dc.description.abstract | Sejarah panjang ketatanegaraan Indonesia tentang otonomi daerah yang telah dimulai sejak orde lama mengalami perubahan yang drastis pasca reformasi tahun 1998. Awalnya pemberian kewenangan hanya terbatas pada tingkat provinsi, namun di era reformasi justru menitikberatkan penyerahan kewenangan di tingkat kabupaten/kota. Pemberian kewenangan pada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar urusan pemerintah pusat disertai dengan transfer dana (money follows function) seperti diatur dalam UU No.33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini bermakna bahwa sebenarnya desentralisasi di Indonesia adalah desentralisasi dari sisi belanja (expenditure) bukan dari sisi pendapatan (revenue).
Desentralisasi fiskal yang tercermin dari dana transfer ke daerah dan desa di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar setiap tahun. Periode 2010-2016 meningkat rata-rata sebesar 19,99% per tahun, namun tingkat kemiskinan turun melambat sebesar 0,42% per tahun, pengangguran berkurang 0,91% per tahun, ketimpangan pendapatan menurun 0,003 poin per tahun. Fenomena ini terjadi juga di Provinsi Banten. Dana transfer pada periode yang sama meningkat rata-rata sebesar 39,49% per tahun, akan tetapi tingkat kemiskinan menurun sebesar 0,26% per tahun, pengangguran menurun sebesar 0,79% per tahun, dan ketimpangan pendapatan menurun sebesar 0,005 poin per tahun. Berdasarkan data tersebut perlu dikaji bagaimana pengelolaan dana transfer daerah.
Penelitian ini bertujuan (1) menganalisis Dampak dana transfer terhadap kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pendapatan, pertumbuhan ekonomi melalui transmisi belanja daerah dan pelayanan dasar (pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, (2) menganalisis pola kemiskinan secara spasial, (3) menganalisis peran kelembagaan dalam optimalisasi program pengentasan kemiskinan. Pengukuran Dampak dana transfer terhadap kemiskinan, ketimpangan pendapatan, pengangguran dan pertumbuhan ekonomi menggunakan model persamaan simultan dengan metode Two-Stage Least Squares (2SLS). Analisis spasial kemiskinan dihitung dengan metode Geographically Weighted Regression (GWR). Sementara itu, peranan kelembagaan dianalisis dengan metode Matrix Alliance Conflict Tactic Operation and Responses (MACTOR).
Hasil penelitian menunjukkan fenomena fly paper effect masih terjadi di Provinsi Banten. Dana transfer ke daerah masih merupakan sumber penerimaan kabupaten/kota di Provinsi Banten dan belum bisa diimbangi oleh peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) sehingga menyebabkan kemandirian keuangan daerah yang rendah. Anggaran APBD kabupaten/kota periode tahun 2010-2015 sebagian besar dialokasikan untuk belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja hibah dan subsidi sehingga alokasi anggaran untuk belanja modal dan anggaran yang berpihak pada kepentingan masyarakat miskin (pro-poor) masih relatif kecil.
Dana alokasi khusus (DAK) berpengaruh terhadap belanja modal di wilayah kota namun tidak berpengaruh di wilayah kabupaten. Dana transfer melalui belanja urusan pendidikan mampu meningkatkan angka partisipasi murni pada berbagai tingkatan pendidikan, meningkatkan pelayanan bidang sanitasi dan penyediaan air layak minum. Belanja modal, belanja urusan kesehatan dan pendidikan cenderung menurunkan kemiskinan dan tingkat pengangguran, mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Secara spasial faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan menunjukkan respon berbeda di setiap wilayah dan adanya klasterisasi kemiskinan pada wilayah yang memiliki kemiskinan relatif sama dan bertentangga. Hal ini menguatkan argumen bahwa aspek spasial tidak dapat diabaikan dalam menentukan keberhasilan pembangunan suatu wilayah.
Aspek kelembagaan masih belum efektif dalam mendorong kinerja pembangunan. Kendala yang dihadapi: (1) koordinasi pusat dan daerah, provinsi dan kabupaten/kota, antar Organisasi Perangkat Daerah (OPD) masih lemah, (2) inkonsistensi kebijakan, (3) peintegrasian program masih lemah. Aktor yang paling berperan dengan isu sinkronisasi program kemiskinanan adalah Bappeda dan DPRD. Objektif utama yang mendorong aktor bertindak reaktif adalah ketepatan waktu penetapan dan prioritas anggaran. Elite capture mendorong terjadinya inkonsistensi kebijakan pemerintah daerah dan inefisiensi kelembagaan.
Pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk akselerasi pengentaskan kemiskinan, namun masih bersifat parsial. Kedepan, penanganan kemiskinan harus mengintegrasikan kebijakan fiskal, program pro-poor, aspek spasial dan optimalisasi kelembagaan. Strategi yang dapat dilakukan Pemerintah Provinsi Banten yaitu (1) optimalisasi anggaran yang fokus pada belanja modal melalui DAK dan dana desa, (2) peningkatan mutu pelayanan dasar pada tematik pengembangan wilayah I; memperluas akses pelayanan dasar pada tematik pengembangan wilayah II; peningkatan akses pelayanan dasar, revitasilasi pembangunan pusat pertumbuhan, konektivitas infrastruktur jalan antar kecamatan/desa pada tematik pengembangan wilayah III, (3) peningkatan transparansi dan koordinasi dalam penganggaran serta melakukan kerjasama antar daerah kabupaten/kecamatan/desa melalui pengembangan potensi ekonomi dan sumber daya kawasan, penguatan kapasitas lembaga ekonomi rakyat dan BUMDes, pengembangan infrastruktur dasar dan ekonomi desa, (4) penguatan peran, fungsi dan kapasitas aparatur Bappeda dan sekretarial DPRD. | id |