dc.description.abstract | Kebijakan pembentukan KPH di Indonesia diharapkan dapat menjadi
lembaga pengelola kawasan hutan di tingkat tapak. Namun demikian, hingga saat
ini masih dijumpai banyaknya tumpang tindih dan konflik pengelolaan hutan
antara KPH dengan masyarakat adat. Kenyataan lapangan menunjukkan bahwa
kearifan lokal telah terbukti dapat melindungi hutan. Sayangnya, hingga saat ini
tidak ada upaya untuk mengintegrasikan kelembagaan adat tersebut dalam
pengelolaan KPH. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengetahui
pola hubungan pengelolaan hutan adat dalam KPHP Limau Unit VII Hulu
Sarolangun, (2) mengetahui struktur kelembagaan masyarakat adat dalam
pengelolaan hutan, (3) mengetahui kinerja KPHP Limau Unit VII Hulu
Sarolangun dalam pengelolaan hutan adat, dan (4) mengetahui skema/formulasi
integrasi kelembagaan adat dalam pengelolaan KPHP Limau Unit VII Hulu
Sarolangun.
Penelitian ini dilakukan dengan menerapkan kerangka kerja Struktur
Kelembagaan – Karakteristik Sumberdaya – Perilaku Aktor – Kinerja (SSPK)
menurut Nugroho (2016). Kerangka kerja ini merupakan modifikasi dan
penggabungan kerangka kerja IAD (Institutional Analysis and Development) yang
dimotori oleh Ostrom (2005) dengan kerangka kerja SSP (Situation, Structure,
and Performance) yang dipelopori Schmid (1987). Penelitian dilakukan di KPHP
Limau Unit VII Hulu Sarolangun, dengan pendalaman dilakukan di beberapa desa
yang meliputi tiga kecamatan, yaitu Kecamatan Limun, Batang Asai dan Cermin
Nan Gedang. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara secara terstruktur,
wawancara mendalam, studi dokumentasi dan Focus Group Discussion (FGD).
Data dianalisis menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif sesuai
kebutuhan interpretasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di KPHP Limau Unit VII Hulu
Sarolangun dijumpai ada dua macam pola pengelolaan, yaitu pengelolaan oleh
adat dan pengelolaan oleh KPHP. Kedua pola pengelolaan tersebut berada saling
berdampingan satu sama lain dan keduanya berlaku dan diakui oleh masingmasing
entitasnya. Pola aturan adat selain mengatur hubungan antar anggota
masyarakat adat, juga mengatur hubungan masyarakat adat dengan alam. Aturan
adat yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam dituangkan dalam aturan
berupa tata cara, larangan dan pantangan dalam membuka lahan untuk
dimanfaatkan. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap aturan adat sangat tinggi,
sehingga keberadaan sistem pengaturan lain di luar sistem adat dapat mengalami
kesulitan untuk diterapkan. Namun sayangnya, pengetahuan masyarakat terhadap
kawasan hutan, tata batas dan fungsi kawasan hutan masih sangat kurang. Hal ini
mendorong terjadinya konflik sosial antara masyarakat dengan KPHP.
Struktur formal yang berlaku sekarang (KPHP) belum menjamin
pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan. Beberapa alasannya adalah: (1)
batas kawasan hutan tidak terdefinisikan dengan jelas, (2) aturan formal
pemanfaatan sumberdaya alam tidak sesuai dengan aturan informal yang berlaku
pada masyarakat adat, (3) aturan formal masih bersifat sentralistik, (4)
pengawasan sumberdaya alam dilakukan oleh petugas dengan keterbatasan
anggaran, (5) sanksi belum dapat ditegakkan dan (6) mekanisme penyelesaian
konflik yang dilakukan melalui pendekatan hukum membutuhkan biaya yang
mahal. Sementara kelembagaan informal (masyarakat adat) telah memiliki syarat
sebagai kelembagaan yang baik dalam banyak prinsip.
Konsekuensinya, kinerja pengelolaan hutan di wilayah KPHP masih sangat
rendah. Perubahan tutupan hutan pada periode tahun 1996-2015 dijumpai adanya
perubahan dari hutan menjadi non hutan. Walaupun sudah ada perubahan struktur
pengelolaan hutan berupa KPHP Limau Unit VII Sarolangun, namun kelestarian
hutan masih belum dapat dicapai. Sebagian besar kinerja kelembagaan KPHP
Limau Unit VII Hulu Sarolangun masih rendah, yaitu dalam indikator batas
yurisdiksi, kesesuaian dengan kondisi setempat, pengaturan pilihan kolektif,
pengawasan, sanksi, dan aturan formal berjenjang.
Dalam rangka memperbaiki kinerja kelembagaan, diperlukan suatu upaya
untuk mengintegrasikan kelembagaan adat ke dalam kelembagaan formal KPHP.
Dari dua model integrasi (yaitu integrasi berorientasi wilayah dan proses),
pendekatan berorientasi wilayah merupakan model integrasi yang paling sesuai
bagi adaptasi kelembagaan KPHP dan kelembagaan adat di KPHP Limau Unit VII
Hulu Sarolangun. Pertimbangan empirisnya bahwa: (1) dalam perspektif
pertimbangan kesejarahan, masyarakat adat di lokasi penelitian sudah ada sejak
sebelum KPHP dibentuk. Mereka juga memiliki legitimasi ownership dan
management rights yang kuat secara sosial, (2) persebaran hutan adat hanya
terkonsentrasi di empat lokasi/hamparan dengan proporsi terhadap luas total
kawasan KPHP yang relatif kecil, yaitu 2,09% dan hanya terdistribusi di enam
desa di tiga kecamatan.
Harapannya dengan integrasi ini merupakan salah satu bentuk adaptasi
sehingga kinerja kelembagaan pengelolaan hutan dan kinerja kelestarian hutan
dapat ditingkatkan menjadi lebih baik. Dalam pendekatan ini, pembentukan
Resort KPHP tersendiri yang berisi wilayah adat merupakan langkah awal sebagai
upaya pembentukan zonasi adat. Sistem zonasi ini diperlukan untuk membedakan
dengan zona pengelolaan lain pada resort lain yang sistem pengelolaannya
dilakukan secara konvensional dan tidak berbenturan dengan sistem adat. | id |