Komunikasi Lingkungan dalam Program Konservasi di Taman Nasional Kepulauan Seribu
View/ Open
Date
2018Author
Swarnawati, Aminah
Saleh, Amiruddin
Sugihen, Basita Ginting
Soetarto, Endriatmo
Satria, Arif
Metadata
Show full item recordAbstract
Penelitian dalam kajian komunikasi lingkungan ini melihat hubungan antara manusia dan lingkungan atau yang dikenal dengan konsep ekologi manusia.Program konservasi laut merupakan salah satu upaya menjaga pelestarian alam, penelitian ini mengkaji mengenai konservasi laut yang diterapkan di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS), berdasarkan UU No 5 tahun 1990. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif, metode penelitianstudi kasus, dan paradigma postpositivist, didasari teori komunikasi lingkungan dan advokasi lingkungan dari Robert Cox, komunikasi advokasi dari Quarry dan Ramirez, dialog dari Buber dan Karlsson. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) menganalisis proses komunikasi mengenai kebijakan konservasi di tingkat pemangku kepentingan dalam program konservasi di TNKpS; (2) menganalisis proses komunikasiantar nelayan pada forum komunikasi informal nelayan; dan (3) mengevaluasi strategi komunikasi advokasi lingkungan sebagai artikulasi kepentingan nelayan dalam mencegah terjadinya marjinalisasi nelayan. Studi menunjukkan bahwa komunikasi antar pemangku kepentingan pada level pemerintah dilakukan rapat pimpinansetiap hari senin dan juga rapat koordinasi. Komunikasi antar instansi pemerintah menunjukkan masih ada disharmoni, masih adanya perbedaan kebijakan, perbedaan ukuran batas wilayah, masalah otoritas kewenangan dan masalah perijinan antara Balai TNKpS dengan Pemerintah Kabupaten (Pemkab). Pada level pemerintah dan nelayan masih ada disharmoni dalam masalah zonasi dan pelarangan Alat Penangkapan Ikan (API). Antara nelayan dan bisnis wisata terjadi sinergi dalam kegiatan wisata bahari. Cara mengomunikasikan pesan konservasi dari Balai TNKpS kepada nelayan tidak selalu melalui penyuluhan yang formal, akan tetapi memanfaatkan forum nelayan, suatu forum informal tempat nelayan berbagi informasi sambil kongkow-kongkow di dermaga, sering disebut tempat kongkow khas orang Pulo. Saluran komunikasinya baik saluran interpersonal, kelompok maupun bermedia. Meskipun demikian aksi nelayan masih juga terjadi, terakhir di tahun 2017 mereka melakukan aksi protes ke Suku Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (Sudin KPKP) terkait Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 71/2016 tentang jalur penangkapan ikan dan penempatan alat penangkapan ikan (API), di mana salah satunya adalah pelarangan penggunaan jaring muroami. Walaupun pendekatan kepada nelayan sudah dilakukan dengan saluran interpersonal maupun kelompok, komunikasi dibangun dua arah, akan tetapi peraturan yang diberlakukan tetap dianggap top-down.
Penelitian juga melihat bagaimana komunikasi terjadi antar pemangku kepentingan. Pemanfaatan forum informal nelayan sebagai sarana sosialisasi oleh Balai TNKpS bermaksud mengurangi jarak antara keduanya, dan komunikasi yang terbangun lebih bersifat dua arah, Tempat kongkow merupakan forum yang autentik, karena dibentuk oleh nelayan sendiri tanpa campur tangan pemerintah dan aktor-aktornya juga tidak terkooptasi, sehingga memungkinkan terjadinya
komunikasi emansipatoris antar nelayan. Komunikasi emansipatoris hanya terjadi di antara nelayan yang selevel, akan tetapi jika ada keterlibatan nelayan yang kelasnya lebih tinggi bisa terjadi dominasi pula. Dialog yang terjadi adalah dialog asli (genuine), apabila komunikasinya terjadi antar nelayan pada level yang sama. Dalam dialog asli tidak ada kalah menang, karena semua menang. Salah satu kendala dalam dialog adalah „kecenderungan untuk mengevaluasi‟ kadang dilakukan oleh nelayan yang lebih tinggi pendidikannya sehingga lebih kritis. Apabila dikaitkan dengan pendekatan konservasi, pendekatan yang dilakukan oleh Balai TNKpS saat ini cenderung ke arah konservasionis, begitu pula yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rare sebagai mitra Balai TNKpS. Pendekatan developmentalis dilakukan sebelum reformasi, pendekatan eko populis di TNKpS tidak terlalu menonjol. Studi juga menunjukkan bahwa fungsi advokasi tidak dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat yang menjadi mitra Balai TNKpS. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Rare tidak melakukan advokasi, mereka melakukan pemberdayaan dan perubahan perilaku nelayan menggunakan pendekatan pemasaran sosial (social marketing) dalam menyebarkan pesan kebijakan konservasi. Strategi komunikasi advokasi lingkungan berupa retorika kritis melalui artikulasi kebijakan alternatif, dilakukan oleh Balai TNKpS berupa masukan bagi perubahan UU No.5/1990 dan oleh Sudin KPKP dalam perubahan Peraturan Daerah (Perda) Zonasi. Artikulasi visi dan ideologi untuk mencapai cita dan citra di masa depan, dilakukan dengan melibatkan generasi muda, caranya generasi muda sedini mungkin dididik menjadi kader konservasi. Strategi komunikasi advokasi lingkungan juga dilaksanakan melalui kampanye advokasi (advocacy campaign), kampanye dilaksanakan menggunakan media kampanye lini bawah untuk sosialisasi seperti plang, spanduk, banner yang tersebar di berbagai sudut pulau, dan media komunitas Radio Kepulauan Seribu (RPS). Target audienskampanye yang paling utama adalah nelayan, tujuannya nelayan bisa memahami dan mematuhi aturan zonasi yang diterapkan, mereka tidak melanggar masuk ke zona inti. Selain itu merubah perilaku nelayan yang aktivitas nelayannya merusak lingkungan karena menggunakan alat penangkap ikan yang tidak ramah lingkungan. Selain nelayan, wisatawan yang berkunjung dan masyarakat umum juga menjadi sasaran kampanye, karena aktivitas wisata dan aktivitas warga sehari-hari juga berpotensi merusak lingkungan. Pendekatan persuasi diterapkan dalam kampanye, komunikasi persuasif penting supaya audiens terbujuk dan secara perlahan merubah perilakunya.
Collections
- DT - Human Ecology [567]