahaman kepada masyarakat untuk memiliki pandangan
yang realistis yang dikuatkan dengan peran agama serta peran pengetahuan
modern dari perguruan tinggi maupun lembaga penelitian agar mereka tetap
menjaga keberadaan hutan meskipun kepercayaan mereka telah bergeser karena
kemajuan zaman.