Genealogi dan Fluiditas Gerakan Sosial Nelayan: Studi di Banten Utara
View/ Open
Date
2018Author
Alkhudri, Ahmad Tarmiji
Dharmawan, Arya Hadi
Kinseng, Rilus A
S.M.P. Tjondronegoro
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian ini bermaksud mengkaji genealogi dan fluiditas gerakan nelayan di Banten Utara, dengan bertumpu kepada konsep gerakan sosial dari Charles Tilly, teori genealogi Foucault, dan field Bourdieu. Secara metodologi penelitian ini berpedoman kepada paradigma kritis, pendekatan kualitatif dan ditopang oleh data kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di dua desa, yaitu Desa Tengkurak dan Lontar, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, sejak pada Mei 2017 – April 2018. Jumlah informan kunci dan pendukung sebanyak 33 orang dan responden berjumlah 177 individu nelayan kecil (kelas pemilik). Teknik mengumpulkan data melalui studi pustaka, survei, pengamatan berperan serta (participant observation), wawancara mendalam (indepth-interview), focus group discussion (FGD), dan life history.
Ada dua isu sentral yang menjadi konteks gerakan nelayan vs state-corporate, yaitu isu pencemaran DAS Ciujung dan penambangan pasir laut Teluk Lontar. Kedua isu tersebut meniscayakan negara (state) dan swasta (corporate) berhadap-hadapan secara langsung dengan nelayan. Diskursus yang dibenturkan ialah pembangunan pesisir (korporasi pesisir) Banten Utara versus kelestarian lingkungan. Dampak dari korporasi pesisir tersebut bagi nelayan antara lain: pertama, secara ekologis dan agraria. Bagi nelayan Desa Tengkurak dampak ekologis dan agraria berpengaruh pada menurunnya kualitas air sungai (hitam, berbau, keruh); hilangnya habitat ikan sungai; tercemarinya dan mematikan lahan pertanian; tercemarinya dan mematikan lahan tambak; sedimentasi di muara sungai; pendangkalan muara sungai; munculnya tanah timbul; bibir pantai/laut kotor, berbau, dan penuh sampah; serta hilangnya habitat ikan pinggiran laut. Sementara itu, bagi nelayan Desa Lontar dampak ekologis dan agraria menyebabkan perairan menjadi keruh, gelap, dan dipenuhi endapan pasir; berkurangnya keindahan pantai; bibir pantai/laut kotor, berbau, dan penuh sampah; hilangnya habitat ikan pinggiran laut; kerenantanan tehadap bencana rob, abrasi, dan gelombang pasang; kerusakan terumbu karang; kerusakan alat tangkap nelayan; dan zonasi tangkap yang semakin jauh.
Kedua, secara sosial kependudukan berpengaruh pada berkurangnya jumlah nelayan, tangkapan, pendapatan, dan tercerabutnya mata pencaharian sebagai nelayan, hingga tutupnya tempat pelelangan ikan, khususnya di Desa Tengkurak. Ketiga, dampak korporasi pesisir terhadap nelayan dari aspek politik adalah terjadinya pembelahan masyarakat (split society) secara mikro. Sementara itu, secara makro menghasilkan pembangunan minus masyarakat (development without society), di mana nelayan mengalami social displacement dan social exclusion.
Dua isu sentral yaitu pencemaran DAS Ciujung dan penambangan pasir laut Teluk Lontar) dan dampaknya memicu munculnya kesadaran nelayan untuk melakukan gerakan sosial. Ada tiga faktor kesadaran yang terkonstruksi, yaitu (1) kesadaran moral; (2) kesadaran rasional; dan (3) kesadaran struktural. Kesadaran moral merupakan faktor awal yang menjadi pemantik perlawanan masyarakat
v
nelayan Banten Utara. Kesadaran ini merupakan pertautan antara nilai-nilai religi dan kejawaraan yang menjadi entitas terpenting-tak terpisahkan dari masyarakat Banten. Sementara itu, kesadaran rasional mengandaikan refleksi rasional dari para aktor gerakan, yang menyaksikan secara jelas ketidakadilan yang dihadapi oleh nelayan. Berangkat dari kesadaran moral dan rasional, terakumulasi kesadaran struktural. Wujud dari kesadaran struktural ini, terbentuknya organisasi gerakan.
Perlawanan nelayan tidak dapat dilepaskan dari sosok ketokohan aktor kunci gerakan. Keberadaan aktor menjadi faktor determinan gerakan (movement with actor). Kekuatan aktor berperan lebih penting dalam suksesnya perlawanan dibandingkan dengan kekuatan organisasi. Dari sisi tekanan dan eskalasi gerakan, terdapat tiga ranah yang dikontestasikan dan bersifat fluid yaitu ranah sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Ranah-ranah gerakan tersebut melibatkan berbagai modal dan dilakukan dengan beragam bentuk seperti domonstrasi, blokade jalan, teatrekal, aksi melalui pagelaran seni-budaya, hingga audiensi-diplomasi.
Trajektori kontestasi nelayan versus state corporate relationship, berlangsung dalam tiga periode: pertama, periode 1992-1995 tentang pencemaran limbah DAS Ciujung, kontestasi dimenangkan oleh state-corporate relationship. Penyebab kekalahan pada periode awal ini adalah ketiadaan aktor kunci yang menggerakkan perlawanan. Periode 1996-2002, merupakan fase tenang, tidak ada perlawanan dari nelayan, karena state-corporate relationship mampu mengendalikan isu dan ranah kontestasi. Pada fase ini, industrialisasi pesisir semakin menggeliat, karena tidak ada kontrol dari masyarakat; Kedua, periode 2003-2009 tentang isu penambangan pasir laut episode I, state-corporate relationship menjadi pemenang. Penyebabnya, lemahnya soliditas antar aktor dan belum terstrukturnya perlawanan melalui wadah organisasi. Ketiga, periode 2010-2017 (episode II). Pada periode ini, kontestasi bersifat jamak (multiple contested), di mana isu yang dikontestasikan mencakup pencemaran DAS Ciujung dan penambangan pasir laut Teluk Lontar. Pada periode ini, state-corporate relationship berhasil dikalahkan dan masyarakat nelayan menuai kemenangan. Kemenangan pada fase ketiga ini tidak dapat dilepaskan dari peran kunci aktor yang mampu mendirikan dan menghadirkan beragam organisasi gerakan.
Keniscayaan peran aktor sebagai kunci kemenangan dalam gerakan nelayan Banten Utara menegasikan pandangan Tilly dan Foucault yang cenderungan pesimis dengan keberadaan aktor. Tilly, cenderung melihat faktor penting organisasi dan proses politik dalam sebuah gerakan sosial, daripada peran aktor. Bertumpu pada pada pandangan Tilly tersebut, studi ini menunjukkan bahwa ada transformasi dari movement without actor ke movement with actor. Pun demikian, dengan Foucoult yang cenderung melihat konteks dan teks daripada author/actor. Nyatanya, konteks gerakan, sekaligus ranah gerakan mampu dimainkan secara fluid oleh aktor. Hal ini sekaligus menegasikan pandangan Bourdieu yang terjebak oleh objektivasi struktur genetis dalam melihat fenomena gerakan, daripada sisi subyektif individu/aktor gerakan.
Collections
- DT - Human Ecology [567]