dc.description.abstract | Sejak tahun 1970-an, migrasi internal dan internasional telah menjadi pilihan
strategi nafkah rumahtangga miskin pedesaan Jawa Barat karena rendahnya akses
terhadap sumberdaya agraria. Migrasi selain menjadi sumber nafkah, juga sebagai
sarana atau cara yang menentukan akses terhadap sumberdaya agraria.
Tulisan ini mendeskripsikan dan menganalisis keterkaitan antara akses terhadap
sumberdaya agraria, gerak penduduk, dan kemiskinan. Pendekatan penelitian yang
digunakan adalah kualitatif dan paradigma penelitian adalah konstruktivisme. Unit
analisis penelitian adalah rumahtangga Desa Wargabinangun/RTDW (N=1385 RTDW).
Hasil penelitian di Desa Wargabinangun (Oktober 2013 sampai Januari 2017)
menunjukkan pelaku migrasi didominasi oleh rumahtangga petani dari lapisan bawah.
Migrasi tidak hanya menjadi strategi nafkah bagi rumahtangga miskin-lapisan bawah
saja, melainkan strategi nafkah untuk lapisan menengah dan atas. Sebagai sebuah
strategi nafkah, didentifikasi lima tipologi rumahtangga berdasarkan gerak penduduk
dan strategi nafkahnya yaitu: (1) Strategi survival non migran (314=22,67%); (2)
Strategi survival migran (593=42,82%); (3) Strategi adaptif dan bertahan pada simbol
kesejahteraan baru (210=15,16%); (4) Strategi mencapai simbol kesejahteraan baru
(214=15,45%); dan (5) Strategi melampaui simbol kesejahteraan baru (54=3,90%).
Alasan-alasan penduduk menjadi migran adalah (1) tidak akses terhadap
sumberdaya agraria lokal, (2) kesulitan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, (3)
kesempatan bekerja dan upah yang rendah di Indonesia sementara kesempatan kerja di
negara tujuan termasuk tinggi, (4) kisah sukses migran dari tetangga, dan (5) kondisi
perekonomian nasional utamanya krisis ekonomi tahun 1997/1998. Bagi RTDW,
meskipun rumahtangganya tidak akses pada sumberdaya agraria lokal, pilihan migrasi
internal sudah dilakukan oleh sebagai upaya untuk survival. Bagi RTNM, pilihan untuk
tetap mencari nafkah di luar desa mendorong rumahtangganya melakukan beragam
pekerjaan baik tetap di pertanian maupun non pertanian, dan sifatnya ―serabutan‖-
utamanya RTNM lapisan bawah. Pilihan migrasi internasional adalah negara-negara
Arab (89,47%) dan negara-negara Asia (10,53%). Meskipun umumnya hanya
melakukan kontrak satu kali (89,57%), RTDW telah membudayakan migrasi sebagai
strategi nafkah. Pilihan untuk migrasi internal adalah umumnya kota Jakarta,
Tangerang, Bandung, dan lain-lain. Pelaku migrasi internasional umumnya adalah
perempuan (85,60%) dan laki-laki (14,40%) dan pelaku migrasi internal umumnya
adalah laki-laki (91%) dan perempuan (9%). Untuk migrasi internasional perempuan
lebih migratory dan untuk migrasi internal laki-laki lebih migratory. Memiliki rumah
dan lahan pertanian merupakan simbol kesejahteraan di aras masyarakat. Penggunaan
remitan dapat mencapai, bahkan melampaui simbol kesejahteraan dan selanjutnya
mendinamisasi realitas sosial di aras masyarakat yang ditunjukkan dengan adanya
mobilitas sosial horizontal dan mobilitas sosial vertikal (naik dan turun).
Simpulan teoritis dari penelitian ini adalah konstruksi teoritis terhadap keterkaitan
antara kondisi aksesibilitas terhadap sumberdaya agraria, pilihan gerak penduduk, dan
aksesibilitas terhadap sumberdaya agraria. Dari teori penyebab kumulatif, meskipun
migrasi telah dilakukan secara terus-menerus (membudayakan migrasi sebagai strategi
nafkah), di aras komunitas akses terhadap sumberdaya agraria tetap rendah. Rendahnya
akses terhadap sumberdaya agraria tersebut diakibatkan oleh kemiskinan struktural dan
kultural. Bila mengadopsi teori tentang reproduksi kelas dan habitus, RTDW
menciptakan ―habitus baru‖ yaitu, ―kultur baru‖ bermigrasi secara terus-menerus,
―prestise baru‖ yaitu rumah dan kepemilikan aset non produktif sebagai simbol
kesejahteraan. Reproduksi struktur baru yaitu sistem pewarisan kepemilikan lahan yang
sangat sempit ―mereproduksi kemiskinan‖. ―Kultur baru, jaringan bermigrasi, simbol
kesejahteraan baru, dan sistem pewarisan‖ yang diciptakan dan sedang melembaga
secara umum tidak berhasil membawa migran keluar dari kemiskinan dalam rumusan
teoritis disebut reproduksi kemiskinan atau persistensi pemiskinan agraria.
Ada lima model reforma agraria dalam perdebatan teori reforma agraria yaitu
state-led land reform dan market-led land reform, land reform by leverage dan land
reform jalur tengah, serta peasant-led land reform. Model land reform yang terjadi
adalah market-led land reform (sepenuhnya ditentukan oleh pasar). Dari lima model
land reform tersebut, bentuk land reform yang terjadi di aras masyarakat desa karena
didorong oleh kuatnya nilai-nilai budaya yaitu dalam bentuk pewarisan lahan pertanian
yang berlaku berdasarkan kultur Jawa dan kuatnya ikatan petani dengan lahan pertanian.
Pewarisan lahan pertanian ini menjadi simbol jaminan kesejahteraan dan simbol
survival, utamanya karena ketidakmampuan RTDW untuk membeli lahan sawah.
Pewarisan lahan pertanian berdasarkan nilai-nilai budaya dalam rumusan teoritis disebut
cultural-led land reform.
Fakta-fakta empiris hasil penelitian ini adalah (1) membudayakan migrasi sebagai
strategi nafkah, (2) terjadi krisis agraria dan kebutuhan daya dukung eksternal, (3)
kemiskinan permasalahan multi-dimensional, (4) penggunaan remitan untuk mencapai
simbol kesejahteraan, (5) mobilitas sosial terjadi melalui penggunaan remitan, (6)
kesejahteraan dan pendapatan sifatnya sementara, (7) pewarisan lahan berdasarkan
nilai-nilai budaya sebagai jaminan kesejahteraan, (8) ketidakmampuan RTDW membeli
lahan, dan (9) identifikasi lima tipologi stategi nafkah rumahtangga. Dari hasil
penelitian ini dan rumusan teoritis persistensi kemiskinan agraria dan cultural-led land
reform, abstraksi rumusan novelty disertasi ini adalah kesejahteraan semu (pseudo
prosperity). Pseudo prosperity adalah kesejahteraan yang tampak pada ciri fisik
kepemilikan rumah (bersifat simbolik) saja, namun sesungguhnya masih termasuk
kategori miskin jika dilihat dari ukuran pendapatan sesuai kriteria Badan Pusat Statistik
dan Bank Dunia.
Saran dari penelitian adalah (1) dipandang penting pendampingan khusus bagi
keluarga migran agar mandiri dalam pengelolaan dan pemanfaatan remitan; (2)
komunikasi yang intensif dan komitmen pernikahan untuk menghindari perceraian; dan
(3) diperlukan studi komparatif tentang pseudo prosperity, persistensi kemiskinan
agraria, dan gejala membudayakan migrasi di Indonesia, utamanya pada tipologi
masyarakat dan budaya yang berbeda.
Implikasi kebijakan adalah menjadi masukan, sumber data, dan bahan diskusi
untuk para stakeholders agar saling sinergi dalam mengatasi permasalahan kemiskinan.
Contohnya adalah (1) sangat perlu hati-hati dalam mengambil keputusan moratorium
TKI, (2) membuka lapangan kerja baru (termasuk untuk eks migran), dan (3) aksi
konkrit stakeholders untuk mengakselerasi capaian kesejahteraan yang sesungguhnya. | id |